Biru Langit

660 60 2
                                    

“Mbak, tadi saya lihat temen kamu yang dulu sering main ke rumah waktu kita di Amerika,” kata Pak Mo saat perjalanan pulang.
“Pasti temen Mbak Ai cewek, ya, pak? Makanya pak Mo inget,” ledek Dira.
“Kamu suka bener, ya, kalau ngomong,” kata Pak Mo.
“Temanku yang mana, ya, pak? Deket, nggak, sama aku?” Tanya Ai, bingung.
“Seingat saya sih, deket banget, mbak,” jawab Pak Mo.
“Itu, lo mbak, yang dulu bantu mbak Ai sampai bisa berhenti merokok. Padahal Bapak sudah angkat tangan soal itu,” kata Pak Mo.
“Oh, iya, aku inget,” sahut Pak Toha. “Tapi lupa namanya,” lanjutnya.
“Mbak Ai dulu sempat merokok?” Tanya Dira, tak percaya.
“Bahkan masa remaja saya saat di indonesia tidak selalu baik, apalagi saat di amerika,” jawab Ai.
“Siapa ya, Ai, namanya?” Kata Pak Toha, masih mencoba mengingat.
“Eh, Dir, kamu jadi mampir ke supermarket?” Tanya Ai.
“Jadi, mbak. Mau belanja bahan buat menu sarapan Mbak Ai besok,” jawab Dira.
“Ok. Sudah konsen lagi, habis video call an?” Ledek Ai. Dira tersenyum malu. Setelah itu mereka sampai di sebuah supermarket yang tak jauh dari rumah. Ai dan Dira pun turun untuk berbelanja.
“Dir, kamu belanja aja, saya mau ke toilet. Oh iya, sekalian carikan dark cocoa powder, ya,” kata Ai menitip.
“Ok, mbak,” jawab Dira.
“Oh, iya, yang sugar free, ya,” tambah Ai.
“Siap.”
Ai pergi ke toilet, dia mencoba menetralisir perasaannya yang terasa tak nyaman saat Pak Mo bercerita tentang seorang teman tadi. Sebuah nama muncul di antara kepingan jalan kenangan yang sudah dia hancurkan. Seorang teman yang membawanya dalam penemuan akan diri sendiri, seorang teman yang pernah membangun mimpi bersama. Ai menatap dalam wajahnya di cermin, terasa dadanya sesak oleh sebuah ingatan. Harusnya mereka bisa tetap berteman tanpa rasa yang membuat Ai harus pergi untuk melanjutkan penemuan jati diri hingga menjadi dirinya kini.
Lamunan Ai akan masa lalu terhenti ketika Dira meneleponnya, dan memberi tahu jika belanjanya sudah selesai.
***
Usai shalat isya Dira melanjutkan dengan beberapa salat sunnah yang sejak lama sudah dia lakukan. Salat tasbih empat rakaat dua salam, juga salat witir sebelas rakaat enam kali salam. Setelah itu baru dia bersantai. Menyedu tolak angin cair dengan air hangat lalu membuka sebuah buku harian miliknya.
“Mbak, boleh saya ikut duduk?” Tanya Dira mendekati Ai yang duduk di tempat duduk kayu persegi panjang beralaskan spons yang ditutup rapi dengan bahan leather dekat jendela kaca. Panjang kursinya sekitar 150 cm mengikuti panjang jendela kaca.
“Iya, duduk saja,” kata Ai. “Mencatat apa?” Tanya Ai.
“Buku harian, mbak,” kata Dira. “Kuno, ya?” lanjutnya.
“Kamu nggak pakai medsos?” Tanya Ai.
“Nggak, mbak.”
“Kenapa? Kan bukannya generasi seusia kamu banyak yang sukses di dunia medsos dan digital, ya!” komentar Ai.
“Tidak ada yang bisa saya posting. Saya tidak punya karya, tidak cantik, tidak populer, tidak punya bisnis, tidak pernah makan di tempat bagus, tidak bisa beli barang-barang bermerek. Jadi, untuk apa saya bikin akun sosmed. Kalau bersosial di dunia nyata, saya tidak butuh foto-foto yang bisa menunjukkan siapa diri saya,” Kata Dira.
“Terus, apa gunanya kamu punya smartphone?” Tanya Ai.
“Untuk akses data tanpa bawa laptop, untuk akses maps,  untuk pesan taksi online, untuk beli tiket transportasi dan hotel, Yang paling saya suka dari smartphone yang mbak Ai belikan kemarin itu, hasil foto bagus,” jawabnya panjang. “Mau lihat?” Tanya Dira.
“Boleh,” jawab Ai. Lalu dia pun membuka galeri foto milik Dira. “Kenapa banyak foto ruang kosong?” Tanya Ai.
“Itu gambaran diri saya,” jawab Dira. “Sok filosofis banget, ya?” lanjutnya.
“Jika kekosongan itu hanya karena belum pernah terisi, masih jauh lebih baik dari pada kosong karena satu persatu isinya menghilang,” balas Ai. Dira hanya tersenyum, dia lihat sosok Ai yang selalu mengagumkan baginya. Ada sesuatu sangat dalam yang tak bisa terjamah oleh dunianya. Dia ingin bertanya, tapi takut.
“Dir. Coklatku sudah habis. Aku tidur dulu,” kata Ai, sambil beranjak untuk meletakkan cangkir yang sudah kosong.
Setiap kali habis mengobrol dengan Ai, Dira selalu mencatat hal bermakna yang mereka bicarakan. Tak hanya dengan Ai, termasuk sakit Pak Toha yang dia lihat kemarin malam juga dia tulis dalam buku diary. Melihat catatan tentang Pak Toha Dira keluar kamar, untuk melihat keadaannya.
Ai berusaha menutup matanya, agar segera terlelap, namun sebuah potongan masa lalu kembali dalam ingatannya.
“Ai... i win...! Ya, aku memenangkan kompetisinya,” seorang teman perempuan menghampirinya, sambil lari bersemangat dan memeluk Ai seperti biasa.
“Congratulation, bravo,” ucap Ai, membalas pelukan itu. Mereka terlihat sangat dekat.
“Thanks for your support, your trust, and thanks for being my friend,” ucap perempuan itu dengan tatapan penuh arti.
“Tidak perlu. You win, because you make it,” balas Ai dengan kedua tangan masih melingkar di pundak gadis itu.
“Kalau begitu boleh kuminta janji kamu?” Tanya temannya.
“Sebenarnya dengan berat hati, but i can’t break a promise,” kata Ai, sembari melepas tangannya dari pelukan dan melangkah mengambil semua rokok yang dia simpan. Ya gadis itu berhasil membuatnya berjanji untuk meninggalkan rokok selamanya. Mereka sangat dekat, saling mendukung satu sama lain, saling memberikan dampak positif satu sama lain.
Untuk kemenangan kompetisi melukis saat itu mereka hanya merayakan dengan jalan-jalan sore menyusuri pinggiran sungai kota new york, lalu duduk di salah satu bangku yang tersedia sembari menikmati suasana di Hudson river park . Gadis amerika keturunan indonesia itu menggenggam tangan dan meletakkan kepalanya di pundak Ai.
“Ai, kini lukisanku bisa menghidupi diriku sendiri, aku tak perlu lagi bekerja berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, sampai kamu datang, dan membangun mimpiku.”
“Jangan katakan hal bodoh semacam itu,” balas Ai, sambil tersenyum.
“Aku juga hidup sendirian, hanya bermodal kontrakan kecil tinggalan orang tua, selalu ketakutan, sampai rasa takut itu juga pergi meninggalkanku,” kenangnya.
“Kenapa tidak pulang ke indonesia?” Tanya Ai.
“Tidak ada uang, kerja serabutan hanya cukup untuk biaya sehari-hari, lagipula aku tidak memiliki jejak keluarga orang tuaku.”
“Mulai sekarang, kamu tidak perlu takut. Karya kamu sudah mulai diakui, itu akan terus menemani dirimu selama ide-ide kamu tidak berhenti,” kata Ai. Bijak.
“Ai. Please stay here with me,” ucapnya pada Ai dengan tatapan sangat berarti, hingga mampu memompa jantung Ai dengan rapat. Ai secepat mungkin berusaha menghindarinya.
“Jangan pernah memintaku menetap, aku tidak bisa,” kata Ai.
“Kenapa?”
“Berjanji menetap adalah hal paling bodoh yang pernah dilakukan oleh umat manusia.”
“Kenapa?”
“Semua orang tua pasti berjanji untuk menetap hingga anak-anaknya tumbuh dewasa. Namun suatu saat mereka juga pergi atau lebih dulu mati.”
“Ai... relax... just, thinking about us.”
Gadis itu meyakinkan Ai untuk berpikir sederhana dengan menatapnya dalam, dan Ai lagi-lagi terjebak pada tatapan itu. wajah mereka kini berdekatan, sangat dekat hingga terhembus napas hangat di bibir mereka. Nyaris hilang kontrol, namun Ai segera membuka mata, dan membuang wajahnya. Temannya itu pun melakukan hal yang sama.
“Aku cari minum dulu,” pamit temannya.
“Iya,” jawab Ai singkat.
Sangat lama kebersamaan itu berlalu, dan cerita Pak Mo tadi membuat Ai mengingat itu lagi. Kini dirinya bukan lagi gadis muda berusia 20 tahunan, namun telah menjadi perempuan matang berusia 38 tahun. Dia berusaha keras untuk menghapus lagi semuanya. Rasa itu sudah menghilang. Jika suatu saat kembali, entah apa yang akan terjadi lagi dengan hatinya.
***
“Mbak, untuk foto lukisan-lukisan yang yang dijanjikan Jafar kemarin, sudah saya kirim ke email kamu,” kata Dira. Saat mereka sedang menikmati sarapan pagi.
“Ok, langsung aku cek, deh,” balas Ai, sembari membuka layar ipad nya. Langsung masuk ke halaman email dan membuka surel yang dikirimkan oleh Dira.
Satu persatu lukisan itu mulai dia perhatikan. Meski bukan seniman lukis, tapi profesinya sebagai desainer interior membuatnya juga sering berurusan dengan lukisan. Ternyata lukisan yang dikehendaki oleh kliennya itu adalah lukisan bawah laut yang sangat nyata dan detail. Ikan, batu karang, arus laut, dasar laut dan kehidupan laut lainnya terasa begitu nyata. Di setiap pojok lukisan ada watermark nama pelukisnya. Dia mencoba memperbesar gambar untuk mengetahui nama itu. “BIRU LANGIT”.
“Mbak...” Dira memanggilnya, namun Ai masih tertegun tak percaya dengan nama itu, dia terkejut, bahwa mungkin benar yang ditemui Pak Mo kemarin... “Mbak Ai. Taxi nya sudah datang,” kata Dira.
“Oh, iya,” kata Ai, yang baru berhenti dari lamunannya.
Sepanjang perjalanan Ai hanya diam, masih tak percaya dengan nama yang dia lihat. Dira pun tak berani mengajaknya bicara, sampai tempat kerja mereka langsung absen kedatangan dan masuk ke ruang kerja.
“Hari ini ada meeting dengan bagian desain grafis tentang konsep desain pada pukul 10:00. Lalu pukul 13:30 bertemu dengan Jafar bersama desainer grafis untuk membicarakan hasil pertemuan kalian berdua agar segera revisi jika perlu.” Jelas Dira.
“Ok,” kata Ai.
Posisi Dira bagi Ai memang bukan sebagai asisten desainer, karena dia tidak memiliki dasar pendidikan di bidang itu, namun lebih menjadi asisten pribadi, yang menangani jadwal, menyiapkan barang yang diperlukan, sekaligus biasanya juga menangani hal pribadi, seperti membuat sarapan, pesan taksi online, dan lain-lain. Sekaligus menjadi teman selama bekerja di sana. Jadi saat meeting Dira juga ikut untuk langsung mencatat hal-hal penting, Ai yang terbiasa melihat potensi pekerjanya sangat bijak memberikan tugas sesuai kemampuan partnernya.
“Dir, apa kamu punya ketertarikan di bidang interior?” Tanya Ai.
“KIN galery yang membuat saya tertarik,” jawab Dira.
“Good. I need your help. Tolong kumpulkan foto-foto hasil desain KIN yang sekira cocok dengan lukisan-lukisan kemarin, mungkin utamakan yang gaya coastal. Untuk fotonya ambil dari semua sisi, saya kirimkan dokumentasinya di drobbox kamu. Kamu bisa membukanya,” jelas Ai.
“Ok, mbak. Sama furniture nya juga?” Tanya Dira.
“Kalau kamu ada feel, boleh,” kata Ai. “Kamu ada waktu maksimal 40 menit, nanti langsung gabung, ya,” lanjut Ai. Lalu dia keluar ke ruang meeting dan Dira mulai melaksanakan perintahnya.
Dira membuka drobbox miliknya dan membuka file foto yang dikirim oleh Ai, masing-masing konsep terkumpul dalam satu folder, langsung dia cari nama folder coastal. Itu adalah konsep pesisir, artinya sebuah ruangan yang rancangannya cocok dengan suasana laut. Biasanya akan dominan warna putih, dan ada sedikit sentuhan warna pesisir laut, seperti coklat dan abu muda, biru laut dan hijau. Dengan petunjuk Ai, dia pun memilih gambar-gambar yang sesuai dengan seleranya sendiri. Kemudian foto-foto yang sudah dipilih di print jadi satu di kertas ukuran A3, yang masing-masing fotonya berukuran 3,5 x 5 inci atau seukuran foto 3R, kemudian digunting satu persatu, setelah siap baru dia pergi ke ruang meeting untuk bergabung.
Proses programming pun dimulai, Ai memilih contoh gambar yang diperlukan dari berbagai sudut, kemudian ditambah juga peninjauan dari sisi segmen customer melalui foto sampai akhirnya disepakati sebuah desain yang akan dibuat dasar sketsanya, dan dibuat gambar 3D-nya. Namun sebelum itu akan minta persetujuan dulu dengan klien, barangkali ada revisi.
“Ok, thanks for today,” kata Ai, menutup pertemuan. "Hasin, tomorow i'll give you my bassic skacth,” imbuhnya.
“Yeah, i'll wait,” balas pria bernama Hasin itu, dengan bahasa inggris aksen indianya.
Dan pertemuan pun berakhir. Masuk waktu duhur semua pria pergi ke musala kantor untuk salat berjamaah, sementara untuk pekerja perempuan memang tak banyak jumlahnya, namun juga mengikuti salat duhur di ruang yang terpisah sangat tertutup dari musala pria. Usai salat baru istirahat makan siang, kemudian Dira memastikan kembali apakah jadi pertemuan dengan Jafar siang ini. Ternyata tidak jadi, karena hari itu Jafar harus mengantar seorang pelukis yang baru datang untuk tahu di mana ruang kerjanya.
“Mbak, ini kata Jafar, jika tidak keberatan kita tunggu dia datang bersama pelukis yang akan satu ruangan dengan kita, biar sekalian kenalan,” kata Dira.
“Kamu saja. Saya pulang dulu,” balas Ai. Sengaja menghindar.
“Oh, gitu. Ya udah deh, mbak, nggak papa,” ucap Dira, tanpa ingin tahu alasannya.
Ai segera mengemasi barangnya, lalu beranjak berpamitan pulang, baru sampai pintu ada yang lebih dulu membukanya.
“Salaam ‘alaikum...! Kalian belum pulang?” Ucap Jafar setelah membuka pintu.
“Ya,” balas Ai, langsung kikuk, karena Jafar bersama dengan seseorang yang pernah sangat dekat dengannya, dulu.
“Ya, saya mau pulang,” kata Ai. Sembari berusaha menyembunyikan wajah.
“Hei... you, Aisha Kartika, right?” Sapa perempuan yang datang bersama Jafar.
“Ya. Hei,” balas Ai, kaku. “You, Azura?” Lanjutnya. Dengan terpaksa Ai membalas sapaan itu. Sebentuk wajah yang sebenarnya dia rindu, namun juga harus dia tinggalkan.
“So. You know each other?” Tanya Jafar. Membuyarkan mereka berdua yang saling terdiam.
“Yeah, she was my...” kata Azura, terputus.
“Best friend,” putus Ai.
“Good. Karena kalian sudah saling kenal, so I hope you can work together as a team,” kata Jafar. Kemudian dia pergi meninggalkan ruangan.
“Hei, excuse me,” ucap Dira saat mendekat ke arah mereka berdua yang hanya mematung saling pandang. “You, must be Biru Langit?” lanjutnya, sembari mengulurkan tangan perkenalan. “I'm Dira, her personal assistant.”
“O, ya, Hei. I'm Azura,” sambut Azura, memalingkan perhatian pada Dira. “Biru Langit is the meaning of my name. Someone told me about that,” kata Azura pada Dira, menujukan kalimat tersebut pada Ai.
Dira mengantar Azura ke mejanya, sementara itu tanpa pamit Ai langsung pergi meninggalkan ruangan. Dira menjelaskan jika ruang yang luas ini akan dihuni oleh mereka bertiga, namun jika ingin lebih personal ada pembatas ruang berupa pintu harmonika yang bisa digeser, sehingga ruangan terpisah menjadi dua.
“Ok, terima kasih untuk penjelasannya,” kata Azura.
“Anytime,” balas Dira. “Sorry, Mbak Ai sudah menunggu saya di loby. Jadi saya pamit dulu,” lanjutnya. Lalu Dira pun pergi.
“Dir, kamu pulang dulu saja, ada sedikit hal yang harus saya selesaikan,” kata Ai dari telepon, saat Dira berjalan menuju loby.
“Oh, gitu? Baik,” balas Dira.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang