18 - Pria Asing

295 33 19
                                    

Dinda berjalan menelusuri villa belakang, ia tidak dapat tidur karena teringat dengan keluarganya, atau lebih tepatnya adalah Arad an Aris. Dinda membuka pintu dapur yang langsung terarah ke hamparan kebun, ia dapat menikmati semilir angin yang berhembus dingin menusuk kulitnya.

Hal itu tidak membuatnya serta merta kembali ke dalam, Dinda malah semakin ingin menikmati angin yang berdesir membelai rambut indahnya. Ia memilih duduk pada kursi kayu panjang yang berhadapan langsung dengan kebun, suasana begitu gelap dan mencekam. Namun, Dinda tidak merasa terganggu dengan semua itu.

Matanya menelisik jauh menatap hutan, ia memperhatikan tempat itu dengan lama. Kebun Oma-nya memang langsung berbatasan dengan hutan yang berada dipuncak bukit, ingat bahwa Retno sangat menyukai alam bebas.

Dinda melirik ponselnya yang masih mode mati, ingin sekali ia menghidupkan benda persegi panjang itu, tapi ia tak mau jika lokasinya terlacak dengan cepat. Saat ini dirinya butuh ketenangan sementara waktu, setelah dirasa tenang ia berjanji akan pulang ke rumahnya.

Wushhhh....

Lagi-lagi angin menerpa Dinda, wajahnya terasa dingin dan segar. Meskipun bulu kuduknya agak meremang, mungkin saja itu efek dari kedinginannya.

"Hahh, segar." Gumamnya, ia menutup kelopak matanya sekedar untuk menikmati hembusan angin.

Dinda membuka matanya, ia tersenyum simpul. Jarang sekali ia bisa menikmati kebebasan seperti ini, Dinda sangat beruntung karena memilih villa ini sebagai tempat menenangkan diri.

Gemerisik dedaunan membuyarkan ketenangan Dinda, gadis itu menoleh ke sekitar. Matanya memincing kala mendapati sebuah bayangan dengan pergerakan, sekarang ia mulai waspada.

Semakin lama bayangan tersebut semakin mendekat, napas Dinda tertahan sejenak. Dilihatnya sosok pemuda tinggi tegap sedang berjalan ke arahnya, pria itu berhenti beberapa langkah dihadapan Dinda.

"Hai." Pria itu membuka suara, terdengar maskulin dan err seksi.

Dinda terdiam, ia meneliti penampilan pria itu dari atas hingga bawah. Kemeja hitam dipadukan dengan celana serupa, hidung mancung dan kulit kecokelatan, jangan lupa tatapan setajam elang yang kini menatap Dinda dengan lugas.

"E-eh ya?" Dinda sudah berdiri dari duduknya, ia mulai bersikap antisipasi kalau-kalau pria itu berbuat jahat padanya.

"Boleh aku duduk disini? Oh ya, tenang saja aku bukan orang jahat, jika itu yang kamu pikirkan." Pria itu tersenyum manis, sejenak Dinda merasa terpana.

"Hmm ya." Dinda berkata ragu-ragu.

Pria itu duduk dikursi panjang, sedangkan Dinda sudah memilih duduk dikursi plastik lain.

"Kamu siapa?" Tanya Dinda kebingungan.

Pria itu tersenyum. "Namaku Bimanyu, aku penduduk sekitar sini. Kebetulan sedang lewat dan sempat melihatmu melamun sendirian malam-malam, apakah kau tidak takut?"

Dinda menggeleng pelan, untuk apa ia takut? Toh ia sudah pernah bertemu banyak jenis hantu selama berkelana dengan kedua sepupunya.

"Tidak." Jawab Dinda sekenanya.

"Jika boleh tahu, siapa namamu?"

Jika dilihat dari dekat, wajah pria itu sangat pucat bak tak ada darah yang mengalir dari tubuhnya.

"Aku Dinda."

"Apakah kamu keturunan dari Bu Retno?" Tanya pria itu.

"Hmm ya, bagaimana kamu mengetahui itu, kamu mengenal Oma?" Meskipun Dinda merasa amat menggigil kala pria itu berada didekatnya, tapi ia tetap berusaha senormal mungkin.

Pria itu terkekeh ringan. "Di daratan ini siapa yang tidak mengenal Bu Retno? Dia orang yang baik, warga sekitar sering dibantu olehnya, kamu beruntung memiliki Oma seperti beliau."

Dinda agak terkejut, Oma-nya sebaik itu dengan warga sekitar, tapi kenapa sifat baik itu tidak menurun kepada Mamanya?!

"Bu Retno adalah pendatang baru kala itu, beliau membangun villa dan kebun ini dengan susah payah. Kala itu beliau hidup sendiri tanpa keluarga, karena anaknya sudah menikah dan jarang menginjakkan kaki kesini." Lanjut Bimanyu.

Dinda membenarkan ucapan Bimanyu, Oma-nya memilih pindah dari kediaman lama menuju kemari bukan tanpa alasan. Setelah Zinta memutuskan menikah dan akan menetap di kota, Retno pun tak mempunyai alasan lagi untuk tinggal dikediaman lama. Masa tuanya ingin dihabiskan dengan memandangi alam dan dapat membantu orang-orang yang membutuhkan.

Tak ayal, Retno benar-benar merealisasikan keinginannya. Setelah mendapatkan lokasi yang cocok, ia langsung membangun villa dan kebun dipuncak bukit. Dulu Dinda memang sudah pernah kemari, dan Zinta sama sekali tidak berminat melanjutkan pengelolaan villa dan kebun. Ketika ia mengetahui bahwa Pipin dan Komar adalah kaki tangan kepercayaan sang Ibu, dengan senang hati Zinta melimpahkan hal-hal mengenai kebun dan villa ini pada mereka.

Kebun yang tak seberapa pendapatannya, mana mungkin Zinta mau mengelola.

Hasil dari perkebunan telah masuk ke dalam rekening pribadi mendiang Retno, yang dikhususkan untuk Dinda suatu saat nanti. Jika Dinda mau, ia bisa langsung mengambil uang waris itu ke bank, tapi sayangnya ia belum berminat.

"Kamu pernah bertemu dengan Oma?" Tanya Dinda, ia menatap Bimanyu dengan penasaran, bahkan ia sudah melupakan kewaspadaannya.

"Aku pernah ditolong oleh Bu Retno." Ujar Bimanyu, ia menatap balik manic Dinda.

Dinda mengernyitkan dahinya. "Ditolong karena apa?"

Bimanyu tak langsung menjawab, pria itu menatap langit-langit dengan mengadahkan kepala.

"Bu Retno menolongku yang hampir mati, beliau sangat baik, bahkan aku belum membalas jasanya tapi beliau terlebih dulu meninggal." Pria itu berkata dengan sendu.

Mendengar hal itu mau tak mau membuat Dinda terhanyut dalam kesedihan, ia merindukan Oma-nya.

Bimanyu menolehkan kepala menatap wajah sendu Dinda, ada senyuman terbit disana.

"Namun, sekarang aku sudah bisa membalas semua kebaikan Bu Retno." Bimanyu menatap Dinda dengan lekat, sedangkan bulu kuduk Dinda mulai meremang.

"Dengan cara apa?" Dinda mengusap pundaknya, tak sengaja ia bersentuhan dengan siku Bimanyu. Dingin, itulah yang menggambarkan suhu tubuh Bimanyu.

Dinda mengernyitkan dahi, dan bulu kuduknya semakin meremang.

'Mengapa tubuh Bimanyu sedingin itu?' Batin Dinda bertanya-tanya.

"Dengan caraku sendiri, tentu saja." Bimanyu tersenyum hangat, ia masih memperhatikan Dinda hingga jarak dekat.

Dinda merasa jika harus meningkatkan kewaspadaan, bagaimanapun pria itu adalah orang asing, Dinda tidak boleh percaya begitu saja.

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

INDRA MATA BATINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang