Sudah sampai bab 11 nih...
Terima kasih untuk yang bersedia membaca... ambil baiknya, buang buruknya.__________________________
Beberapa hari ini mereka sibuk dengan proyek yang sudah mulai berjalan. Berkoordinasi dengan bagian mabeler, dengan desainer grafis untuk membuat perspektif dan detail tahapan instalasi kelengkapan ruang, seperti warna cat dinding, lantai dan desain atap, serta instalasi perabot lain, terkait dengan perabot elektronik serta hiasan-hiasan dinding. Dira banyak belajar langsung dari Ai tentang desain interior, agar bisa membantu bekerja juga saat Ai membagi tugasnya.
Sepulang kerja kadang mereka bersantai di pinggiran pantai yang terbentang sepanjang jalan kota jeddah, saat maghrib tiba mereka bisa salat di mana saja, lalu pulang dan bersantai bersama Pak Toha, sekadar mengbrol hangat atau menonton tayangan berita indonesia sambil menikmati secangkir minuman hangat sesuai selera, seperti malam itu.
“Ai, kamu ingat permainan yang sering kita lakukan di kantor papa dulu, tidak? Sama rekan-rekan satu tim kita, waktu di amerika?” Tanya Pak Toha, mengenang.
“Oh itu ya pa, Read The Last Text,?” Ai masih ingat dengan nama games-nya.
“Oh iya, bener.” Kata Pak Toha.
“Itu gimana permainannya?” Tanya Dira yang sama sekali belum pernah mendengar.
“Jadi semua ponsel dikumpulkan satu wadah, terus yang namanya keluar duluan di gulungan kertas (kayak gulungan kertas arisan) berarti berhak dapat giliran pertama mengambil ponsel siapa pun di wadah itu, dan membacakan pesan terakhir yang ada di ponsel tersebut,” jelas Pak Toha.
“Kita main itu, yuk,” kata Dira. Menantang.
“Ogah ah. Kayak nggak ada kerjaan aja,” balas Ai.
“Eh iya, boleh tuh, mumpung lagi senggang,” sambut Pak Toha.
“Mbak Ai takut?” Tanya Dira, meledek.
“Nggak. Males aja,” jawab Ai.
“Nih, talamnya,” Pak Toha mengambil talam kosong dan menyodorkannya di depan mereka berdua.
“Siapa takut?” sambut Ai, yang tadinya enggan justeru sekarang tertantang.
“Ingat aturannya?” Tanya Pak Toha.
“Ingat dong. Trust each other, and No secret.” Kata Ai.
“Yes...!” Komentar Dira, kegirangan.
“Yes?” Tanya Ai.
“Saya bisa bebas tanya tentang mbak Ai,” jawab Dira, enteng.
“Segitu penasaran kamu sama aku?” komentar Ai.
Lalu permainan dimulai, karena hanya tiga orang mereka hanya perlu melakukan gambreng, dan yang kebagian pertama kali ambil ponsel adalah Ai.
“Yes... Aku ambil hape ini, milik Papa kan?” Tanya Ai.
“Bentar, ini semacam truth or dare, bukan?” Tanya Dira.
“Truth aja, sih. Nggak ada pilihan dare,” jawab Ai. “Ok, pa, Ai buka pesan terakhir, ya?” Ucapnya sembari membuka aplikasi chat di ponsel milik papanya. “Dari E. Good night... thanks for your time...!” Ai membaca pesan terakhir yang diterima papanya dari kontak dengan nama E. “Hayo, who is E? Is she a girlfriend or something like that?” Tanya Ai, mengintimidasi papanya.
“Bukan siapa-siapa, Ai,” jawab papanya.
“No secret, right?” Kata Dira, yang juga penasaran.
“Ok, ok. She is Ellen, marketing manager di tim kita dulu. Do you remember?”
“Ya, Ai ingat. Papa pacaran sama Bu Ellen?” Tanya Ai, spontan.
“No... Setelah pisah sama mama kamu Papa tidak ingin mengulang kesalahan,” kata Papanya.
“Do you still love my mom?” Tanya Ai, lagi.
“Kok pertanyaan kamu jadi banyak?”
“Ayo lah, pa. Anggap saja permainan ini untuk melepaskan beban,” ucap Ai. “Atau gini deh, satu pertanyaan lagi. Apa hal paling simple yang sekarang ingin papa lakukan?” Tanya Ai.
“Emmm, ok, papa jujur deh. Ingin say hi aja sama mama kamu,” jawab papanya. “Puas?” Tanyanya, kemudian.
“Puas...! Nanti akan saya lakukan video call buat papa. Papa harus mau ngomong sama mama. Gimana?” Kata Ai.
“Ya ampuuun, sweet banget sih pak,” komentar Dira. Setelah puas mentertawakan Pak Toha mereka melanjutkan permainan. Kali ini giliran Pak Toha yang mengambil ponsel, dan dia mengambil ponsel Dira.
“Ini milik Dira. Dari Mas. Aku mohon kamu percaya, takdir yang kumau adalah setia pada kita,” Pak Toha membacakan pesan manis itu. “Waaah. Romantis juga, si Mas ini,” komentar Pak Toha.
“Kalau ada yang membebani kamu boleh cerita di sini,” kata Ai.
“Tapi kalau terlalu rahasia kamu boleh simpan sendiri,” balas Pak Toha dengan maksud menjaga perasaan Dira.
Suasana menjadi sedikit sepi untuk beberapa saat.
“Ok. Dua tahun lalu saking kecewanya saya karena belum juga berhasil hamil, saya pernah nyaris mengizinkan dia untuk menikah lagi,” kisah Dira.
“Serius?” Tanya Ai, terkejut.
“Terus, apa kata suami kamu?” Tanya Pak Toha, juga tak kalah penasaran.
“Jangan mudah mengambil keputusan saat sedang kecewa. Begitu katanya,” kisah Dira.
“Bahkan dia mengizinkan kamu untuk menemukan kebahagiaan kamu sendiri?” Tanya Ai.
“Iya, tapi ini pertama kalinya kami terpisah jarak. Jadi sering merasa tidak aman,” kata Dira.
“Tenang saja Dira, kamu orang baik, pasti suami kamu juga orang yang baik,” kata Pak Toha. Menenangkan.
“Tuh, kata papa kamu orang baik. Tapi harus baik juga sama diri sendiri,” ledek Ai.
“Iya mbak,” balas nya, pasrah pada ledekan Ai.
“Tinggal satu hape, milik mbak Ai nih. Yes... giliranku tanya-tanya,” ucap Dira, girang.
“Silakan saja,” kata Ai, menanggapi dengan datar.
“Ada pesan baru masuk, dari Azura. Dia kirim pesan share lokasi, terus katanya, ini apartemenku, the door will always be open to you,” jelas Dira, membaca pesan itu.
Sebenarnya pesan tersebut cukup berhasil membuat jantung Ai berdebar, dia takut salah satu dari papanya dan Dira akan menyimpulkan sesuatu.
“Jadi dia kerja di sini juga, sekarang?” Tanya Pak Toha. “Ajak main ke sini, dong,” lanjut Pak Toha yang merasa pernah kenal dekat dengan Azura.
“Iya pa, nanti kalau sudah ada waktu senggang,” jawab Ai, lega, karena ternyata tak ada kecurigaan yang berarti.
“Soal Azura, jika ada yang membebani, mbak Ai boleh cerita,” kata Dira, mencoba mengulang perkataan itu pada Ai.
“Kalau Azura ikut pasti seru. Waktu kamu pergi, Azura tak pernah lagi main ke rumah papa, jadi benar-benar sepi, tak ada lagi yang suka bantu Pak Mo bersihkan rumah dan masak. Papa sempat khawatir karena setahu papa dia kan tinggal sendirian di New york, tapi sepertinya kekhawatiran papa salah. Baru terjawab sekarang, dia bahkan sukses dengan karir pelukisnya,” kisah Pak Toha.
“Oh, jadi dulu dekat banget ya, mbak?” Tanya Dira.
“Iya, dulu kami saling menguatkan satu sama lain,” kenang Ai.
“Kalau sekarang?” Tanya Dira, masih ingin tahu.
“Mungkin sudah terbiasa dengan hidup masing-masing,” jawab Ai, dengan sedikit membuang senyum.
“Ai, tapi papa masih nggak nyangka lo, kamu bisa pisah sama Azura,” komentar Pak Toha yang masih terkenang dengan keakraban mereka.
“Pa, gimana kalau sekarang kita video call mama?” Ucap Ai, mengalihkan pembahasan.
Malam itu yang akhirnya menjadi sasaran keisengan adalah Pak Toha, Ai melakukan panggilan video untuknya, dengan malu-malu dia pun menyapa mantan istrinya. Tak banyak yang mereka katakan, hanya “Say hi” dan “Apa kabar?”
***
Pagi-pagi sekali Janu menelepon Ai untuk membicarakan hal penting.
“Iya, Nu, ada apa?” Tanya Ai, sambil membuka botol berisi air putih, setelah mementaskan diri dari kolam renang. Dia pun duduk di kursi panjang pada tepi kolam.
“Jadi gini Ai, kamu ingat sama Akmal Corp, kan?” Tanya Janu.
“Iya, kenapa?”
“Jadi mereka mau nambah kontrak kerja sama dengan KIN, kalau biasanya kita dapat bagian di interior desain untuk apartemen mereka, sekarang ini secara khusus mereka meminta produk mebel kita untuk mereka pasarkan di sana. Mereka baru saja membangun art galery untuk modern furniture yang produknya mengambil dari designer seluruh asia tenggara,” jelas Janu.
“Ya bagus dong, ini bakalan jadi karir yang bagus buat desainer-desainer mebel kita juga,” komentar Ai.
“Nah, kamu setuju, kan? Terus tiga hari lagi mereka minta kamu untuk datang ke KL, guna melakukan pertemuan khusus dengan kamu sebagai perwakilan desainer dari KIN, sekaligus tamu kehormatan sebagai owner KIN juga,” jelas Janu.
“Gila ya Nu, proyek yang di sini itu baru jalan loh,” balas Ai.
“Iya aku ngerti, kamu tinggal arahin Dira, kan. Dan nanti aku tunggu kamu di KL,” jawab Janu.
“Masalahnya Dira itu baru di dunia interior, takutnya dia kesulitan,” kata Ai.
“Masih ada waktu tiga hari Ai, lagian kata kamu dia orang yang cepat belajar, tinggal kasih materi briefing aja untuk kerjaan empat hari. Nilai kontraknya juga lumayan Ai, dibayar di awal dengan jumlah lumayan, soalnya aku janjikan dua minggu lagi kita bayar separo hutang kita ke debitur. Terus kita juga butuh beli salah satu alat yang mulai kurang maksimal fungsinya,” jelas Janu.
Setelah sedikit berdebat akhirnya Ai pun setuju untuk datang ke KL sesuai tanggal yang ditentukan oleh Janu. Jika terkait kebutuhan uang dalam jumlah besar demi perusahaan Ai tak bisa menolak. Tak hanya masalah nominalnya namun menjaga kepercayaan partner bisnis rintisan orang tuanya adalah sesuatu yang tak mudah. Terlebih menjaga kepercayaan mereka saat perusahaan berada di titik terendah delapan tahun yang lalu.
“Ada apa Ai, kok kayaknya tadi pagi buta kamu sudah berdebat sama Janu?” Tanya papanya saat mereka berada di dapur untuk sarapan.
“Biasa lah Pa, masalah kerjaan. Masak Ai harus berangkat ke KL tiga hari lagi, padahal proyek di sini baru jalan,” curhat Ai.
“Kan di sini ada Dira. Ada tim dari Khalid Group juga, kan?”
“Eh, bener juga ya pa. Kan sebenarnya ada tim.”
“Kamu ingat kan, dulu saat papa harus ada urusan, papa percaya untuk menyerahkan beberapa tugas sama kamu. Buat format briefing-nya semudah mungkin, biar Dira tidak kesulitan, dan kerjaan kamu bisa tetap berjalan,” saran papanya.
Pak Toha itu adalah tipe orang yang bisa menyederhanakan segala pekerjaan dengan perencanaan tugas secara terperinci dan jelas, begitu pula cara dia mendidik putrinya dalam bekerja. Hal itu juga menular pada Ai.
Pekerjaan hari ini tidak di kantor melainkan sudah mulai berada di lokasi proyek, mengarahkan dan mengawasi para pekerja hingga tiba waktu duhur, salat, kemudian makan siang, baru setelah itu Ai ke kantor guna membuat materi briefing untuk Dira. Sekitar empat hari dia akan tinggal di Kuala Lumpur, dan meninggalkan kota Jeddah untuk sementara waktu.
“Dira, kamu sudah senggang?” Tanya Ai.
“Sudah mbak,” jawab Dira. “Ada yang bisa dibantu?” Tanyanya.
“Tiga hari lagi aku ada urusan penting di Kuala Lumpur, mungkin sekitar empat atau lima hari di sana, selama aku pergi kamu yang menggantikanku,” jelas Ai.
“Yakin, mbak?” Tanya Dira tak percaya akan tanggung jawab itu.
“Sangat yakin. Kan di buku notes itu sudah ada agendaku, tinggal kamu cek email sekarang, aku sudah kirimkan materi briefing untuk bekal kerja kamu selama kutinggalkan,” kata Ai tanpa ragu. “Biar kamu nggak bingung, besok selama dua hari aku akan ajak kamu ke lokasi, bertemu dengan kepala bagian proyek, atau mandor di sana. Terus aku akan tunjukkan beberapa hal penting yang kamu harus tahu, supaya kamu bisa mengontrol hasil kerja mereka,” jelas Ai.
“Mbak, apa boleh saya sharing sama Hasin, dia kan yang buat gambar 3D untuk desain kamu, mungkin dia bisa bantu saya untuk bekerja nanti,” kata Dira yang masih merasa ragu dengan kemampuannya.
“Dira, hal pertama yang harus kamu lakukan, bukan memikirkan bantuan,” nasihat Ai.
“Bukan begitu maksud saya mbak. Tapi ini proyek besar, dalam perusahaan besar, di luar negeri pula, saya takut malah nanti jadi kacau,” kata Dira.
“Mana yang lebih kamu takutkan? Perusahaan besarnya, atau di luar negerinya?” Tanya Ai.
“Saya belum punya banyak pengalaman kerja,” kata Dira.
“Itu sih drama kamu,” balas Ai, mulai mengejek perkataan Dira.
“Ok, dua-duanya membuat saya takut,” jawab Dira.
“Bergabung di sebuah tim yang besar itu akan memberikan kesempatan pada kita untuk banyak belajar, bukan karena kita sudah menjadi yang paling mampu, tapi karena kita terpilih untuk belajar bertanggungjawab dan belajar mendengarkan,” jelas Ai. “Berapa usia kamu, sekarang?” Tanya Ai, kemudian.
“Tiga puluh tahun,” jawab Dira.
“Aku bahkan memulai bergabung dengan tim papa di amerika dalam usia dua puluh satu tahun,” kisah Ai.
“Beneran, mbak?” Ujar Dira, tak percaya.
“Ya. Jadi dulu seminggu pertama setiap bulan papa selalu ambil undangan seminar ke beberapa negara. Dan pada saat itu aku yang bertugas menggantikan posisinya di dalam proyek yang sedang dikerjakan,” cerita Ai.
“Lalu, apa yang membuat mbak Ai dipercaya oleh tim pada usia mbak yang masih sangat muda?” Tanya Dira.
“Aku beruntung punya orang tua seperti mereka, sejak lulus SMA papa mendorong minatku di desain interior untuk mengikuti kompetisi hingga tingkat internasional. Beberapa prestasi membuatku cukup bisa diandalkan,” jelas Ai.
“Wah, tapi saya kan tidak punya prestasi sehebat itu!” gerutu Dira.
“Dan usiaku saat itu jauh lebih muda dari kamu sekarang,” kata Ai. Untuk sesaat Dira hanya diam, tak tahu harus menjawab apa, dia harus mengumpulkan kepercayaan diri untuk berada pada posisi atasannya. “Begini saja, kamu baca materi yang sudah ku-email, nanti malam atau besok pagi, kita diskusi lagi,” kata Ai, mencoba menenangkan suasana hati Dira.
“Baik,” jawab Dira, singkat.
“Sekarang kita pulang. Kamu turun dulu, pesan taksi, nanti aku nyusul.”
“Ok,” balas Dira singkat. Kemudian dia segera berkemas dan keluar dari ruangan.
Kini Ai masih menyelesaikan beberapa hal di ruang kerjanya, sedari pagi sekat ruangan yang dihuni oleh dua devisi itu sudah terpasang, nampaknya masing-masing dari mereka sedang serius dengan tugas-tugas.
“Hey...! Belum pulang?” Tanya Azura yang muncul dari balik sekat.
“Iya, ada yang harus diselesaikan. Dua hari lagi aku pergi ke Malaysia,” jawab Ai masih dengan konsentrasi pada komputernya. Tetiba Azura duduk di kursi depan meja Ai. Dengan hati-hati tangannya menyentuh tangan Ai yang tergeletak di atas meja. Namun dengan cepat Ai menarik tangannya dan membenahi kacamatanya. Lalu Azura menarik tangannya lagi dan dia mainkan pena dengan mengetuk meja.
“Ai, kenapa pesanku tadi malam tidak dibalas?” Tanya Azura.
“Oh, iya maaf. Aku tertidur,” jawab Ai, tanpa beban.
“Ai,” panggil Azura, hendak mengatakan sesuatu.
“I will stop by next time, insyaallah,” kata Ai, sambil memberi tatapan singkat namun meyakinkan pada Azura.
“Ok. I'll wait,” balas Azura.
Ai tahu sikapnya pada Azura buruk, tapi seolah dia tak punya pilihan lain, hanya karena enggan mengenali lebih baik perasaannya lagi.
Kadang kala sangat kurindu genggaman mu.
Saling menautkan telapak tangan untuk sekadar melepas ragu.
Ragu akan hidup yang tak selalu mudah.
Mudah terluka, terjatuh dan kemudian patah.
Patah mimpi, namun genggaman itu mampu merekatkan kembali.
Kembali pada keinginan yang tak selalu mampu terkendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang TanpaMu
RomanceMelewati usia 30 tahun dengan berbagai dimensi luka dan proses penyembuhannya. Dira 30 tahun bersepakat dengan suaminya untuk menunggu kehadiran buah hati dengan menata lebih dulu kemapanan secara ekonomi. Latar belakangnya yang dari keluarga seder...