Sore ini Dira sampai rumah sendirian, ada Ami Usman sedang berada di rumah, menemani Pak Toha pulang.
"Assalamualaikum... i'm home....!" Ucapnya sembari masuk rumah.
"Waalaikumsalam..." jawab Ami Usman. "Untung kamu sudah pulang," lanjutnya.
"Ami dari tadi?" Tanya Dira.
"Saya antar papa kamu pulang," Ami Usman tidak terlalu peduli bahwa Dira bukan anak Pak Toha juga.
"Feen Pak Mo? (Pak Mo ke mana?)" Tanya Dira.
"Yasytaghil (sedang sibuk)" jawab Ami Usman.
Setelah itu Ami Usman langsung pulang. Dira segera melihat keadaan Pak Toha yang tampak pucat.
"Tadi saya terkilir saat berjalan, jadi sedikit pendarahan lagi," kisah Pak Toha.
"Saya telepon Mbak Ai, ya, Pak?" Tanya Dira.
"Jangan. Saya minta tolong sama kamu saja untuk gantikan perbannya," kata Pak Toha. Dan Dira hanya menurut. Bagi Dira mengurus Pak Toha sama sekali bukan hal yang berat, malah dia sangat senang, seperti mengurusi bapaknya sandiri.
"Pak, Mbak Ai harus tahu, apalagi jika keadaan bapak semakin parah," kata Dira.
"Maaf, jika saya merepotkan," kata Pak Toha.
"Bukan bagitu, Pak. I mean, you should not pretend to be okay. She is you doughter, right?" Kata Dira.
"Jika pekerjaannya sudah mulai longgar, saya pasti bicara."
Selesai mengurus luka itu Dira ke kamar, dia baru ingat jika dirinya harus melakukan panggilan video pada orang rumah. Setelah membuka ponsel ternyata ada tujuh kali panggilan video yang terabaikan. Dia lihat jam di tangannya menunjukkan pukul 17:30, itu artinya di indonesia sekarang pukul 13:27. Rasanya tidak akan mengganggu jika dia melakukan panggilan. Semoga.
Satu hingga tiga kali panggilan terabaikan. Merasa mulai gelisah, Dira memutuskan untuk kirim pesan saja.
"Assalamualaikum. Mas, maaf, tadi aku sedang sibuk. Kalau sudah senggang kamu balas pesan ini, ya," demikian pesan itu dia kirimkan.
Sementara itu hingga maghrib tiba Ai belum juga pulang ke rumah. Selepas kerja tadi dia minta antar taksi online untuk ke sebuah masjid yang tak banyak pengunjung dan tenang. Lalu sopir taksi itu mengantarnya ke sebuah masjid yang suasananya tenang dan nyaman, namanya Masjid Hasan Anani, yang berada di pinggir laut merah, tepatnya di Corniche Al-Hamra' jeddah. Hingga selesai isya dia masih tak beranjak dari masjid. Dia isi waktu dengan membaca alquran dan salat sunnah, dadanya terasa penuh saat membaca butiran kalimat surat alfatihah dan menyelami maknanya pada setiap rakaat salat, air matanya menetes tak tertahan.
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang.
Segala puji bagi Allah yang merajai seluruh alam.
Maha pengasih lagi maha penyayang.
Pemilik hari pembalasan.
Hanya kepadamu hamba beribadah, pun hanya padamu hamba mohon pertolongan.
Tunjukkanlah pada hamba jalan yang lurus, ialah jalan bagi orang-orang yang berhak atas nikmatmu.
Bukan orang-orang yang dilanda murkamu, pun orang-orang yang tersesat...Ada banyak tanya yang selama bertahun-tahun hanya tertumpuk oleh usia. "Ya Allah... Terima kasih untuk jalan yang telah kau tunjukkan. Selalu bersyukur akan cintamu yang tak terbantahkan. Namun hari ini tanya itu kembali datang... Tentang seseorang yang memberiku cinta namun harus kutinggalkan. Ya Allah... aku menemukanmu dalam pengasingan, dalam kesakitan, dalam keterpurukan... Dalam tanyaku akan jati diri kau berikan jawaban bahwa pendosa pun berhak akan pengampunan... Aku hancur dalam cintaku yang bungkam, dan cintamu tak pernah berubah meski imanku berada dalam kehancuran... Ya Allah... hari ini dia datang lagi, jika takdirmu tak pernah salah, maka tuntun terus cintaku untuk senantiasa kembali padamu... Hamba mohon ya Allah... mohon dengan sangat, mohon dengan sungguh...
"Tisu...?" Tetiba Dira muncul di hadapannya.
"Ya, terima kasih," ucap Ai, yang sebenarnya terkejut dengan kehadiran asistennya itu. "Bagaimana kamu menemukanku?" Tanya Ai, saat Dira sudah duduk di sampingnya.
"Bapak khawatir, karena Mbak Ai belum pulang," kata Dira. "Nggak baik lo anak gadis jam segini belum pulang," lanjutnya.
"Sok tua banget kamu. Lagian saya bukan gadis remaja yang harus dikhawatirkan lagi, Dir," balas Ai. Sambil tersenyum. Setelah itu mereka berdua beranjak meninggalkan masjid.
"Mbak, masjidnya bagus banget, ya? Eh kita duduk sebentar di dekat pantai situ, yuk," ajak Dira.
"Boleh. Itu ada kursi yang kosong," kata Ai. Setelah itu mereka tak jadi langsung pulang malah mengobrol sambil menikmati suara ombak.
"Mbak, boleh saya tanya sesuatu?" Tanya Dira.
"Iya,"
"Menurut kamu, kenapa seseorang harus merahasiakan sesuatu dari orang terdekatnya?" Pertanyaan itu sebenarnya menjurus pada penyakit Pak Toha yang harus ia rahasiakan dari Ai.
"Mungkin... karena mengkhawatirkan sesuatu. Atau karena takut kehilangan sesuatu?" Jawab Ai.
"Jadi, Mbak Ai tidak keberatan dengan konsep itu?" Tanya Dira.
"Konsep rahasia?" Tanya Ai.
"Iya," kata Dira.
"Tidak. Karena menyimpan rahasia itu tidak mudah," kata Ai. Sebenarnya Dira sangat ingin mengatakan yang sejujurnya tentang Pak Toha, namun sepertinya dia tidak tega melihat beban yang tersirat dari wajah Ai, akhirnya dia urung mengatakan hal itu.
"Dir, sekarang ganti aku yang tanya sama kamu," kata Ai, dan Dira mengangguk. "Kamu pernah, meninggalkan seseorang tanpa memberinya alasan?" Tanya Ai.
"Wah, itu pasti lebih menyiksa dari konsep rahasia tadi! Saya tidak pernah melakukan hal-hal aneh semacam itu," jawaban Dira itu menghasilkan senyum lebar di wajah Ai. Dira memang pandai melontarkan jawaban aneh pada pertanyaan yang cukup serius. "Kenapa malah senyum, Mbak?" Tanya Dira.
"Jawaban kamu itu seolah mengatakan jika aku ini adalah orang yang aneh," kata Ai. Lalu mereka saling melihat dan tertawa.
"Apa itu tentang Azura?" Tanya Dira, sedikit berhati-hati. Ai terkejut, dan suasana berubah, wajah Ai pun berubah menjadi sangat serius.
"Kita pulang saja. Sudah malam," ucap Ai, sambil menenteng tasnya. Dengan langkah cepat dia tinggalkan tempat duduk mereka.
"Mbak, tunggu!" kata Dira, mengejar Ai, dan berdiri tepat di hadapan Ai. "Jika jarak itu harus tetap ada, saya tidak keberatan menjadi perantara komunikasi di antara kalian," jelas Dira.
Ai terkejut lagi, seolah Dira sudah mengetahui sesuatu, namun Ai tak mau terjebak dalam pikirannya, dan dia pun bertanya pada Dira, "Kenapa kamu mau melakukannya?"
"Memastikan atasan saya bekerja dengan baik dan nyaman. Bukankah Mbak Ai yang bilang jika saya hanya perlu bekerja sesuai prosedur? Dan saya dibayar untuk meringankan pekerjaan kamu. Bukan begitu?"
Keduanya sempat saling diam. Dira tak bisa membaca pikiran Ai, karena tadinya dia berharap menemukan jawaban akan sikap menghindar Ai yang jelas terlihat saat di kantor tadi.
"Ok," hanya jawaban itu yang diberikan Ai. Keduanya pun melangkah lagi untuk pulang dan tidak ada obrolan lagi di antara mereka. Hingga sampai rumah dan pergi tidur.
"Dira," panggil Ai. Saat keduanya sudah berada di ranjang masing-masing.
"Iya, Mbak."
"I'ill try to trust you more." Kata itu menutup malam mereka.
***
"Yang... apa kamu sudah tidur? Maaf tadi hape ku tertinggal," Dira membuka pesan masuk dari Hikam.
"Belum tidur, mas, tapi kita berkirim pesan saja, ya. Soalnya di sini sudah malam, dan semua orang sudah tidur, takut berisik," balas Dira. Setelah itu dia memutuskan untuk keluar kamar, dan duduk di tepi kolam renang.
"Bagaimana kerjaan kamu?" Tanya Hikam.
"Baik, Mas. Menyenangkan. Bertemu banyak orang, tinggal di rumah papanya Mbak Ai ternyata juga tidak menakutkan. Keluarga mereka memperlakukan aku seperti temannya Mbak Ai, padahal aku kan karyawan biasa. Makanya aku harus tetap tahu diri," balas Dira.
"Bagus deh, kalau kamu sudah betah di sana. Aku senang kalau kamu kamu happy," kata Hikam.
"Mas. Kemarin jadi, teman kamu yang menawarkan tempat untuk jualan mi ayam?"
"Jadi. Nggak dikasih sewa, malah dia minta bagi hasil aja. Katanya karena mi ayam kita enak dan bersih."
"Wah, bagus dong. Jadi ada progress, nih, hidup kita," kata Dira, senang.
"Adiknya yang baru lulus kuliah juga mau bantu buat branding sama internet marketing-nya," kisah Hikam. Dia kirimkan pesan itu bersama dengan sebuah foto tiga orang, dirinya, temannya yang punya tempat, Tono namanya, dan yang satunya lagi adik Tono, namanya Rani.
"Adiknya cantik, ya, mas?" kata Dira, tak penting. "Kamu nggak bakalan tertarik sama dia, kan?" Tanyanya lagi.
"Yang... jangan mikir macem-macem, deh. Nanti malah ganggu kerja kamu, lo," balas Hikam.
"Ya, kamu janji dulu untuk nggak akan macem-macem," kata Dira, semakin posesif.
"Iya, aku janji."
"Ok. I'll try to trust you more," balas Dira menirukan kata-kata Ai padanya tadi.
Bagaimana pun Dira hanya perempuan biasa, pernikahan yang sudah berjalan lima tahun dan belum dikaruniakan anak sering kali membuatnya tiba-tiba merasa tidak aman dalam hubungan. Ditambah lagi kesepakatan pasangan itu untuk saling mendukung dalam karir yang pada akhirnya membawa pada hubungan dengan jarak seperti sekarang ini.
"Boleh saya ikut duduk?" Tanya Pak Toha.
"Bapak kok belum istirahat?" Tanya Dira.
"Tadi habis isya saya langsung tidur, biar bisa bangun. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," jelas Pak Toha. Sambil membuka laptop dan mengenakan kacamata.
"Pak, jika saya merasa terancam dalam hubungan karena karir, apa itu salah?" Tanya Dira, curhat.
"LDR memang berat, ya?"
"Bapak malah meledek. Dira serius tanya, pak. Bapak kan sudah jauh lebih matang, saya butuh pencerahan, pak," ucapnya, lugu.
"Saya tahu sebenarnya saya bukan orang yang tepat. Tapi saya akan mencoba menjawabnya. Jika sudah sepakat untuk saling percaya maka libatkan Allah untuk menjaganya, itu saja." Nasihat yang singkat namun sangat mengena bagi Dira.
"Terima kasih, pak," ucap Dira, dengan senyum lega.
"Saya menghabiskan masa muda tanpa mengenal Allah dengan baik, lalu satu persatu pergi. Menahan semua jarak yang takkan pernah mendekat itu berat, namun di jalan itu Allah selalu hadir menguatkan." Kata Pak Toha, sejuk. "Melihat semangat kerja kamu sama Aishah, mengingatkan masa muda saya, tapi kalian lebih beruntung, karena kalian sudah merasakan manisnya iman," lanjutnya.
"Pak... ngomong-ngomong tentang Mbak Ai, bapak kenal tidak, sama Azura?" Tanya Dira.
"Oh, iya, Azura namanya. Teman Ai yang kemarin dilihat Pak Mo itu namanya Azura," kata Pak Toha. "Ya kenal. Mereka itu dulu dekat, saling mendukung, saling memberi pengaruh baik, bahkan saling menguatkan untuk merintis karir di kota new york yang besar itu," kisah Pak Toha. "Kenapa? Kok kamu kenal!" seru Pak Toha.
"Dia sudah jadi pelukis hebat, sekarang," jawab Dira, tak jelas.
"Ya, sudah bisa ditebak. Dia memang berbakat," kata Pak Toha.
"Pak, Dira pamit istirahat dulu, ya," ucap Dira. Lalu dia pergi ke kamar.Rumit...
Ketika manusia tersiksa sendiri oleh jarak yang disepakati.
Adakah jauh ialah keputusan hati atau kehendak ilahi?
Merindu meski terkadang cemburu menghantui.
Tersiksa meski menyadari bahwa hati tak ingin kembali .
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang TanpaMu
RomanceMelewati usia 30 tahun dengan berbagai dimensi luka dan proses penyembuhannya. Dira 30 tahun bersepakat dengan suaminya untuk menunggu kehadiran buah hati dengan menata lebih dulu kemapanan secara ekonomi. Latar belakangnya yang dari keluarga seder...