Satu Bulan Kemudian

1K 56 11
                                    

Satu bulan berlalu, tiba saatnya Ai dan Dira kembali ke Jeddah, namun kali ini bukan hanya mereka berdua yang pergi. Ai mengajak mamanya, sedangkan Dira justeru sudah lima hari ditinggalkan oleh suami dan kedua orang tuanya pergi umroh. Dan mereka membuat janji temu di sana, mungkin tidak akan sulit, karena pemilik travel yang membawa suami dan kedua orang tua Dira adalah teman sendiri.
Sehari sebelum keberangkatan ke Jeddah Hasin menghubungi Dira guna menanyakan pukul berapa mereka sampai di bandar udara King Abdul Aziz Jeddah, karena pihak perusahaan akan menyiapkan fasilitas jemputan untuk mereka. Mengetahui ada fasilitas itu Dira langsung meminta bantuan pada Hasin bahwa dia butuh mobil yang besar untuk menjemput. Atau dua mobil untuk sekalian membawa keluarga yang berencana menjemput Dira di bandar udara juga. Dan perusahaan menyetujui, bahkan bersedia terlebih dahulu menjemput Pak Toha di kediamannya.
“Assalamualaikum...” Dira mengucap salam saat melihat suaminya bersama kedua orang tuanya menjemputnya, kemudian ia salami suaminya, kemudian ibu bapaknya. “Aku kangen sekali sama kamu,” ucap Dira terus terang pada suaminya. Hikam tersenyum lalu memberi sedikit pelukan pada istrinya.
“Bapak ibu sehat?” kali ini Dira menyalami kedua orang tuanya secara bergantian.
“Harus selalu sehat. Karena sudah diberi kesempatan untuk melihat Ka’bah selagi masih ada umur,” balas bapaknya.
Dira yang dulu lugu namun cukup berani dalam bersikap itu kini telah menjadi lebih tanggap dan penuh perhitungan saat bersikap dan menata segala sesuatu. Bahkan ia juga mengirim pesan pada Pak Mo untuk tak perlu repot masak di rumah, karena ia sudah reservasi di sebuah restoran seafood di pinggir laut merah yang dia tahu rasa dan suasananya cukup nyaman. Jadi saat keluar dari bandara Hasin dan dua mobil SUV keluaran BMW sudah siap menjadi tumpangan.
Sementara itu bagi Ai ini adalah momen yang sangat istimewa, karena setelah sekian tahun lamanya akhirnya kedua orang tuanya bertemu kembali.
“Papa... i miss you so much,” ucap Ai sambil memberikan pelukan pada papanya.
“Kamu ini, sudah hampir umur 40 tahun, kok peluk papanya masih kaya anak SMP,” komentar papanya.
“Papa sehat, ya?” Tanya Ai, setelah melepas pelukannya.
“Ya, alahamdulillah. Tapi belum boleh jalan kaki terlalu jauh,” jelas papanya.
“Hei,” kalimat itu mengawali sapaan papa Ai dan mantan istrinya.
“I’m so glad to see you again,” kata Pak Toha pada mantan istrinya. “How are you?” Tanyanya, lagi.
“Very blessed. Seperti yang kamu lihat, saya masih jauh lebih sehat dari kamu,” gurau mama Ai.
“Ya, setuju dengan itu. Kamu jauh lebih baik dari dugaanku,” balas Pak Toha, dengan senyum yang Ai rasa sudah lama tak pernah terlihat dari rona wajah papanya.
“Apa kamu pikir saya sudah tua renta dan bau obat gosok?” Tanya Mamanya Ai, yang lalu diikuti oleh tawa mereka.
Dira yang mengatur semua akomodasi berjalan paling depan untuk menemukan Hasin dan jemputan dari Khalid Group. Setelah bertemu Hasin, Dira memperkenalkan Hikam pada Hasin. Saat berkenalan Hikam terlihat aneh, karena mengulang ucapan Dira untuk menjelaskan bahwa dia adalah suami Dira.
“Untung saja,” kata Hikam saat sudah mobil mulai melaju.
“Apanya, mas?” Tanya Dira.
“Ya, untung saja kita sama sopir yang ini. Sudah berumur, jadi nggak takut nyasar,” kilah Hikam, tampak menyembunyikan sesuatu.
“Kamu cemburu ya, mas?” Terka Dira.
“Ya menurut kamu gimana? Hasin yang nomornya itu ada di hape kamu, ternyata gagah dan baik hati,” kata Hikam, jujur.
“Mas, baru kali ini, loh, aku lihat kamu cemburu,” komentar Dira, gemas. “Senengnyaaa...” guraunya.
“Nduk,” panggil ibunya, yang duduk di sebelahnya, sambil mengambil tangan Dira untuk digenggam. “Kamu boleh mengejar mimpi kamu setinggi-tingginya, kamu boleh pergi ke mana pun kamu mau. Ibu sama bapak mungkin tidak pernah sampai pada pencapaian kalian sekarang. Tapi pada saat tertentu nanti kamu harus pulang, dan tidak lagi memutuskan untuk saling berpisah,” kata ibunya.
“Kami bisa saling percaya, Buk. Ibu tidak perlu khawatir,” kata Hikam.
“Bukan begitu, nak. Tapi saling menahan rasa tidak aman dari jauh itu tidak mudah,” komentar ibunya.
“Iya, buk. Terima kasih nasihatnya,” balas Dira, sambil mengecup tulus punggung tangan ibunya.
***
Sesampainya mereka di restoran yang sudah dipesan ternyata ada beberapa orang yang sudah menunggu untuk menyambut mereka. Ami Usman dan istrinya, juga Azura yang memang sudah sepekan lalu berada di saudi. Dira memperkenalkan kedua orang tuanya pada Ami Usman dan istri, juga pada Azura. Ai juga melakukannya, namun saat Azura mendekat untuk memperkenalkan diri pada mamanya wajah Ai seketika berubah, dia khawatir kalau mamanya masih tak mau bertemu, karena dia tahu kalau mamanya pernah mengatakan jika ia sangat benci dengan Azura meski tak pernah bertemu secara langsung.
“Ai told me that you like flowers,” ucap Azura, tulus.
“Oh, thank you,” balas mama Ai. “Kamu pasti Azura,” lanjutnya. Kemudian Ai cukup terkejut dengan sikap mamanya, karena dia memberikan pelukan hangat pada Azura.
Setelah saling berkenalan dan mengobrol ramai, makanan mulai berdatangan, selama makan Ai terus memberi perhatian pada kedua orang tuanya, dia tentu saja sangat senang, sudah sangat lama ia rindukan saat seperti itu. Setelah selesai makan Ai menemani mamanya ke toilet.
“Ai, sepertinya ada yang ingin kamu katakan,” ucap mamanya, setelah selesai dari toilet, sambil cuci tangan. Ai tidak bisa mengelak, memang ada yang ingin ia katakan pada mamanya.
“Ma, kalau masih ada perasaan tidak enak dengan Azura, mama tidak perlu memaksakan diri,” ucap Ai, hati-hati.
“Ai, look at me,” pinta mamanya. “Mama sudah tua, sekarang. Dan akan terus menua setiap hari. Aku hanya ingin lebih banyak mencintai sesama manusia. Becouse Allah loves me a lot,” ucapan mamanya itu membuat Ai tersenyum senang, meski masih ada juga rasa bersalah yang memang tak pernah hilang lalu keduanya kembali ke meja.
“Ma, kalau begitu mama juga akan kembali mencintai papa?” Goda Ai.
“Kalau itu, cukup bagi kami untuk tidak saling membenci,” jawab mamanya, bijak.
Usai makan sore itu dua rombongan tersebut melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Toha, menginap semalam baru besoknya menuju kota Makkah untuk melaksanakan umroh. Ami Usman pulang ke rumahnya, sementara itu Azura turut serta singgah ke rumah Pak Toha.
Semenjak sampai di rumah Pak Toha Azura tampak diam dan kemudian dia menyendiri sambil duduk manis di tepi kolam renang. Lalu Ai datang menemaninya.
“I’m so glad to meet you again. Aku pikir kamu udah tinggal di kedalaman laut merah,” kata Ai.
“Gila,” balas Azura, sepontan. “Ai, menyenangkan ya, punya dua orang tua lengkap sampai bisa lihat kamu sukses,” lanjut Azura.
“Juga menyenangkan bisa tetap berteman dengan orang yang sudah pernah berproses bersama,” kata Ai. “Ra, aku senang akhirnya kamu bisa bertemu sama mama.”
“Aku, juga. Ternyata mama kamu orang yang hangat. Gayanya asik saat bertemu orang baru. Papa kamu juga. Terus kamu kaku angkuh gitu mirip siapa, sih?”
“Mungkin karena mereka membesarkanku secara terpisah, makanya aku memilih gayaku sendiri,” kata Ai, sambil melempar senyum.
“Gaya kamu itu bikin orang kesal,” balas Azura. dan Ai hanya tersenyum mendengar ucapan Azura. “
Ai kini mengerti kenapa dirinya dipertemukan kembali dengan Azura. bahwa pertemanan mereka masih dikehendaki oleh sang maha kuasa.
“Ra, maaf ya,” ucap Ai di sela diam mereka.
“Untuk apa?”
“Untuk semua kesulitan yang membuat waktumu banyak terganggu hanya untuk menemukan jawaban, especially about me.”
“Itu memang menjengkelkan, sih. Tapi kenapa baru minta maaf sekarang? Padahal aku sudah hampir sakit jiwa memikirkannya,” kata Azura.
“Mulai sekarang jangan sakit jiwa lagi. I’ll always be there for you, as you wish. Tapi aku minta satu hal sama kamu,” kata Ai, seraya menoleh ke arah Azura.
“Apa itu?” Tanya Azura, membalas pandangan Ai.
“Jangan pernah lagi bertanya apa pun tentangku. Tentang caraku bersikap dan menatapmu,” kata Ai.
“Kenapa?” Tanya Azura, tak mengerti.
“Memangnya kamu tidak lelah? Aku sendiri saja masih sering butuh jawaban tentang diriku sendiri,” jawab Ai
“Actually i’m so tired about you. Tapi semenjak Mom and Dad pergi, lalu kamu pergi, saat itu rasanya aku jadi terbiasa dengan banyak pertanyaan yang tak pernah menemui jawaban. Dan dari pada banyak bertanya, lebih baik kutepati janjiku untuk takkan pernah melupakanmu,” balas Azura, tulus. “Aku tak butuh jawaban apa pun, asalkan aku tak merasakan kehilangan lagi.”
Lalu sambil tersenyum Ai berkata, “Memang tak mudah melupakanku, kamu tidak akan mungkin bisa.” Ya, tingkat ke-narsisan Ai itu mungkin sudah setadium akut.
“Sometimes i really miss my parents, but i never know how to deliver my feeling for them,” Azura sedikit mencurahkan isi hatinya.
“Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa menghubungkan kita dengan orang yang sudah mati, kecuali kita percaya bahwa hidup dan mati ada pemiliknya,” Ai mengatakannya dengan yakin bahwa itu adalah jawaban yang Azura butuhkan, namun juga sedikit berhati-hati.
“Usiaku sudah hampir empat puluh tahun, sama denganmu. Aku sudah hampir terbiasa hidup tanpa kepercayaan semacam itu,” kali ini suara Azura terdengar bergetar.
“Apa yang kamu takutkan?”
“Bagaimana jika surga dan neraka itu ada? Sedangkan aku harus menyaksikan kedua orang tuaku kesakitan di neraka, sementara aku tak bisa banyak berbuat,” kata Azura, seolah ada kesakitan yang berada jauh dalam lubuk hatinya. Ai tak pernah menyangka jika pada akhirnya obrolan soal iman ini bisa sampai sedalam itu dengan Azura. “Bukankah sangat sia-sia tuhan memberiku hidup sepanjang ini hanya untuk menerima siksa-Nya, bahkan tak mampu seluruh hidupku untuk menyelamatkan kedua orang tuaku?!”
“Ra, hold my hands,” pinta Ai. Azura menurutinya, “look at me. You just need to believe in God. And everithings will be alright.” Rasanya tak pernah Ai seserius ini meminta Azura untuk mendengarkan nasihatnya. Dia tatap dalam tanpa sedikit pun ia lepaskan pertemuan pandang mereka. Sampai Azura kehilangan kata, dan hanya mengatupkan matanya untuk melepas air mata yang sudah menggumpal. “I’m sorry. I didn’t mean to make you cry,” kata Ai, sambil melepas genggamannya. Lalu tiada lagi kata di antara mereka.
Dalam hati Ai kembali berdoa untuk sahabat lamanya itu, “Ya Allah... sang pemilik hidup dan mati, jika boleh hamba meminta, iman kan dia sebelum perjalanan hidupnya terhenti. Tidak ada orang lain yang berdoa untuknya selain diriku, hamba juga ingin bisa bersamanya di surga-Mu nanti, dengan persahabatan yang Kau ridhoi.”
Sementara itu Dira mengantar Hasin hingga ke mobil untuk mengucapkan terima kasih.
“Hasin, thanks for to day,” ucap Dira.
“Any time,” balas Hasin. “Oh ya. I’ll do everything for her,” celetuk Hasin, pelan.
“Do you mean, Mbak Ai?” Tanya Dira, yang mendengar celetukan Hasin tadi.
“No, i mean, yes,” jawab Hasin, gugup.
“Do you have a feeling for her?” Dira, terlihat bersemangat dengan pertanyaannya.
“I... don’t know, but, i just really care about her,” jawab Hasin, pasrah. Dira pun tertawa tak tertahan, lalu kemudian Hasin segera pergi meninggalkan kediaman Pak Toha.
***
Keesokan harinya tidak terlalu pagi mereka pergi ke kota Makkah untuk melaksanakan umroh, melainkan agak siang dan sengaja sekalian ambil miqot bukan di masjid biasanya, melainkan di Masjid Ji’ronah, sebuah masjid yang jaraknya sekitar 24 kilometer arah timur laut Masjidil Haram, tepatnya di desa Ji’ronah di Wadi Saraf. Ada banyak peristiwa penting terjadi di masjid tersebut, salah satunya adalah sebagai saksi turunnya sebuah wahyu dalam surat Al-Baqoroh ayat 196.
Usai melaksanakan shalat dhuhur di sana, rombongan langsung lanjut ke Haram untuk melaksanakan Umroh. Kali ini Dira dan Ai melaksanakan umroh secara terpisah. Bagi Ai ini adalah  pengalaman terindah sepanjang hidupnya, cinta murni dari tanah Haram membawa kedua orang tuanya yang sudah lama berpisah untuk berada dalam pusaran Ka’bah bersamanya. Karena Pak Toha harus mengenakan kursi roda, maka Ai membawa kedua orang tuanya ke lantai atas untuk melaksanakan seluruh prosesi umroh mengenakan skuter matic yang tersedia. Tak henti air matanya menetes deras karena bahagia.
Sementara itu Dira bersama suami dan kedua orang tuanya melaksanakan umroh di lantai dasar, berjalan bersama dalam rasa syukur yang juga tak henti ia panjatkan. Tawaf dan sa’i mereka laksanakan dengan penuh semangat namun juga sangat khusyu’. Hikam terus menuntun tangan ayah mertuanya agar tak terjatuh juga sebagai penopang, mengingat usianya yang sudah lanjut. Sedangkan Dira terus menjaga dan menopang ibunya, tak henti dia pandang wajah renta bapak ibunya, bersyukur bahwa ia masih sempat membawa kedua orang tuanya ke tanah suci.
Usai semua prosesi umroh Ai mengajak kedua orang tuanya untuk melihat K’bah dari lantai yang sama. Pemandangan ka’bah nampak jelas dan membuat dada terus bergetar dengan dzikir dan segala rasa syukur yang seolah tak bisa dihentikan. Di tepi pagar mereka berdiam. Ai berdiri di tengah di antara kedua orang tuanya. Dia genggam kedua tangan mereka erat.
“Ai, jika papa mati sekarang juga, rasanya tidak akan ada yang papa sesali. Papa sudah bisa ke tanah suci bersama kalian. Meski bagaimana pun hanya kalian keluarga yang pernah kumiliki,” kata Papanya.
“Mas, maafkan semua kesalahanku, ya,” balas Mamanya, tulus. Terdengar sangat  manis bahkan lebih indah dari segala kata yang pernah Ai dengar. Rasanya interaksi ini sudah lama sekali Ai impikan.
“Aku yang harusnya minta maaf pada kalian,” balas Papanya. “Terima kasih untuk hari ini,” lanjutnya.
Ai semakin erat menggenggam tangan kedua orang tuanya, dia cium secara bergantian punggung tangan orang tuanya. Dia pejamkan mata dan merdoa dalam diam... “Sampaikan cita-cita hamba membawa mereka kembali ke rumah-Mu untuk ber-Haji. Menyempurnakan rukun agama-Mu dengan segala daya yang Kau takdirkan untukku.”
Dira pun demikian, dia bawa orang tuanya dan juga suaminya untuk beristirahat sambil memandang Ka’bah.
“Pak, Buk, terima kasih banyak, sudah mendampingi Dira sampai sejauh ini,” ucapnya, sambil menggenggam tangan kedua orang tuanya.
“Bapak yang terima kasih sama kamu,” balas bapaknya.
“Iya Nduk. Terima kasih kamu sudah kuat bertahan dan berproses dalam keterbatasan kami sebagai orang tua.” Seketika semua ungkapan hilang dari bibir Dira. Ia hanya bisa menahan haru yang tak mampu lagi terbendung. Hikam mendekatinya dan memberi rangkulan dari samping. Saling menatap, seolah ada hal yang sedang mereka bicarakan.
“Mas, apa yang kamu minta sekarang?”
“Aku minta supaya dimudahkan semua urusan pekerjaan kita, dan aku berjanji pada Allah untuk bisa bekerja lebih giat lagi, supaya bisa bawa Bapak Ibu kembali ke sini untuk ber-Haji guna menyempurnakan rukun islam,”
“Berjanji?” Tanya Dira, dengan penggunaan kata itu.
“Iya, Allah benci jika seorang muslim tidak menepati janji. Maka Ia pasti akan memberiku kemampuan untuk menepati janjiku pada-Nya,” jelas Hikam, sambil melempar senyum termanis yang selalu Dira rindukan.
“Mas, tiga hari lagi kamu pulang, aku titip Bapak Ibu, ya,” kata Dira.
“Jangan khawatir. Mereka orang tuaku juga,” balas Hikam. “Aku juga titip hatiku yang tertinggal, ya. Sampaikan rindu dan salamku setiap kali kamu ke Baitullah, dan ziyarah kepada baginda Rasulullah,” lanjut Hikam.
“Satu lagi, Mas. Aku titip cintaku yang sengaja kutinggalkan di hati kamu. Jaga baik-baik sampai aku pulang,” gombalan Dira kumat, dan hanya Hikam balas dengan kecupan di keningnya.
***


CATATAN AISHA...
Aku tidak pernah mengingkari ke-sunnah-an pernikahan. Orang mengataiku tidak menikah atau belum menikah, semua terserah mereka. Namun yang ada saat ini aku hanya ingin mengabdikan diriku untuk memberikan cinta yang besar bagi kedua orang tuaku. Aku hanya ingin mendampingi masa tua mereka. Mencintai pasangan hidup membutuhkan banyak syarat, harus dari lawan jenis, harus sama-sama kuat untuk bisa bersama mengarungi angin dan badai, harus saling percaya, dan harus-harus lainnya. Aku tak cukup mampu untuk syarat-syarat itu. Sedangkan untuk mencintai kedua orang tua aku hanya harus mencintai, mencintai dan mencintai. Aku tidak mengatakan jika pilihanku adalah yang paling benar, karena kebenaran sejati bukanlah milik manusia. Pada akhirnya aku hanya bisa minta maaf atas apa yang tak bisa kuberikan pada kedua orang tuaku. Aku sangat mencintai mereka, itu saja yang kutahu. Aku dan segala baik burukku tidak mungkin ada tanpa kehendak-Nya.
CATATAN DIRA...
Ingin menjadi ibu tapi Allah belum berkehendak. Aku ingin selalu ada untuk keluargaku, tapi aku sudah memilih bekerja agar tetap produktif menjalani hidupku, dan suami memberikan dukungannya padaku. Dengan tanggung jawab pekerjaan yang kuemban aku jadi mampu menabung untuk biaya hidup orang tuaku, hingga bisa memberangkatkan mereka pergi ke Haramain, dan tabungan untuk bisa membangun rumah kami. Aku sudah sepakat dengan suamiku untuk tak perlu mencari tahu apa yang sebenarnya kami cari, karena sesungguhnya Allah sudah mengamanahkan sebuah potensi. Dan dalam sebuah potensi tentu ada tanggung jawab yang harus disyukuri.
Suatu hari aku pernah membicarakan mengenai investasi di usaha mi ayam milik suamiku. Tentu saja dia menolak, karena baginya uangku adalah milikku, dan untuk memenuhi kebutuhan juga keinginanku secara pribadi, namun kukatakan padanya, “Biarkan aku menjadi Khadijah-mu,” lalu dia menjawab, “Tapi tentu saja aku tak sesempurna Rasulullah,” dan kukatakan, “Aku juga tak sebaik Sayyidah Khadijah, tapi bukankah rumah tangga terbaik umat manusia adalah rumah tangga Rasulullah, dan sebaik ummat-nya adalah yang semaksimal mungkin mengikuti sunnah-nya?!” Dia tersenyum lalu mengecup keningku dan berkata, “Selalu bersyukur atas cinta Allah yang tak terbatas. Tanpa kehendak-Nya kita dan segala tentang kita tidak akan mungkin ada.”
***
“Mbak, Hasin atau Pak Darwis?” Tanya Dira pada Ai, iseng.
“Aku mau pelihara kucing aja,” jawab Ai, tak nyambung. “Kamu cari tahu, dong, kucing apa yang pas buat aku,” lanjut Ai.
“Sekalian aja shalat istikhoroh dulu,” kelakar Dira.
“Dira. Minggu depan tanggal delapan kita ke Moscow,” kata Ai, tentang pekerjaan mereka berikutnya.
“Tapi kan tanggal lima kita baru sampai Jakarta, Mbak,” balas Dira.
“Kalau kamu keberatan, kamu bisa carikan pengganti kamu. Kriterianya yang habis dipecat bisa langsung dapat kerja, dipecat lagi dapat kerja lagi,” kata Ai.
“Harus yang disuruh kirim uang malah dikejar rampok dan jadi celaka, ya, Mbak?” imbuh Dira, mengenang tugas awalnya dulu.
“Kalau itu jangan,”
“Kenapa? Pasti sebenarnya kamu khawatir. Ya, kan?”
“Siapa yang khawatir? Itu kan kesalahan kamu sendiri, melanggar SOP,” balas Ai.
“Sekalian aja yang mau disuruh belajar ngetik cepat sampai bosen.”
“Kalau cari yang sudah bisa ngetik cepat, pasti sudah punya kerjaan.”
***
Selesai...

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang