Menebus Kesalahan

352 49 0
                                    

Ponsel milik Dira tertinggal, Ai tahu itu, ada banyak panggilan terabaikan, karena itu segera dia matikan ponsel milik asistennya tersebut. Keesokan paginya Ai menata sendiri jadwal kerjanya, termasuk menyiapkan sendiri sarapan, serta mengurus papanya yang masih recovery pasca operasi. Mungkin bagi keluarga ini biaya sama sekali tak jadi masalah, apa lagi Pak Toha juga dapat tunjangan kesehatan dari perusahaan, namun Ai sepertinya harus benar-benar membagi waktu dan fisik untuk kehidupan profesionalnya dan memperhatikan serta melayani papanya dengan baik, dalam hati kecilnya tentu tak ingin kehilangan sosok ayah yang sudah lama sekali tinggal sendirian di negeri orang, tanpa dirinya hadir dalam setiap keadaan.
“Ai, kemarin kata dokter papa harus menunggu sepekan baru boleh pulang,” kata papanya, saat Ai duduk di sisi ranjang dan menyantap sarapan roti gandumnya.
“Saya akan rawat papa dengan baik,” ucap Ai, “Mulai sekarang Ai akan lebih perhatian lagi,” imbuhnya.
“Kamu tidak perlu terlalu repot, kan ada Pak Mo.”
“Apa kehadiran Pak Mo lebih penting?” Tanya Ai, bergurau.
“Bukan bagitu Ai, tapi kan kamu harus kerja juga,” balas papanya.
“Iya, pa.”
“Dira ke mana? Dari kemarin kok tidak kelihatan,” tanya papanya.
“Ai pamit, pa,” Ai sengaja menghindari pertanyaan itu.
Kemudia ia pergi ke tempat kerja, dan sampai ke tempat kerja hampir bersamaan dengan Azura, namun tak seperti biasa Azura berlalu saja tanpa menyapa, tapi Ai adalah orang yang tak pernah pusing dengan sikap orang lain padanya, bukan karena dia bijaksana, tapi dia selalu berpikir wajar jika orang tetiba tak setuju atau bahkan marah padanya.
“Drrrt, Drrrt,” panggilan masuk dari Janu.
“Halo, iya, Nu,”
“Dira ke mana sih, Ai. Kok dari kemarin nggak bisa dihubungi!” Ucap Janu.
“Dia akan kembali beberapa hari,” balasnya.
“Ya tidak harus matikan ponsel juga, kan!” Ujar Janu.
“Harusnya sih iya,” kata Ai, mencoba menutupi yang dia lakukan pada Dira, kemarin.
“Tapi ini bukan gaya dia deh, Ai. Biasanya setiap hari dia kasih laporan kerjaan harian, terutama selama kamu tinggal, dia menghubungiku secara intensif,” kisah Janu.
“Oh ya! Bagus dong, berarti dia komunikatif,” komentar Ai, datar.
“Atau, jangan-jangan...” Janu mulai bisa membaca gelagat sepupunya itu, “Gila ya, Ai. Dira itu punya keluarga yang ditinggal di jakarta loh, kamu telantarin dia di negeri orang, kalau ada apa-apa gimana?” Kata Janu, nyerocos.
“Aku kan udah bilang, dia akan kembali dalam beberapa hari,” balas Ai.
“Kalau nggak?”
“Pasti. Dia bahkan tidak mau menerima pesangon dan ponselnya tertinggal,” ucapan Ai itu menegaskan bahwa dirinya memberhentikan Dira.
“Ai, makin ke sini mental kamu makin geser, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama dia, bagaimana tanggung jawab kita ke keluarganya?” Ujar Janu, sangat khawatir.
“Tidak akan terjadi apa-apa, lagi pula bahkan dia sudah menguasai bahasa arab aksen saudi dengan baik,” kata Ai, enteng. Janu mungkin hanya menggeleng kepala dan menilai Ai sebagai orang yang egois.
Setelah panggilan berakhir Ai membuka buku agenda yang ditinggalkan Dira di kamar mereka, dan Ai membawanya ke tempat kerja. Agenda hari ini adalah penyelesaian masalah pengiriman granite beberapa hari yang lalu, rupanya memang benar Dira bekerja sangat keras membagi emosi untuk semua urusan yang ditinggalkan olehnya. Karena Hasin membantu dalam urusan tersebut maka dia pun turut serta dalam pertemuan dengan Jafar, ada sedikit hal yang cukup mengecewakan bagi Ai, karena ternyata Jafar menyalahkan Dira yang katanya tidak meneliti lebih dulu dan memastikan pada vendor terkait akan berapa barang yang bisa dikirim.
“Why do you blame her?” Tanya Ai, tak terima. “Perusahaan kami sudah lama dan berpengalaman di bidang interior dengan banyak koneksi vendor perusahaan konstruksi bangunan di lebih dari 25 negara, tapi perusahaan anda bersikeras untuk menyediakan semuanya sendiri, dan Kartika Interior hanya bertanggungjawab pada desain serta eksekusi hingga jadi, di sisi lain Khalid Group meminta deadline yang sangat mendesak. Jadi, ini siapa yang bertanggungjawab?” sangat panjang Ai mengomel dan menjelaskan. “Dengan deadline yang pihak anda buat, kami bisa memutus semua vendor terkait,” lanjutnya tegas.
“Ai, are you serious? Proyek kita sudah di tengah jalan,” kata Hasin, yang terlihat mulai khawatir mendengar statement Ai.
Di tengah obrolan mereka ponsel Jafar berdering, rupanya panggilan itu dari Mister Khalid. Jafar pun menepi dari Ai dan Hasin.
“Ai, i really don’t know what are you thinking about. Yang lebih mungkin mereka lakukan itu memutus kontrak dengan kamu, karena vendor perlengkapan bangunan itu lebih dulu bekerja sama dengan mereka dari pada kamu,” kata Hasin, panik.
“Memutus kontrak lalu melanjutkan perencanaan desain milikku, asalkan harganya setimpal dan hak cipta terlindungi payung hukum, tidak masalah bagiku,” balas Ai, tenang. Hasin hanya menggeleng melihat tingkah rekannya.
“Ok, malam ini semua pesanan akan sampai sesuai yang diminta, jadi besok bisa segera diselesaikan,” kata Jafar, setelah berbicara dengan Mister Khalid di telepon.
“What happen?” Tanya Ai.
“Mr. Khalid dan beberapa investor besar besok lusa ingin datang ke proyek, jadi segera selesaikan pengerjaan lantai setelah barang-barang itu datang,” jelasnya, lagi.
“Ok, deal,” kata Ai. “Thank you for your time,” lanjut Ai.
Dalam perjalanan kembali ke kantor Hasin dan Ai tertawa membahas obrolan mereka hari ini bersama Jafar.
“Ai, i think Mr. Khalid is a nice guy,” komentar Hasin. “Apa kamu memang sudah tahu kalau kamu akan baik-baik saja?” Tanya Hasin.
“Hanya menebak, sih,” jawab Ai, dengan senyum singkatnya.
***
Selepas kerja Ai langsung pulang ke rumah sakit, ada banyak rekan papanya yang hadir, termasuk orang-orang kedubes. Pak Toha memang orang penting dan selalu mengutamakan hubungan baik dengan banyak orang.
“Assalamualaikum,” Ai masuk ke ruangan papanya dengan mengucap salam. Ada lima orang tamu yang sedang berkunjung.
“Waalaikum salam,” balas orang-orang itu, Ai mendekat pada papanya, menyalami dan mendaratkan kecupan di kening papanya. “Ini putri saya, dia sedang memimpin proyek interior bersama Khalid Group hotel,” lanjut papanya, memperkenalkan.
“Di sini sendirian atau...” pertanyaan itu mengarah pada soal pasangan hidup Ai.
“Saya di sini menemani Papa,” kata Ai, menghindari. Lalu kemudian Ai memutuskan untuk keluar dari kamar dan pergi ke coffeeshop di dalam gedung rumah sakit.
“Mbak, Dira ke mana? Saya mau minta tolong ambil beberapa barang di rumah,” kata Pak Mo, yang tetiba muncul di cofeeshop dan mendekati Ai.
“Aku juga mau pulang, mau diambilkan apa?” Ai menanggapi permintaan Pak Mo.
“Ah, masak saya minta tolong Mbak Ai.”
“Pantes aja kali, pak. Kan aku lebih muda,”
“Lagian saya butuh bicara sama Dira, kan selama ini dia yang merawat Bapak,” kata Pak Mo.
“Dia akan kembali dalam beberapa hari,” ucap Ai, sembari menenteng tas untuk beranjak.
“Mbak, saya pikir mbak Ai sudah berubah soal ini. Maaf ini bukan urusan saya, tapi Dira orang yang baik,” kata Pak Mo. Ai hanya menanggapi dengan senyuman tanpa arti, lalu pergi.
Saat berjalan keluar dari rumah sakit, seseorang berusaha menghentikan langkahnya.
“Permisi, Aisha, putri Pak Toha?” Ucap seorang pria yang sepertinya berusia sedikit lebih tua darinya itu.
“Iya. Oh, mas, siapa tadi namanya?” Kata Ai mencoba membalas sapaan.
“Permana,” balas pria itu.
“Bisa dibantu?”
“Hanya ingin lebih mengenal, kalau boleh,”
“Ini kartu nama saya,” balas Ai, sambil memberikan sebuah kartu nama.
“Maksud saya secara personal.”
“Saya tidak mau ribut dengan istri anda,” balas Ai, tanpa beban.
“Istri saya sudah meninggal dua tahun lalu,” kata Permana.
“Sorry, i've to go,” kata Ai, sambil melihat jam tangannya.
Bagi perempuan seusia Ai bukan pertanyaan kapan menikah yang mengusiknya, namun ketika ada yang mengusik kesendiriannya dengan kata kenapa tidak menikah? Dan itu yang selalu datang, karena dari segala arah tidak mungkin perempuan seperti dirinya tidak ada pria yang menghampiri.
Namun faktanya di masa kini tak hanya yang dimiliki saja yang bisa dinikmati, justeru menikmati ketiadaan seolah menjadi seni tersendiri.
***
Dira beruntung mendapatkan penginapan yang sesuai dengan isi kantong sisa uang yang dimiliki, sebuah penginapan murah di daerah Aziziah, dekat dengan pemakaman keluarga Rasulullah Ma’la, tentu agak jauh untuk menuju ke Masjid Al-haram, namun selalu saja ada kendaraan yang melintas untuk membawa jamaah pergi ke sana. Akan lebih murah ongkosnya jika taxi yang melintas sudah ada penumpang, biasanya tak masalah jika mengangkut penumpang lain yang hendak pergi ke masjid, ongkosnya hanya sekitar tiga hingga lima real saudi (SR). Kalau menurut cerita orang-orang ongkos transportasi akan naik jika musim ramai, seperti bulan Maulid Nabi, Ramadhan, dan tentu saja saat musim haji.
Ini hari ke dua kepergiannya dari kediaman Pak Toha, pada awalnya bingun dan kecewa sudah pasti, merasa tak berharga atau barang kali tak dihargai, namun pada akhirnya dia hanya bisa berusaha tenang untuk dapat mensyukuri kesempatan beribadah di tanah suci. Dia gunakan hari ke dua ini untuk ibadah umroh sunnah, ambil miqot di masjid Tan’im seperti yang ia lakukan beberapa pekan lalu bersama Ai. Tentu saja pengalaman pertama itu tidak akan terlupakan, nama itu juga tak kan mudah terhapuskan, bagaimana pun berkat Ai dia bisa mendapatkan kesempatan emas untuk pergi ke tanah suci.
Mengelilingi tujuh putaran tawaf dengan rasa kacau dan nyaris putus asa.
Sendirian di negeri orang dalam keadaan tak dapat berpegang pada siapa.
Lagi dan lagi diri ini terjebak dalam ketidak berdayaan yang penuh tanya.
“Nak, bisa temani saya tawaf? Saya kehilangan rombongan,” pada garis awal tawaf Dira bertemu dengan seorang perempuan jamaah umroh dari indonesia yang kira-kira seusia ibunya.
“Bisa, buk, kebetulan saya juga baru mau mulai,” jawab Dira tanpa berpikir panjang untuk membantu orang itu.
“Bacanya yang keras ya, nak. Biar saya bisa ikuti.”
“Ibu ada buku bacaan tuntunan umroh dari travel?” Tanya Dira.
“Ada, nak. Tapi kalau sambil jalan ibu tidak mungkin bisa baca,” jawab wanita itu, polos.
“Baik, kalau begitu ibu ikuti saya, ya.”
Ini kedua kalinya Dira umroh semenjak berada di saudi, kali ini dia benar-benar merasa tak berdaya, ponsel tertinggal sehingga entah kapan dia bisa menghubungi suaminya lagi, sekadar melepas rindu atau bahkan mencurahkan isi hati, mungkin membeli ponsel baru tidak akan sulit baginya, tapi sepertinya Dira juga belum terbiasa menggunakan banyak uang dengan tanggap, ia terlalu perhitungan dengan sisa uang yang dibawa, mungkin juga karena dirinya sangat takut untuk tidak bisa pulang, tangisnya tak terbendung saat satu persatu wajah keluarganya terlintas di pusaran antara rukun yamani dan hajar aswad, terbawa oleh makna doa yang dia baca, meminta kebaikan dunia dan akhirat, dan agar disertakan masuk ke surga Allah bersama orang-orang yang baik. Beberapa waktu lalu ia pergi umroh bersama Ai, dia genggam erat tangan Ai, untuk sebuah ucapan terima kasih yang tak cukup hanya dalam kata. Ibu-ibu yang sedang Dira bawa itu menggenggam tangannya karena takut tertinggal, dan itu semakin membuatnya teringat pada sosok perempuan yang seolah membawa mimpi baru baginya, siapa lagi kalau bukan Aisha. Usai tujuh kali putaran tawaf, dan selesai tujuh kali perjalanan sai di bukit safa dan marwa, dan terhenti di marwa, Dira minta pada si ibu untuk berdoa sendiri.
Ya Allah kesempatan ini membuatku menangis tanpa arti.
Hamba bahagia, namun ada hampa yang enggan pergi.
Antara kecewa karena direndahkan atau karena menyadari keadaan diri.
Jika semua manusia tiada beda di sisi-Mu, maka apakah arti kepercayaan diri?
Jika segalanya hilang tanpa-Mu, maka dari mana ucapan terima kasih itu bermula?
“Nak, itu rombongan saya,” kata si ibu yang nampaknya melihat teman-tamannya melintas.
“Oh, iya, mari saya antar,” kata Dira, sopan. Dua perempuan itu kemudian berjalan ke arah pintu keluar mengikuti rombongan yang dimaksud, tepatnya di Bab Al-Marwa. Begitu sampai pada rombongan tersebut ternyata itu adalah jamaah dari Kiyai Rahmat, beliau adalah pengasuh pondok pesantren tempat Dira belajar dulu, dan karena dulu Dira mengabdi di ndalem mengurus ibunda pak Kiyai serta menjadi guru prifat bagi putri ke dua beliau yang saat ini juga turut serta mendampingi abahnya umroh, maka tentu saja sang kiyai tidak lupa.
“Apa kabar kamu, Nduk?” Tanya Kiyai.
“Alhamdulillah, yai,”
“Ikut travel mana?” Tanya Kiyai.
“Saya sendirian Yai. Ada pekerjaan,” jawab Dira.
“Mbak Dira, jadi TKW?” Tanya Putri Pak kiyai.
“Bukan, Ning Sol,” kata Dira pada perempuan berusia dua puluh tahunan momongannya dulu itu, “Saya menjadi asisten pribadi desainer interior untuk sebuah perusahaan hotel, tapi tugas saya sudah selesai, jadi sebelum pulang ingin beberapa hari di makkah,” jelas Dira.
“Waaah keren,” Komentar Ning Sol.
Kesempatan itu Dira gunakan untuk silaturrahim santai di hotel tempat menginap Kiyai. Bagi kebanyakan santri dapat bertemu dengan sang guru besar adalah kesempatan bahagia yang tak boleh terlewatkan, pasti nanti ada nasihat hikmah yang secara cuma-cuma didapatkan.
“Jadi kamu dipercaya sama atasan kamu untuk mendampinginya bertugas di jeddah?”
“Iya.”
“Suami kamu mengizinkan kamu bekerja?”
“Kami sepakat untuk menata kehidupan ekonomi dulu, sambil menunggu momongan,” jawab Dira.
“Dengan semua kesempatan yang kamu dapatkan sekarang, jangan lupa bersyukur. Kadang sangat manusiawi ketika seseorang mengalami kendala hidup akan mengeluh dan mempertanyakan banyak hal, pada saat itu rasa syukur akan Rahmat sedang surut seiring surutnya iman yang memang mengalami kembang kempis. Tapi kita bisa menumbuhkan lagi rasa syukur itu dengan tahapan sederhana, yaitu berterima kasih pada sesama manusia. Pada suami kamu yang sudah memberikan kesempatan, pada orang tua kamu atas doa doa yang tak berkesudahan, pada atasan kamu yang sudah memberikan kepercayaan.” Nasihat itu Dira dapatkan tanpa dia tanyakan banyak hal.
“Tapi bagaimana caranya berterima kasih pada orang yang sudah membuang kita?” Tanya Dira.
Selain berterima kasih ada hal lain yang sulit dilakukan oleh orang zaman sekarang, yaitu minta maaf,” balas Kiyai

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang