Merindu & Manetap.

517 44 2
                                    

Malam hari usai shalat isya Ai bersantai di ruang keluarga sambil menerima panggilan video dari mamanya.
“Ai, kenapa kamu tidak menghubungi mama selama sakit?” Omel mamanya.
“Kok mama sudah tahu, kalau Ai sakit?”
“Ya tahu lah, papa kamu yang telepon mama, dia minta supaya mama tidak khawatir. Mana bisa sayaaang...!”
“Iya. Maaf,” balas Ai.
“Terus, kamu kapan pulang? Apa mama harus nyusulin ke sana?”
“Beneran, ma? Ai sih seneng, ya, ma. Kalau papa sama mama ngumpul di sini. Kita bisa umroh bareng,” jawab Ai.
“Nggak ada planing untuk tahun ini,” jawab mamanya, mengelak. “Jadi kapan kamu pulang?” Tanya mamanya, lagi.
“Beberapa hari lagi, lah, ma. Ai harus urus pekerjaan di jakarta juga. Soalnya kontrak kerja sama di sini diperbesar jangkauannya, jadi nanti ada kemungkinan Ai akan mondar mandir Jakarta Jeddah setiap bulan,” jelas Ai.
“Eh, nak. Asisten kamu si Dira, masih betah, kan, kerja sama kamu?” Tanya mamanya.
“Masih, ma,” jawab Ai. “di sini juga ada Azura,” kisah Ai.
“Azura? Kayaknya mama tidak asing dengan nama itu? Tapi siapa ya?” Mamanya memang belum pernah bertemu dengan Azura, tapi Ai lupa kalau mamanya tahu tentang hal paling rahasia dalam hidupya yang berkaitan dengan Azura.
“Oh,” Ai baru menyadari kalau dia keceplosan menyebut nama itu. “Dia rekan kerja Ai di sini, ma. Teman baru,” lanjutnya, menutupi.
“Ow, gitu ya!”
“Ya sudah, besok Ai telepon lagi,” Ai mengakhiri pembicaraan. “I love you Ma... Assalamualaikum.”
“I love you more. Waalaikum salam.”
Sementara itu Dira juga sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya. Itu biasa dia lakukan jika Dira curhat pada suaminya masalah pekerjaan.
“Selesai proyek saudi ini sepertinya aku mau undur diri aja, deh, mas,” ucapnya.
“Kamu yakin? Dari semua pekerjaan sebelum-sebelumnya kerjaan ini, lo, yang paling bagus,” balas Hikam.
“Iya sih. Tapi kerja sama dia itu kayak naik roller coaster setiap hari. Sebentar naik, tiba-tiba turun kebanting. Emang nasib orang kecil kali, ya, mas!”
“Jangan begitu, Yang... Kalau ada salah paham mending kamu tanya langsung. Kan kata kamu Mbak Ai itu sudah lebih dari sekadar bos. Dia sudah seperti teman atau malah sahabat.”
“Kok kamu juga jadi menilai aku kaya anak kecil gitu, sih!” ujar Dira. “Emangnya Mas Hikam nggak suka kalau aku bisa bantu di bisnis kamu? Jadi kamu tidak perlu dibantu sama perempuan lain yang setiap saat bisa saja dia macam-macam dengan kebaikan kamu,” kata Dira, terasa tak bijaksana.
“Dira, pliiiiis, plis plis, jangan mulai lagi. Ok kita bicarakan soal ini saat kamu sudah pulang saja, ya,” balas Hikam, mencoba tenang.
“Tuh, kan. Berarti memang ada apa-apa. Kok harus ada yang dibicarakan, sih?”
Sedikit lama Hikam tidak membalas, dan itu semakin membuat Dira gelisah. Hingga lima menit berlalu kembali ponselnya berbunyi memberi tanda jika ada pesan masuk.
“Dira... Aku suka cara kamu cemburu. Terima kasih sudah mencintaiku dengan cara itu. Aku sangat merindukanmu. Sampai jumpa di pelukanku lagi,” setelah pesan terbaca, status nomor Hikam berubah dari online menjadi tanda jam saat itu, yang artinya langsung offline. Dira tersenyum dan membalas lagi. “I love you...”
Usai berkirim pesan Dira melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 19:05, itu artinya sudah tiba saatnya dia siapkan obat dan makan malam untuk Ai.  Waktu dia keluar ke dapur ternyata Pak Mo sudah menyiapkan makan malam untuk mereka semua.
“Akhirnya... semua sudah ngumpul lagi,” komentar Pak Toha.
“Waaah, makan malam bersama, nih...” kata Ai.
“Iya, mbak. Rasanya senang sekali kalian sudah pulang ke rumah semuanya,” kata Pak Mo. “Dira, ayo makan sekalian,” ajak Pak Mo.
Suasana hangat penuh tawa kembali terasa di rumah yang sempat ditinggalkan penghuninya beristirahat di rumah sakit. Lalu tak lama kemudian Azura juga datang, Ami Usman dan istri juga hadir.
“Dira. what happened with that face?” Tanya Azura saat mereka dipertemukan di dapur untuk mengambil suguhan dan alat makan. Dira masih tak enak hati pada Ai.
“Nothing,” jawab Dira. “But...”
“But, What?” Tanya Azura.
“Nanti, boleh aku ikut ke rumah kamu? Ada beberapa hal tentang Mbak Ai yang ingin kutanyakan padamu,” kata Dira.
“Sure. But, maybe i can’t explain many thing about her,” jawab Azura.
“Do you really her best friend, or what!” kata Dira, yang juga masih bingung dengan pertemanan Ai dan Azura.
“Aku juga tidak tahu tentang itu. I’m just feeling happy to be close to her,” jawab Azura.
***
Azura bersedia untuk mengobrol dengan Dira usai makan malam di kediaman Pak Toha. Tanpa berpamitan pada Ai, Dira langsung ikut dengan Azura. Tentu saja setelah ia pastikan Ai minum obatnya dengan baik.
Lima belas menit kemudian mereka berdua sampai di apartemen Azura.
“Silakan masuk,” kata Azura.
“Jadi ini tempat tinggal kamu?” Tanya Dira.
“Yup,” jawab Azura. “Mau minum apa?”
“Ada teh, nggak?” Tanya Dira.
“Ada, tapi kalau teh kamu bikin sendiri, ya,” kata Azura, santai. Lalu Dira pun membuat sendiri teh tawar di dapur kecil Azura. Setelah itu mereka berdua mulai duduk di ruang TV dan mengobrol.
“Jadi, apa yang mau kamu tanyakan?” Tanya Azura.
“Entahlah. Tadi kamu juga sudah bilang kalau kamu tak memiliki banyak jawaban tentangnya,” kata Dira.
“Tapi ada satu hal yang paling bisa kupastikan tentangnya.”
“What is that?”
“One thing that i really know about her is, she isn’t easy to be known,” kata Azura, sambil sedikit tersenyum.
“Kalau begitu aku bertanya tentang bagaimana cara dia menyelesaikan persoalan  kemarin saja. Di mana sebenarnya aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan dan harus mulai dari mana, di sisi lain aku sengaja menutupi kecemasanku darinya agar tak membebani pikirannya karena dia belum pulih,” curhat Dira. “Aku sudah bertanya padanya, tapi jawabannya hanya, “Bukan aku, tapi kehendak-Nya,” dan jawaban itu belum cukup menjelaskan apa-apa bagiku,” lanjut Dira dengan curhatannya.
“Kamu merasa kehadiran kamu tidak berarti?” Tanya Azura, yang cukup baik menangkap suasana hati Dira.
“Ya sebagai asisten pribadinya aku memang masih memiliki banyak kekurangan, tapi aku bisa belajar, dan aku sangat butuh penjelasan untuk masalah ini, karena aku ingin tahu. Itu saja,” jelas Dira, mencoba mengeluarkan semua kekesalannya. Secara usia dan pengalaman kerja Azura memang jauh lebih matang darinya. Jadi cukup nyaman Dira berkeluh kesah pada rekannya itu.
“Ok. Aku bisa certiakan detilnya. Jadi dia hanya minta Hasin untuk menunjukkan perbandingan jangka waktu antara proyek sebelumnya dengan proyek yang dipimpin oleh Ai sekarang. Hasilnya proyek yang sekarang bahkan progresnya lebih cepat tiga belas hari dari deadline. Dan berkat kepercayaan para mandor pada Hasin salah satu dari mereka sengaja merekam percakapannya dengan Jafar saat dengan sadar Jafar memberikan perintah untuk berhenti bekerja beberapa hari. Para mandor itu menuruti permintaan Jafar, tapi mengirim rekaman itu pada Hasin,” kisah Azura. Singkat, padat, jelas.
“Hebat...” komentar Dira, sambil menggeleng. “Coba dia jelasin sejak awal, aku nggak perlu buang energi buat tersinggung sama dia,” lanjutnya.
“Seorang Ai, kamu minta dia jelasin sesuatu panjang lebar kaya aku tadi, mana mau dia!” kata Azura.
“Terus apa untungnya dia mempekerjakan asisten pribadi kalau segala masalah selalu tunduk sama dia?” Dira masih sedikit kesal, entah dengan apa.
“Kamu juga. Nggak ada untungnya, lo, tersinggung sama orang kaya dia,” komentar Azura pada sikap Dira yang tak dewasa itu. Sambil membawa sebuah cup ice cream yang dia ambil dari freezer-nya. Dan menyodorkan pada Dira. “Makan ice cream aja. Biar happy,” kata Azura.
Malam itu akhirnya Dira tidur di apartemen Azura, karena Azura tak mau mengantarnya kembali. Namun Azura berjanji untuk mengantarnya pulang subuh hari.
“Ra, proyek ini kan sebentar lagi selesai. Kamu nggak pengen selesaikan masalah kamu sama Mbak Ai?” Tanya Dira. Mereka masih duduk mengobrol di ruang yang sama.
“I don’t know. Bagiku, tidak ada masalah yang lebih sulit selain melihatnya celaka seperti kemarin,” jawab Azura, mengenang.
“Aku tahu sih, rasanya punya hutang nyawa sama seseorang,” kata Dira.
“Tidak. Kamu tidak tahu,” balas Azura, seolah menyatakan bahwa tak ada yang boleh menerka perasaannya.
“Iya. Sepertinya aku memang tidak tahu,” ucap Dira sambil tersenyum tipis. Ada rasa melankolis yang tetiba datang dalam hatinya, mengingat statusnya sebagai seorang istri yang belum bisa melahirkan seorang anak. Sementara itu suaminya tetap memberikan cinta yang besar padanya. Seringkali Dira merasa tak bisa memberikan apa yang semestinya, kadang kala ketakutan akan kehilangan atau diduakan hadir menghiasi rasa tidak aman pada hubungan mereka.
“Kecelakaan kemarin menghentikan banyak tanyaku tentang dia,” kata Azura, kosong.
“Udah, ah, jangan bahas Ai lagi,” lanjut Azura.
Beberapa saat mereka terdiam.
“Ra, kamu tidak ingin menikah?” tanya Dira, iseng.
“Aku ingin tidur aja,” jawab Azura, sambil beranjak pergi ke kamarnya.
Obrolan mereka pun berakhir.
Menjelang tidur Dira membaca kembali pesan terakhir saat berkirim pesan dengan suaminya tadi sore, dia tersenyum lalu mengirim sebuah pesan lagi, karena melihat status online dari nomor Hikam. “Yang, ucapin selamat malam dong,” ucapnya manja.
“Selamat beristirahat, sayang... I love you,” balas Hikam.
“Aku sangat merindukanmu. Aku rindu berada di pelukanmu. Aku rindu dengan kehangatan kecupan di kening yang tersuguh di setiap pagi kita,” Dira menggombal tingkat dewa, namun itu memang tulus dari segenap “Celengan Rindu” yang dimilikinya.
“Kamu kenapa, yang?” Tanya Hikam.
“Entah lah, aku hanya ingin berterima kasih, sudah mencintaiku dengan segala kurangku,” kata Dira.
“Kurang apa?” Tanya Hikam. Dia memang suka bergaya tak nyambung saat Dira menggombal.
“Kurang lengkap tanpa kamu, dong, Yang...” Dira membalas dengan celetukan garingnya.
“Ya sudah, di sana sudah malam, kan? Selamat beristirahat.”
***
Melihat Dira yang tetiba pergi usai menyiapkan obat malam untuknya bersama Azura, Ai merasa sedikit gelisah, karena ia takut Dira akan bertanya macam-macam di luar masalah pekerjaan mengenai dirinya. Di sisi lain Ai ingin berbicara pada Dira mengenai masalah yang sudah ia pecahkan sekaligus minta maaf pada Dira karena ia telah merepotkan hingga Dira harus bekerja di luar kapasiatas dirinya.
“Tadi malam kamu tidur di rumah Azura?” Tanya Ai, saat mereka duduk bersama untuk sarapan pagi.
“Iya. Maaf tadi malam saya tidak pamit,” kata Dira. Dan Ai hanya menjawab dengan “Emm.” Sembari minum teh tawar dari cangkir dan membaca buku. Sebenarnya Ai membaca buku sambil menunggu jika ada yang ingin Dira bicarakan tentang obrolannya bersama Azura tadi malam. Namun karena hingga tiga menit berlalu Dira tak lagi membuka pembicaraan akhirnya Ai menyimpulkan bahwa sepertinya Dira tadi malam pergi hanya karena kesal atau hanya karena ingin mengambil jeda waktu dari semua rutinitasnya mengurus Ai yang sedang dalam kondisi pemulihan. “Memang membosankan mengurus orang sakit.”
“Hari ini akan ada rapat penting mengenai hasil akhir proyek,” kata Ai.
“Baik, saya akan segera bersiap dan order taxi,” balas Dira.
“Order taxi saja, saya akan pergi sendiri,” kata Ai.
“Kalau sudah tidak butuh pada asisten, kenapa saya tidak dipulangkan saja?” Dira mengomel sambil membereskan sisa sarapan.
“Menurut saja,” kata Ai, tanpa beban.
Dira hanya bisa menurut dan merasa bahwa komplain pun tak ada gunanya.
Kenapa lagi-lagi Ai tidak melibatkan Dira? karena sebenarnya pertemuan kali ini tidak hanya perihal tahap akhir pembangunan, tapi sekaligus dimohon oleh Mr. Khalid untuk bersedia menjadi saksi atas beberapa kecurangan yang dilakukan Jafar pada perusahaan. Ai mencoba membatasi diri dari merepotkan Dira di luar kapasitas kerjanya.
Sebenarnya Mr. Khalid memang tidak memperkarakan Jafar ke ranah hukum sekarang, namun ia masih mempersiapkan data-data dan akan diurus setelah proyek selesai. Itu Mr. Khalid lakukan karena menjaga komitmen dia sendiri untuk tidak memutus anggota tim saat berada di tengah jalan. Usai pertemuan dengan Mr. Khalid Azura yang pada saat itu juga di kantor memberi tumpangan untuk pulang.
“Dira ke mana?” Tanya Azura.
“Dia masih kesal padaku. Mungkin dia mulai capai mengurusku,” jawab Ai.
Azura hanya tersenyum. Kemudian mobil melaju, Azura menyalakan pemutar musik, wite flag milik Dido berputar di sana, keduanya saling pandang, lalu ikut bernyanyi, dan tawa pun pecah mengakhiri nyanyian mereka. “Tua banget, nggak, sih, kita?” celetuk Ai.
“Ai,” panggil Azura sambil mengambil tangan Ai, menggenggamnya kuat, hingga Ai tak bisa melepas genggamannya. “Lain kali jangan mencelakakan diri lagi,” lanjut Azura.
“Kita menepi, aku ingin melihat pantai,” kata Ai, sembari melepas genggaman Azura. Dan membuang pandangannya ke jalan. Setelah menepi mereka keluar dari mobil dan mencari tempat duduk.
“Ai, do you need some drink, or what?” Tanya Azura.
“No, thanks. Kamu duduk saja di sini,” kata Ai, sambil menunjuk tempat di sebelahnya.
Satu hingga tiga menit berlalu tanpa kata. Ai hanya diam memandangi laut jauh.
“Ai, sampai berapa lama kita akan berdiam di sini?” Tanya Azura.
“Kamu bisa pulang dulu. Aku masih ingin di sini,” jawab Ai.
“No. I love this moment. A time when you really close to me,” kata Azura.
“Ya, aku juga,” Ai mengatakannya sambil memberikan pandangan pada Azura, lalu Azura pun membalas menatapnya. “Kamu tahu, aku selalu percaya bahawa di kehidupan ini ada hubungan sesama manusia yang bahkan kiamat pun tak mampu memisahkannya,” lanjut Ai, masih dengan menatap lekat pada mata Azura.
“Kalau begitu, bisa kah kita memiliki hubungan semacam itu?” Tanya Azura.
“Bisa. Asalkan kamu bersedia mempercayai apa yang telah kupercayai,” jawab Ai.
“Tentang apa?”
“Tentang semesta, tentang angin pesisir, tentang suara debur ombak, tentang alam bawah laut, tentang manusia, dan... tentang cinta,” lalu Ai menjeda ucapannya dengan menghela napas. “Aku percaya bahwa semua itu tidak begitu saja ada, tanpa kehendak penciptanya,” lanjut Ai.
Keadaan menjadi hening. Azura merundukkan kepala, lalu menitikan air mata.
“Iman?! Bisakah itu menjaga orang-orang yang kucintai untuk menetap di sisiku?” Suara Azura terdengar berat, penuh luka.
“Mungkin tidak bisa. Tapi iman bisa menjaga dan membawa kebaikan-kebaikan pada orang-orang yang kita cintai,” kembali pandangan mereka bertemu.
Lalu masih dengan mata berkaca-kaca Azura berkata, “Aku ingin menetap di sisimu dan melihatmu selalu baik-baik saja. Dari mana bisa kudapatkan jawaban tentang itu?”
Kali ini Ai yang terdiam, dia menyadari bahwa obrolan sudah mulai menjebaknya pada sebuah perasaan yang selalu ia takuti.
“Aku harus pulang. Tidak perlu mengantarku,” Ai berdiri untuk beranjak pergi.
Azura pun beranjak dari tempat duduknya lalu berdiri tepat di hadapan Ai dan berkata sambil sedikit tersenyum asam, “You are the best liar i’ve ever met in this world.”
“Lie? About what?”
“About those eyes,” kali ini Azura tampak menghakimi tatapan mata Ai.
Sebelum sempat menjawab ada mobil Pak Toha parkir tepat di belakang mobil mereka dan Ai spontan menoleh karena pengemudinya yang tak lain adalah Pak Mo memanggil namanya.
“Mbak, bareng, yuk,” ajak Pak Mo, sambil sedikit berteriak.
“Iya, Pak,” jawab Ai. “Ok, aku pulang dulu. Maaf sudah mengganggu waktu kamu,” pamit Ai pada Azura. Dan segera pergi begitu saja tanpa menoleh lagi.

Ingin mencintai. Ingin menemani. Ingin di sisimu. Ingin diriku menetap di sini.
Namun yang lebih kuingini adalah melihatmu dalam cinta-Nya yang maha abadi.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang