Kemampuan Atau Perasaan

760 65 1
                                    

Pagi hari seperti biasa mereka pergi bekerja bersama, namun saat sampai kantor, Ai tidak turun dari mobil.
“Saya sudah rinci tugas kamu hari ini via whatsapp. Selesaikan dengan baik. Saya ada meeting dengan Hasin sama Mister Khalid juga, mungkin akan seharian,” kata Ai.
“Baik, mbak. Nanti Mbak Ai ke kantor, tidak?” Tanya Dira.
“Mungkin,” jawab Ai, singkat.
“Kalau begitu saya akan tunggu,” kata Dira. Dan sepertinya Ai tak mendengar.
Dira melangkah masuk ke ruangannya sendirian, namun sudah ada Azura dalam ruang kerja mereka.
“Morning...” sapa Azura, ramah.
“Morning...” balas Dira. “Sudah tiba dari tadi?” Tanya Dira.
“Lumayan. Ada lukisan yang harus segera saya selesaikan,” jawab Azura, sembari menikmati secangkir kopi di tangannya.
“Sudah mulai melukis untuk Khalid grup?” Tanya Dira.
“Belum. Ini lukisan yang ingin saya pasang di dinding ruang kerja saya sendiri,” jawab Azura.
“Oh,” komentar Dira. Singkat. Setelah itu dia membuka pesan whatsapp untuk mengetahui tugas yang diberikan oleh atasannya. Ada dua tugas penting yang harus dia selesaikan. Yang pertama adalah mencari via applikasi peta alamat-alamat dari vendor pemasok bahan bangunan yang bekerja sama dengan khalid grup, dalam daftarnya, ada sekitar sepuluh brand yang terdaftar, meliputi bahan lantai, atap, kayu-kayu, pintu dan kusen, serta aksesoris lainnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui berapa biaya yang akan dikeluarkan untuk transportasi setiap ke sana. Di samping itu harga-harga juga didata dengan baik, melalui acuan harga yang sudah dikirimkan oleh Janu via email. Lalu tugas ke duanya adalah mencatat ukuran wallpaper, karpet, dan lukisan-lukisan yang dibutuhkan sesuai desain yang disepakati. Setelah itu ia harus memberikan catatan tersebut pada yang bersangkutan, salah satunya adalah pelukis yang mengerjakan seluruh hiasan dinding ruang, dalam hal ini adalah Azura.
Pekerjaannya itu ternyata cukup menyita waktu, Dira hanya istirahat untuk salat, dan terus mengabaikan panggilan masuk, kecuali jika itu dari Ai, dan itu pun tidak terjadi. Hingga selesai jam kerja Dira masih terlihat sedikit sibuk. Azura pun mendekatinya.
“Tidak pulang?” Tanya Azura.
“Sebentar lagi,” jawab Dira.
“Boleh, saya duduk di sini?” Tanya Azura, minta izin untuk duduk di bangku depan meja Dira.
“Ya, silakan,” kata Dira. Tidak ada obrolan antara keduanya sampai tiga menit berlalu dan Dira sudah menyelesaikan pekerjaannya. “Done... Alhamdulillah...” Kata Dira, puas.
“Jika tidak selesai apakah dia akan marah?” Tanya Azura.
“Tidak tertebak,” jawab Dira, enteng. Sembari membereskan barang-barang ke tasnya.
“Who is he?” Tanya Azura, sambil menunjuk bingkai foto yang ada di meja kerja Dira.
“He is my husband,” jawab Dira.
“Cool,” komentar Azura.
“What do you mean, cool?” Tanya Dira.
“Ya, menurut saya orang yang bisa LDR an itu keren,” jawab Azura.
“Itu komentar paling sinting yang pernah saya dengar,” balas Dira. Dia mulai berdiri untuk segera pergi.
“Need a ride home?” Azura menawarkan tumpangan.
“No, thanks. I can order a taxi,” jawab Dira. Azura pun pergi meninggalkan ruangan, sementara itu Dira juga segera beranjak dari meja kerjanya, dan sambil jalan dia memeriksa ponselnya, ada sembilan panggilan video dari suaminya tidak terjawab. Dira merasa bersalah dan berkali-kali mencoba melakukan panggilan ulang, namun tidak bisa. Hatinya mulai kesal, lalu setelah sampai loby dia duduk di kursi, sembari mengirim pesan pada suaminya.
“Maaf, mas, tadi sedang banyak pekerjaan. Jika sudah senggang balas pesanku, ya...” Kata itu dia kirimkan bersama tanda emotikon menyesal dan memohon. Setelah pesan terkirim ada panggilan masuk dari Ai, sambil menerima panggilan dia melangkah keluar untuk menunggu taxi.
“Halo... iya, Mbak?”
“Tadi sebelum kerja, kamu sudah baca semua pesan?” Tanya Ai.
“Sudah, Mbak,” jawabnya, yakin.
“Sepertinya ada yang terlewat,” kata Ai. “Kamu baca lagi, pesannya,” perintah Ai tanpa kompromi.
Dira menghela napas kesal, karena dia pikir semua pekerjaannya sudah selesai. Namun dia menurut saja perintah atasannya itu, ternyata benar, ada pesan yang terlewat, hasil salinan yang dilakukan ditunggu oleh Ai untuk dikirimkan via email pada pukul 3:30 PM untuk bisa langsung diperiksa jika ada yang kurang atau perlu revisi, dan itu belum dia lakukan. Buru-buru dia lakukan panggilan pada Ai, tapi berkali-kali tak ada jawaban. Dia langsung menyimpulkan bahwa Ai mungkin marah, alhasil sore harinya menjadi sangat kacau.
“Tin tin...” suara klakson itu dari mobil yang berhenti di depannya. “Come in...” ajak Azura.
“No thanks,” balas Dira.
“Akan lama kalau kamu tunggu taxi,” kata Azura. “Aku butuh teman untuk makan malam,” lanjutnya. Kemudia Dira pun bersedia, dan duduk di bangku sebelah kemudi. Lalu mobil melaju.
“Itu muka, kenapa?” Tanya Azura, mengomentari raut wajah Dira yang terlihat kusut.
“Hari yang kacau,” jawab Dira, kesal.
“Dimarahi sama bos?” Tanya Azura. Dira tidak menjawab. Sepanjang jalan dia hanya diam, memikirkan kendala komunikasi dengan suaminya yang terjadi sejak hari kemarin, lalu dia juga memikirkan bagaimana pesan penting itu bisa terlewat? Pasti nanti sampai rumah pekerjaannya akan langsung diminta, dan atasannya itu marah, karena dia tidak fokus. Belum lagi jika ternyata ada revisi. Di tengah kekacauan pikirannya sendiri dia malah bolak balik melihat layar ponselnya dengan membuka aplikasi whatsapp, pesan yang dia kirimkan tadi tak hanya belum terbalas bahkan belum terbaca.
Lima belas menit kemudian mereka sampai di sebuah restoran pinggir pantai laut merah yang menawarkan menu seafood dan pemandangan senja yang indah. Azura memesan udang dan cumi dengan saus lemon yang disuguhkan bersama kentang goreng, dan Dira mengikuti saja, selera makannya memburuk.
“Kenapa tidak makan?” Tanya Azura.
“Oh, iya,” balas Dira, malas.
“Ada masalah pekerjaan? Kalau tidak keberatan kamu bisa sharing, siapa tahu akan sedikit meringankan beban,” kata Azura.
“Not a big deal, sih, Mbak.” jawab Dira, sok tabah.
“Don't call me Mbak. I was born in amerika, and I grew up there. Jadi biasa dipanggil nama saja,” kata Azura.
“Sepertinya saya hanya kurang fokus hari ini,” kata Dira. “Dia meminta saya untuk mengirim email, tapi file sudah tersimpan di komputer kantor, dan saya sudah harus pulang. Kan males, mau kembali lagi!” Curhat Dira.
“Sinc your gedget with email, so if you want to check your work, you don’t need to open your computer,” saran Azura.
“That's the problem. Saya memang belum tahu beberapa hal,” jawab Dira.
“May i borrow your phone?” Tanya Azura. Dan Dira memberikannya untuk ditunjukkan caranya oleh Azura. Sambil otak atik ponsel Dira, Azura memberikan masukan pada Dira dengan berkata, “Kerja itu pakai etos, jangan pakai perasaan. Karena suasana hati mudah berubah dan etos akan selalu terukur dan terarah.”
“Good advice, thanks,” balas Dira.
“Ya, kata itu yang menemaniku berkarya sampai detik ini,” kisah Azura.
“Apakah dia orang yang sangat penting?” Tanya Dira, ingin tahu.
“She is the only one i have in this world,” jawab Azura.
“She?” Tanya Dira.
“Nah, begini, kamu bisa mulai dari langkah ini,” kata Azura mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan cara sinkronisasi yang harus dilakukan oleh Dira.
***
Pukul 4:15 PM Ai baru ingat bahwa dia harusnya menjemput Dira di kantor, untuk memeriksa  pekerjaan Dira, meskipun di akhir pesan dia sudah memasukkan perintah untuk mengirimkan via email, namun dia juga ingat jika tadi Dira mengatakan akan menunggunya. Akhirnya Ai memutuskan untuk menelepon Dira setelah memeriksa alamat emailnya dan belum ada pesan masuk.
“Ai, jangan marah-marah terus, nanti tambah tua loh,” kata papanya. Setelah Ai menutup panggilan.
“Dira itu belum bisa mengukur dirinya, jadi kadang kurang teliti dengan tugas,” jawab Ai.
“Tapi dia bisa, lo, kerja sama kamu!” komentar papanya.
“Iya sih. Tapi dia belum terlatih jaga mood,” kata Ai. “Tadi malam dia tidak tidur dengan baik,” lanjutnya.
“Besok hari libur. Jangan merusak suasana hati karyawan di luar jam kerja,” kata papanya. Sambil duduk di sofa dan menyalakan televisi.
“Baik, bos,” kata Ai, sembari mendekat duduk di sebelah Papanya.
Kamis sore adalah akhir pekan di saudi, setelah penutup telepon  pada Dira, Ai sengaja tak lagi mengangkat panggilannya, siapa tahu Dira sengaja ingin menikmati sorenya dengan sekadar melepas lelah di pinggir laut merah. Sore di kota ini memang sangat menawan untuk dinikmati.
“Sore, Ai. Aku dapat nomor kamu dari ponsel Dira,” pesan masuk itu dari Azura.
Menerima pesan itu Ai merasa sedikit terkejut, meski sebenarnya dia sudah menyangka akan hal itu, karena dia tahu bahwa Dira tidak akan menyerah untuk tahu dan mengenal siapa Azura, entah sengaja atau tidak Dira memberikan nomor ponselnya pada Azura.
Ai tidak tahu akan membalas apa, rasanya aneh ketika tetiba ada orang yang mengirim pesan sementara sudah sangat lama tidak saling berbicara.  Dia tak bisa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tak ada sepatah kata pun yang terpikir di benaknya, namun senyumnya tersungging, bahwa mereka pernah bersama, itu faktanya.
Hingga selepas waktu maghrib Dira baru datang. Dan langsung masuk kamar, dia lihat Ai sedang duduk di atas sajadah sambil mengenakan kaca mata dan membaca alquran.
“Hei, baru pulang. Kamu sudah makan?” Sapa Ai.
“Sudah,” jawab Dira, sambil meletakkan tas di meja kerjanya. Lalu dia duduk di tepi ranjangnya. Untuk beberapa saat tidak ada kata antar satu sama lain, karena Dira langsung masuk ke kamar mandi, sementara itu Ai masih terus membuka lembar demi lembar kitab suci yang dia baca. Sampai selesai waktu isya dan keduanya sudah bersantai, karena tidak ada rencana untuk keluar rumah. Ai memilih membuat dan menikmati chai halib (teh susu has arab) di mini bar, kemarin dia baru saja belajar membuatnya sendiri dengan papanya, sambil terus melihat layar ponselnya, masih tidak tahu akan membalas apa. Lalu Dira mendekat dan duduk pula di sisi lain dari mini bar berhadapan dengan Ai.
“Mbak, apa kamu marah, sama saya?” Tanya Dira.
“Nggak,” kata Ai.
“Kenapa kamu tidak angkat telepon?” Tanya Dira.
“Ini akhir pekan, dan papa mengingatkanku untuk tidak merusak mood pekerja di luar jam,” jelas Ai, santai. “Mau?” Ai menawarkan minuman  pada Dira. Melihat sikap Ai yang tetap tenang di luar dugaan itu membuat hati Dira yang sudah kacau justeru semakin kacau, tidak tahu mau berkata apa lagi, Ai juga hanya diam sembari memperhatikan layar ponsel, begitu pula dengan Dira, dia juga sibuk memandangi pesan yang dia kirimkan pada suaminya yang masih belum ada tanda telah dibaca.
“Mbak, kamu beneran nggak marah, kan? Saya minta maaf karena kurang teliti,” ucap Dira, masih penasaran dengan isi hati Ai yang sebenarnya.
“Dira, segitu merasa bersalahnya kamu?” Tanya Ai.
“Ini hari yang buruk,” komentar Dira.
“Dir. Manusia itu suka menyalahkan waktu, karena terlalu mengeksploitasi perasaan. Bekerja itu dengan etos,” kata Ai. Dan kalimat itu mengingatkan Dira pada ucapan Azura tadi sore.
“Bukan dengan perasaan, karena perasaan mudah berubah, sedangkan etos akan mudah terukur dan terarah,” kata Dira, melanjutkan nasihat Ai.
Sedikit terkejut saat Dira melanjutkan ucapannya, lalu Ai berkata, “Berapa banyak lagi sesuatu yang kamu tahu tentangku darinya?”
“Azura?” Tanya Dira. Ai tak menjawab dan langsung beranjak dari tempat duduk. “Mbak, jika kalian dulu sangat dekat, apa susahnya menyapa lagi sebagai sesama manusia?” Tanya Dira lagi, yang cukup mampu menghentikan langkah Ai.
“Kenapa kamu suka sekali mencampuri urusan orang lain? Mengurus satu pekerjaan saja masih sering salah,” kata Ai, menyakitkan.
“Manipulatif... semua orang kaya itu sama... mereka sukses karena pandai memanipulasi perasaan...!” balas Dira, tak kalah sengit. Kata kata Dira itu membuat Ai berbalik kembali ke arah Dira, dan menyeret lengan Dira dengan paksa untuk masuk ke kamar mereka. Ai duduk di tepi ranjang miliknya.
“Duduk...” perintah Ai, dan Dira menurut untuk duduk di tepi ranjang nya sendiri. Kini mereka duduk berhadapan.
“Kenapa tadi malam kamu tidak tidur dengan baik? Kenapa pula kamu sibuk dengan pikiran kamu sendiri tentangku dan Azura?” Tanya Ai, tegas.
“Kenapa kamu boleh bertanya hal pribadi saya, dan saya tidak? Apa karena kamu bos, dan saya hanya asisten? Kenapa saya selalu salah dan nyaris tak pernah benar...?” Teriak Dira, jengkel.
Ai masih diam dengan tatapan sangat serius, sedangkan Dira yang sejak pagi suasana hatinya sudah buruk tak bisa lagi menahan tangis.
“Kenapa saya boleh dan kamu tidak? Karena pikiran itu membuat pekerjaan kamu berantakan...! Kamu tidak tidur dengan baik tadi malam, pagi hari stamina kamu menurun, sulit konsentrasi. Lalu kamu masih mau melakukan aksi heroik dengan menjadi perantara komunikasiku sama Azura,” jelas Ai dengan nada sangat tegas. “Pikiran negatif itu yang selalu membuat kamu gagal. Saat bekerja, etos yang dibutuhkan, tapi kamu masih terjebak dengan urusan pribadi,” lanjutnya. Lalu Ai beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Dira untuk berpikir.
“Malam. Bisa bertemu sekarang?” Ai membalas pesan dari Azura. Tak perlu menunggu lama pesan itu langsung terbalas.
“Ofcourse...” balas Azura.
Mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe yang mengkhususkan menu makanannya dengan konsep vegetarian. Karena malam jumat suasana kafe itu jadi cukup ramai. Banyak pula keluarga muda yang nongkrong untuk menikmati akhir pekan. Di salah satu meja Ai menunggu Azura, dan tak lama kemudian Azura datang. Dia kenakan abaya saudi di bagian luar pakaiannya, lengkap dengan jilbab panjang yang hanya diselampir di kepalanya, lalu bagian dalam abaya yang terlihat dari luar dia kenakan celana blue denim dengan kaos oblong putih, itu memang outfit kesukaannya.
“Hei...” Sapa Ai, canggung, sembari mengulurkan tangan untuk disalami. Namun Azura langsung memeluk sahabat lamanya itu.
“I miss you,” ucapnya dalam pelukan. Ai hanya diam, dalam hatinya mengatakan hal yang sama. Sepersekian detik mereka melepaskan pelukan dan duduk berhadapan. Tak sedikitpun Azura melepas pandangannya pada Ai.
“It’s very weird to see you with that outfit,” kata Ai, menghilangkan suasana aneh pada pertemuan mereka. Lalu keduanya tertawa.
“No, ini tidak aneh, Ai. Do i look like an arabian woman?” Kata Azura.
“Yeah, up to you,” balas Ai. Beberapa saat mereka terdiam “Ra, aku masih tidak percaya kita bisa bertemu lagi,” kata Ai.
“I’m happy to see you again,” balas Azura.
“Bagaimana rasanya tinggal di negara arab?” Tanya Ai.
“New experience. Awalnya agak takut, tapi setelah baca-baca artikel tentang saudi, tentang jeddah, dan katanya lautnya bagus. Terus aku dengar pemerintah saudi mulai giat mempromosikan wisata airnya, dan katanya diving juga oke di sini, so, why not?” Kata Azura. “Apalagi ternyata bisa bertemu kamu lagi. Ini kejutan terbesar dalam hidupku,” lanjutnya.
“Apa yang membuat kamu sangat tertarik dengan dunia bawah laut?” Tanya Ai.
“The deepness,” kata Azura, sambil menatap Ai, berharap Ai membalas tatapannya. Namun harapannya sia-sia. Karena itu ia lanjutkan ucapannya. “Like you.”
“Ra, sangat senang melihatmu seperti sekarang, kamu hebat,” kata Ai.
“Aku bertahan karena di masa depan aku ingin bertemu lagi denganmu.”
“Jadi jika ternyata suatu saat kita tidak bertemu lagi, apa kamu akan menghancurkan dirimu sendiri?” Tanya Ai. Serius.
“Bagaimana dengan dirimu? Apakah akan selalu memilih pergi, karena tidak bisa memilih mati?” Tanya Azura kembali. Mereka terdiam untuk beberapa saat, sambil mengaduk teh dan kopi di hadapan mereka masing-masing. “Ini terlalu serius untuk obrolan teman lama, isn’t it?” Kata Azura memecah diam.
“Ya, asli,” balas Ai.
“Ai, yang paling susah untuk adaptasi di sini masalah penampilan. Tau lah, aku lahir dan besar di western, dan bahkan belum tahu sama sekali tentang arab, apalagi islam,” curhat Azura.
“Lalu, bagaimana tentang keyakinan kamu sekarang? Apa kamu sudah putuskan untuk mengambil sebuah kepercayaan?” Tanya Ai.
“Entah lah, aku hanya percaya bahwa manusia memiliki banyak kesempatan untuk menjadi baik, meski tidak ada agama apa pun yang diyakini,” jawab Azura. “Kalau kamu?” Tanya Azura, tentang kepercayaan Ai sekarang, sebenarnya Azura memang melihat banyak sekali perubahan pada diri Ai.
“Allah found me in my darkness, dan iman menunjukkanku pada banyak jalan,” jawab Ai.
“Ya, aku melihat dirimu jauh berbeda sekarang,” kata Azura. “And you look suitable with that outfit,” guraunya. Kemudian mereka tertawa bersama.
“Hei, Aishah?” Tetiba ada yang menyapa Ai, dan tak lain itu adalah Ami Usman dan istrinya Amah Salma.
“Ami, how are you?” Tanya Ai, sembari menyalami Amah Salma.
“Fine, alhamdulillah,” jawab Ami Usman. Lalu Ai memperkenalkannya pada Azura. Dan Ai mempersilakan Ami usman dan istrinya untuk duduk bersama mereka.
“So, Azura is an american of indonesian descent. And i’m an arabian of indonesian descent?” Kata Ami Usman, yang disusul dengan anggukan bersama lalu diiringi dengan tawa akrab di antara mereka.
Usai banyak obrolan mengalir di antara mereka, saatnya kembali ke tempat tinggal masing-masing.
“Ai, terima kasih untuk waktunya,” kata Azura, saat mereka hendak berpisah.
“Sama-sama,” balas Ai. “Ra, tentang asistenku Dira, cukup katakan jika kita dulu berteman baik, jangan memberinya petunjuk aneh-aneh tentang kedekatan kita, dulu,” lanjutnya.
“Do you regret about our past?”
“Nope. Tapi Dira itu masih sulit menjaga mood saat bekerja. Dia masih harus menggali potensinya sendiri,” jelas Ai. Ia sebenarnya tahu bahwa kata-katanya tentang masa lalu itu cukup menyinggung perasaan Azura.
“Pola kerja kamu belum berubah. Masih merasa paling bisa menjaga diri,” balas Azura.
“Bukankah kamu bisa sesukses sekarang juga karena mengikuti polaku?” Kata Ai. Sembari tersenyum melempar pandangan narsis pada Azura.
Azura membalas senyuman itu dengan ekspresi jengkel, namun juga setuju. “Pasti si Dira sekarang stres berat sama prilaku bossnya yang unpredictable?” Ucap Azura.
Pertemuan malam itu sengaja Ai lakukan karena ternyata sikap menghindarnya dari Azura justeru membuat semua orang tidak tenang, bahkan dirinya sendiri, jika teman, kenapa tidak tetap saja berteman? Lagipula dia selalu mengatakan untuk lebih memilih kemampuan daripada perasaan saat bekerja. Tapi jika dia sendiri yang terjebak pada keputusan di masa lalu, bukankah dia melanggar aturannya sendiri?!

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang