Aiden membawa Mia ke pinggir alun-alun yang lebih sepi dan agak gelap karena rimbun oleh pepohonan. Aiden berbalik untuk memandang Mia. Cewek itu tidak dapat melihat ekspresi Aiden dengan jelas karena keadaan sekitar remang-remang. Topi berhiasan bulu Enggang di kepala Aiden sudah tidak ada.
"Om ngajak saya mojok gini ngapain dah?" Protes Mia.
"Supaya kita bisa ngobrol lebih nyaman."
"Saya nggak nyaman. Muka om nggak keliatan."
Aiden maju dua langkah. Langkahnya terlalu lebar bagi Mia. Kini sosok Aiden hanya berjarak beberapa senti darinya. Mia jadi harus mendongak kalau ingin memandang wajah cowok itu. Tingginya hanya sebatas dada Aiden. Ekspresi bule itu agak sulit ditebak. Mia menelan ludah karena mencium aroma familiar Aiden yang masih sama seperti saat pertama kali mereka bertemu di Swiss.
Aquatic, woody, spicy, bergamot...
"Saya tau harusnya saya nggak boleh ikut campur seperti tadi. Tapi saya nggak suka lihat kamu merokok, merusak tubuhmu sendiri." Suara Aiden membuyarkan lamunan Mia tentang parfum. Nadanya tenang namun tajam.
Mia mengangguk saja. Kepalanya kurang fokus kalau sedang ngobrol dengan jarak sebegini dekat. Jantungnya berdegup kencang. Dengan tubuh Aiden yang setinggi ini, Mia bisa gelayutan seperti monyet di lehernya. Aiden pasti kuat mengangkat tubuh Mia. Toh bebannya tidak berat. Dulu waktu di Swiss, Aiden betah-betah saja menggendongnya di belakang punggung.
"What are you thinking (Kamu mikirin apa)?"
"Monyet gelantungan-" Bisik Mia dengan tatapan fokus ke wajah Aiden. Begitu sadar apa yang ia ucapkan, Mia buru-buru menggeleng. "Om tadi bilang apa?"
"Kamu mikirin apa sampai jadi perokok begini?" Untung Aiden tidak mendengar.
Mia mengernyit. "Sebelumnya om nggak masalah saya ngerokok."
"Saya belum pernah lihat kamu merokok sampai tadi. Kamu kan calon dokter, seharusnya mengerti akibat dari gaya hidup kamu yang nggak sehat ini."
"Kok om jadi ngatur-ngatur saya, sih?" Mia mulai sewot.
"Saya nggak mengatur. Saya hanya menunjukkan rasa kecewa saya." Aiden menghela napas berat. "Kamu nggak lihat banyak anak kecil di sini?"
"Terus apa hubungannya sama saya?"
"Mereka lihat kamu." Jawab Aiden. "Pernah berpikir kalau kamu nantinya akan dijadikan contoh oleh mereka? Cewek saja bisa merokok, kenapa mereka tidak? Saya lihat Indonesia tidak terlalu ketat dalam mengatur siapa saja yang boleh merokok. Bea cukainya saja murah."
"Kok jadi ngurusin bea cukai rokok, sih?"
"Bukan begitu. Saya hanya menunjukkan rasa-"
"-kecewa om. Oke, saya udah dengar tadi." Potong Mia mulai jengah. "Kita lagi ngapain di sini? Bahas rokok?"
Aiden menggeleng. "Tadinya saya mau nanya kenapa kamu ada di sini?"
"Di Sampit maksudnya? Ini kampung mamah saya. Sekarang jadi kampung saya juga. Permanen tinggal di sini."
"Bukannya kamu tinggal di Jakarta?"
"Kemarin-kemarin iya. Ikut tugas abah saya. Sekarang udah pensiun, jadi milih tinggal di sini. Di Jakarta cuma rumah dinas."
Aiden memandangya sebelum bergumam, "Interesting (Menarik)." Ia manggut-manggut. "Sepertinya ini memang takdir."
Mia mengangguk setuju. "Terus kalo takdir emang kenapa om?"
"Jadi besok kamu bisa menemani saya."
"Eh? Jangan ambigu, om! Otak saya sering mesum kalo arah pembicaraannya ambigu."
KAMU SEDANG MEMBACA
trouble [selesai]
RomanceMia, si dedek koas yang terpaksa jadi sugar baby demi membiayai cita-citanya buat jadi dokter spesialis forensik. Ini gara-gara dia nekat menolak dijodohkan di kampung hingga membuat orangtuanya mogok membiayai sekolah. Aiden, si om-om bule dengan l...