15 - Villa

290 37 7
                                    

Dinda menginjakkan kakinya pada sebuah bangunan besar dihadapannya, ia mengukir sebuah senyuman manis. Dirinya sudah sampai ke villa pemberian mendiang Oma-nya. Dinda semakin menambah laju langkahnya, menatap sekeliling villa untuk mencari seseorang.

Diketuknya pintu bercat merah padam, Dinda menunggu dengan sabar.

Seorang perempuan baya membuka pintu dan terdiam sejenak untuk meneliti Dinda dari atas hingga bawah.

"Permisi..." Ucap Dinda tersenyum simpul, ia mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai guna menunggu reaksi orang dihadapannya.

Perempuan tersebut masih diam untuk mengingat-ingat siapa gadis dihadapannya, beberapa detik kemudian ia terperanjat.

"Ehh, Non Dinda. Ini benar Non Dinda kan?!" Sebuah suara melengking terdengar, selanjutnya buru-buru ia membungkukkan badan dengan sopan, merasa bersalah karena telah melupakan majikannya.

Dinda terkekeh pelan, perempuan ini memang tidak berubah dari dulu.

"Ya! Ini Dinda, bangunlah Bi." Dinda memegang pundak ringkih itu.

"Maafkan Bibi karena tidak mengenali Non Dinda." Pipin menatap Dinda sungkan.

"Bi Pipin santai saja, kan memang sudah lama aku tidak berkunjung."

Dinda memang sudah lama tidak berkunjung kemari, jika dihitung-hitung sudah tujuh tahun lamanya ia tidak menginjakkan kaki disini. Villa diurus oleh Bi Pipin dan suaminya, Komar. Walaupun sangat jarang sang majikan meninjau langsung keadaan villa dan kebun, tetapi pasangan suami istri itu mampu menjaga mandat dengan baik. Terbukti dengan keadaan villa yang masih rapi dan bersih, ditambah pula dengan penjualan hasil kebun yang terus merangsek naik. Tidak salah Oma-nya mempercayai Pipin dan Komar.

"Mari Non masuk, akan Bibi siapkan makanan dan kamar untuk Non."

Dinda berjalan membuntuti Pipin untuk masuk ke dalam villa, benar-benar bersih dan terawat. Tak ada banyak yang berubah, hanya saja cat biru terangnya terlihat sudah dilapisi lagi agar tidak tampak kusam.

Villa ini terletak di puncak gunung, setelahnya tak ada lagi rumah-rumah warga atau bangunan dibelakangnya. Hanya ada kebun sayur dan buah-buahan milik mendiang Oma, lalu setelahnya adalah hutan lepas. Hutan yang konon katanya menjadi sarang makhluk gaib sejenis jin, beberapa warga sekitaran lereng percaya bahwa makhluk yang mendiami hutan tersebut sangat menyeramkan.

"Non Dinda duduk dulu, saya akan menyiapkan hidangan paling lezat." Rancau Pipin, Dinda hanya tersenyum sembari mengangguk.

Ia merogoh ponselnya yang telah mati, sengaja tidak ia hidupkan agar orang-orang tidak mencarinya. Siapa yang akan berpikir bahwa Dinda kabur menuju villa? Tak ada. Villa ini seperti dilupakan oleh keluarganya, Zinta maupun Troyandi tidak berminat mengurus bangunan ini. Tentu saja karena pendapatan kebun yang tidak seberapa dibanding penghasilan mereka dibidang keamanan dan juga butik fashion.

"Hahh.. Sepertinya tempat ini cocok untuk menenangkan pikiranku, sayang sekali aku harus membolos kuliah dan juga tidak dapat bertemu dengan Kak Ara ataupun Aris." Dinda menekuk wajahnya masam kala mengingat sepupunya, ia bahkan memikirkan bagaimana reaksi keterkejutan Ara dan Aris ketika mengetahui bahwa dirinya kabur dari rumah. Berbicara mengenai kepulangan, entahlah Dinda belum memastikan kapan ia akan pulang dan berdamai dengan orangtuanya. Sekarang ia hanya ingin merilekskan pikiran dan menikmati kehidupannya.

'Maafkan aku Kak Ara, Aris.' - Dinda berucap dalam hati.

Dinda melangkahkan kaki menuju dapur villa, ia akan melihat-lihat ruangan disini.

Bangunan ini cukup besar dan megah. Cuaca dingin bahkan terus terasa meskipun matahari sedang panas-panasnya, dikarenakan bangunan tersebut berada dipuncak paling atas. Dinda membutuhkan selimut tebal dan berlapis untuk tidurnya nanti.

"Bi Pipin!" Seru Dinda.

Pipin menengok ke samping mendapati Dinda yang bersedekap, Pipin segera mendekati majikannya.

"Ya, Non. Ada yang dibutuhkan?"

Dinda menatap jauh ke belakang, pintu dapur terhubung langsung dengan perkebunan hingga Dinda mampu melihat pemandangan menakjubkan tersebut. Bahkan terlihat ada beberapa pekerja yang sedang memetik buah jeruk, Dinda memekik girang karena menyukai kehidupannya saat ini.

"Wahh, pemandangannya indah." Gumam Dinda yang takjub akan keindahan ciptaan Tuhan.

"Apa itu semua perkebunan milik Oma?" Tanya Dinda yang berseru senang.

Bi Pipin mengangguk dengan semangat, kala melihat majikannya tertarik.

"Ya. Awalnya Bu Retno yang mencetuskan ide tata letak tanaman sayur dan buah-buahan, lalu seperti inilah hasilnya."

Retno adalah nenek Dinda yang berasal dari Zinta, jika Retno sangat menyukai alam dan kesederhanaannya, sangat berbeda sekali dengan Zinta yang ingin selalu tampil elegan dan memukau. Hal inilah yang membuat Zinta mengabaikan peninggalan ibunya, ia tidak minat mengurus perkebunan dan lebih suka dunia fashion yang mewah.

Kebun milik Oma tidak terlalu luas, hanya saja dapat membantu orang-orang sekitar puncak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan karena telah mempekerjakan mereka.

"Bi Pipin, ajarkan aku berkebun." Matanya berbinar dengan tatapan memohon, Pipin yang ditatap seperti itu merasa tidak enak karena sang majikan memohon padanya.

"Non Dinda tidak perlu memohon seperti ini, tentu saja saya akan mengajari anda. Kita bisa memulainya besok, sekarang Non harus makan terlebih dulu lalu setelahnya beristirahat." Pipin berkata panjang lebar, lalu meletakkan berbagai macam makanan ke meja makan.

Dinda hanya mengangguk karena Pipin yang mulai cerewet dengan ucapan panjang lebarnya.

"Kenapa sebanyak ini?" Ia menatap menu makanan yang cukup banyak tersaji.

Sepiring oseng udang, semangkuk tumis wortel,beberapa potong ayam goreng, dan juga ikan nila bakar. Dinda bergidik melihatnya, oh ayolah ia belum ingin menaikkan berat badan.

"Hehehe.. ini kan perdana untuk menyambut kedatangan Non." Bi Pipin kalau ngelawak suka garing, perut Dinda yang kecil mana mampu memuat semua makanan itu.

"Panggil Mang Komar dan pekerja kebun, kita makan bersama."

Perkataan Dinda mampu membuat Pipin melongo sejenak, ia menelisik ekspresi Dinda. Sangat diingatnya dengan segar, Dinda beberapa tahun lalu adalah anak manja yang sangat arogan, bahkan ia tidak segan-segan memarahi para pelayan yang kedapatan menyentuh kulitnya walaupun itu tak sengaja.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Dinda mendongak menatap Pipin, segera Pipin meneguk ludahnya susah payah.

"Ohh ehh! Tidak apa-apa, Non." Jawab Pipin dengan cengo.

"Cepat panggil mereka, ajak makan bersama." Ujar Dinda lagi, buru-buru Pipin lari tunggang langgang sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

Sebenarnya Dinda mengerti ekspresi yang ditunjukkan Pipin, ia tersenyum miris. Dinda yang dulu memang sangat manja dan arogan, ia bahkan sering berteriak marah kala pelayannya berbuat kesalahan walau hanya sedikit. Ia tidak mau disentuh siapapun, bahkan untuk berjabat tangan pun ia ogah.

Namun, Dinda yang sekarang adalah seorang gadis yang berpikiran dewasa dan sebisa mungkin untuk bijaksana, bergaul dengan Ara dan Aris mampu membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik, ia bersyukur karena ke dua sepupunya ada untuk memperbaiki sifat Dinda di masa lalu.

Semua pekerja kebun sudah berkumpul dimeja makan, sekitar sepuluh orang pekerja menatap Dinda dengan pandangan bertanya-tanya, itu karena mereka tidak mengenal sang majikan.

"Beliau adalah Non Dinda, cucu dari mendiang Bu Retno." Pipin berniat menjelaskan kebingungan mereka.

Orang-orang seketika merasa tak enak hati.

"Ah tidak perlu sungkan, silahkan dinikmati makanannya." Dinda mengulas senyum terhadap pekerja kebun, semuanya terperangah akan sikap murah hati sang majikan.

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

INDRA MATA BATINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang