The Pure Love in Haramain

568 42 7
                                    

Maaf banget, baru bisa publish lanjutannya...
Sekali lagi terima kasih kepada yang sudah membaca sampai bab ini
_____________

Sepekan berlalu, Dira mungkin masih banyak menyimpan kesal pada Ai, karena nyaris jarang sekali Ai memberikan tugas padanya. Namun Dira tak lantas membiarkan kekesalan itu tanpa jawaban, ia akhirnya mencoba berbicara pada atasannya.
“Mbak, kenapa belakangan kamu tidak pernah memberikan tugas apa pun? Apakah saya terlihat tak cukup mampu untuk mengurus beberapa hal? Apakah kamu masih menyesal saya kembali? mengingat Mbak Ai pernah memecat saya,” kata Dira, lancar.
“Kamu sudah mengurusku, kamu juga mengurus papa dengan baik selama aku tidak tahu papa sakit. Kami bukan keluarga kamu, itu juga bukan pekerjaan kamu. Tapi seperti tak peduli kamu tetap melakukan semua dengan baik. Rasanya keterlaluan jika beban pekerjaan kantor masih kubagi denganmu,” kata itu terdengar cukup manis untuk keluar dari seorang Aisha Kartika. Sayangnya kalimat yang menunjukkan perasaan sukan itu hanya muncul di benaknya.
“Mbak, please say something,” kata Dira, yang merasa bahwa Ai tak mendengarnya.
“Oh, iya,” ucap Ai, membuyarkan diri atas kata yang sebenanrnya sudah muncul di benaknya. “Tolong kamu cek jurnal transaksi di rekening perusahaan melalui email. Ada yang mencurigakan dari proses pengiriman pembayaran dari Khalid Group kemarin,” kata Ai.
Kalimat perintah dari Ai itu cukup mampu membuat Dira menyesal mengatakan uneg-unegnya, namun sepertinya Dira sudah semakin paham dengan atasannya itu, tak mungkin Ai mengucapkan kalimat wajar yang ia bayangkan. “Hanya itu?” Tanya Dira.
“Ada lagi. Mengingat kita sudah akan pulang minggu depan, ada baiknya kita lakukan tawaf wada’ ke Makkah, dan ziaroh wada’ ke Madinah. Kita pergi ke makkah dulu nanti sepulang kerja. Kita menginap di Makkah, lalu besoknya kita jalan ke Madinah, setelah itu kita menginap lagi di Madinah dan besoknya baru pulang ke sini,” jelas Ai.
Dira tersenyum sambil berkata, “Baik.” Sambil menggeleng dan tersenyum Dira beranjak dari tempat duduknya. Kalau sudah ada banyak perintah berarti dia sudah harus bekerja dengan tenang.
***
Sepulang kerja mereka berdua bersiap pergi ke kota Makkah menggunakan taxi sebagai transportasi.
“Mau langsung tawaf wada’ atau mau umroh dulu?” Tanya Pak Toha.
“Mungkin umroh dulu, pa. Baru besok habis salat subuh tawaf wada’” jawab Ai.
“Sayang sekali, papa tidak bisa ikut lagi,” sesal papanya.
“Tidak masalah, pa,” kata Ai, sembari memeluk papanya. “Ai berdoa semoga bulan depan bisa bawa mama ke sini. Kita umroh bareng-bareng,” lanjut Ai. Dan papanya hanya tersenyum menanggapi pembicaraan Ai itu.
Perjalanan mereka memakan waktu sekitar satu jam sekian menit saja, namun sebelum sampai terdengar adzan maghrib berkumandang, sopir taxi langsung menepi begitu saja di dekat sebuah taman kota, mengambil air wudhu di tempat terdekat lalu melaksanakan shalat berjamaah di sana. Ini lah negara saudi. Di mana semua orang bebas melakukan ketaatan beragama tanpa batas waktu dan tempat. Usai shalat perjalanan berlanjut untuk mengambil miqat (mengambil niat dari tempat yang telah ditentukan sebagai anjuran dimulainya niat ibadah umroh.) Mereka mengambil miqat di masjid Aisyah di tan’im selaku tempat pengambilan miqot terdekat dengan kota Makkah.
Usai mengambil Miqat di sertai niat umroh sunnah, mereka langsung ke masjid Al-haram, menunggu waktu isya’ sambil membaca al-quran lalu melaksanakan shalat isya’ berjamaah baru memulai umroh pada pukul 20:30 waktu setempat hingga selesai.
“Mbak, di sini ada fasilitas motor listrik untuk tawaf dan sa’i bagi yang membutuhkan. Kita pakai itu saja ya, Mbak,” kata Dira saat mereka hendak memulai tawaf. “Saya masih khawatir sama Mbak Ai.”
“Iya. Aku ikut saja apa kata kamu,” jawab Ai, pasrah.
Mereka pun naik ke lantai atas, membayar 100 SR untuk skuter dengan dua penumpang. Jika mengenakan skuter semacam ini memang tidak dekat sekali dengan ka’bah, namun bisa melihat dengan jelas baitullah itu dengan segala kemegahannya.
“Mbak, kita baca sendiri-sendiri saja, ya?” Tanya Dira, tentang bacaan selama umroh.
“Aku ikuti kamu saja,” kata Ai.
“Kenapa? Kan bacaannya masih sama.”
“Lebih enak jika ada yang membimbing,” balas Ai. Dan Dira hanya tersenyum.
Usai tawaf dan sa’i beserta doa-doa dan shalat sunnahnya mereka segera keluar dari masjid, menuju hotel yang sudah di booking. Ami Usman membantu mereka agar bisa mendapatkan hotel untuk menginap semalam yang dekat dengan masjid, karena subuhnya mereka ingin berjamaah subuh baru melaksanakan Tawaf Wada’.
Malam pun berlalu, segera berganti dengan subuh. Sebelum subuh mereka berdua sudah bangun dan segera berangkat ke masjid yang hanya turun ke lantai bawah  mereka sudah berada di pelataran masjid. Melaksanakan shalat subuh kemudian berdiam sejenak memandangi ka’bah sambil menunggu orang yang berlalu lalang untuk pindah posisi atau keluar masjid mereda. Mereka berdua memilih tawaf wada’ sebelum shalat dhuha. Dan melaksanakannya di lantai dasar saja.
Tanpa saling berpamitan mereka melaksanakan tawaf masing-masing. Bahkan keduanya sama sekali tak bertemu, Dira sedikit khawatir mengingat kondisi Ai, namun dia berusaha tenang saja, karena ini bukan pertama kalinya Ai melaksanakan tawaf. Lagi pula ini tawaf, semua orang pasti menjaga etika, meski berputar dengan ribuan orang. Usai tawaf Dira langsung shalat sunnah tawaf di tempat yang lurus dengan makam ibrahim, lalu sambung dengan shalat Dhuha.
Air mata Dira mengalir deras tak terbendung. Ini adalah saat berpamitan dengan tempat paling suci di bumi ini.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang