"Emang cara nyapa orang di sini seakrab itu, ya?" Mia tidak bermaksud nyinyir, tapi hatinya panas juga melihat Aiden seenaknya peluk-cium cewek lain di depan matanya.
Aiden menarik kursi di depan Mia. Ia mengangguk singkat, "Kalo kamu nggak suka, saya nggak akan melakukannya lagi." Bentuk sapaan yang dilakukannya dengan Jodie tadi adalah bentuk yang paling umum di Alois. Aiden menganggap kalau Mia hanya perlu waktu agar jadi lebih terbiasa. Toh Mia nanti juga akan terikat dengan tempat ini serta budayanya. Aiden sengaja memilih untuk mengalah dulu daripada ribut.
"Oke, jangan begitu lagi!" Mia melipat kedua tangan di atas meja. Ia menatap Aiden dengan ekspresi cemberut.
Aiden hanya bisa mengulum senyum melihat wajah Mia yang kelihatan imut jika sedang kesal karena cemburu begini. Ia menoleh ke arah dinding kaca yang membatasi kafe dengan laut. Bangunan kafe ini berada di sebuah ceruk gua yang ada di tebing batu. "Kalau sore pemandangannya lebih bagus. Bisa lihat matahari terbenam dari sini."
"Besok saya pengen jalan-jalan seharian."
Aiden menatapnya penuh pertimbangan, "Kamu harus istirahat besok. Sejak di pesawat sampai sekarang kamu belum tidur sama sekali."
"Kok tau?"
"Saya merhatiin kamu terus bergerak gelisah waktu di pesawat."
"Saya tegang mau ketemu sama keluarga om."
"Setelah ketemu bagaimana?"
"Nggak semenakutkan yang saya kira." Mia tersenyum lebar. Dia senang karena tiba-tiba diajak kencan tengah malam begini oleh Aiden. "Lagipula, masa jadi tamu di istana orang bisa seenaknya bangun siang? Nggak mungkin, kan?"
Aiden hanya tersenyum tipis. Saat ini kepalanya tidak benar-benar mencerna apa yang dikatakan Mia barusan. Ia sibuk mencari solusi atas kegelisahannya. Aiden mencondongkan tubuh ke depan. Mimik mukanya serius. "Kita mau menikah dimana?"
"Di Sampit bukannya?" Mia bingung. Dia baru ingat kalau masalah sepenting ini belum pernah mereka bicarakan.
"Syarat ngurus pernikahan di sana, saya harus jadi WNI atau bersedia menunggu karena butuh waktu panjang untuk mempersiapkan segala dokumennya. Saya nggak punya waktu sebanyak itu, apalagi hanya demi mengurus pernikahan."
Mia menggigit bibir bawahnya, makin bingung. Sepertinya dia bisa menebak arah pembicaraan Aiden.
"Tadi saya bicara dengan Bastien. Dia mengharapkan sesuatu dari saya. Sesuatu yang besar, dan mungkin kamu nggak akan suka." Aiden melanjutkan.
"Hal besar?"
Aiden memandangi permukaan meja saat menjawab, "Bastien ingin pensiun. Claire juga. Kesehatan mereka memburuk." Ia merasakan tenggorokannya tercekat, "Bastien mengalami cedera syaraf tulang belakang waktu dia umur sepuluh tahun. Sedangkan Claire... dia punya penyakit tuberculosis sejak muda. Kedua orangtua mereka-pun meninggal karena penyakit yang sama." Aiden memberi jeda untuk dirinya sendiri dengan menghela napas berat. Ini kali pertama ia membuka diri pada orang lain. Tapi Mia bukan sekedar orang lain baginya. Ia mengangkat kepala dan mendapati Mia sedang menatapnya tanpa berkedip, "Kelihatannya banyak orang berharap agar saya menggantikan sepupu saya."
"Apa?" Mia berharap kalau dia salah dengar.
"Satu-satunya Pangeran di garis keturunan saat ini selain Bastien adalah saya."
"Alois nggak bisa dipimpin sama Putri? Mamanya om misalnya?"
"Belum pernah terjadi hal semacam itu, chéri."
Mia menunduk, otaknya sibuk mencerna keadaan. Aiden memberinya waktu untuk merespon. Dia sendiri sudah cukup gelisah dengan keadaannya, dan sekarang ia cemas dengan respon Mia. Keheningan di antara mereka terasa sedang meremas jantung Aiden.
KAMU SEDANG MEMBACA
trouble [selesai]
Storie d'amoreMia, si dedek koas yang terpaksa jadi sugar baby demi membiayai cita-citanya buat jadi dokter spesialis forensik. Ini gara-gara dia nekat menolak dijodohkan di kampung hingga membuat orangtuanya mogok membiayai sekolah. Aiden, si om-om bule dengan l...