24 | KEHABISAN KATA-KATA

51.7K 7.2K 452
                                    

"Nganter saya dulu emang om nggak telat ke kantornya?" Tanya Mia saat mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit.

"Saya yang punya perusahaan."

Oh iya benar juga.

"Banyak yang perlu saya omongin sama om. Saya bingung mulai darimana dulu."

"Take your time (Santai)." Sahut Aiden tanpa menoleh. Mereka terjebak macet. Sesekali Aiden melihat jam tangan. Kelihatannya dia ragu mau buru-buru atau tidak.

Mia memilih pertanyaan pertama yang akan ia ajukan, "Gimana caranya om bisa bikin Doni dimutasi?"

Aiden menoleh padanya sekilas, "Saya hanya menyuruh Alan. Dia melacak lokasi sinyal terakhir hp kamu sebelum rusak. Lokasinya ada di dekat rumah kamu. Dia mengirim orang kesana untuk menyelidiki. CCTV-nya diambil sebagai bukti. Sisanya kamu tanya Alan."

Yah, berarti Aiden tahu kalau hp Mia rusak kemarin. Kenapa dia tidak bertanya macam-macam?

"Ada kenalan petinggi, om?" Bisik Mia, penuh konspirasi.

Aiden mengangguk singkat, "Saya juga kenal presiden kamu. Beberapa kali pernah kunjungan ke Alois."

Widiiihhh. Mia hampir lupa kalau Aiden bukan bule kaleng-kaleng.

"Jadi kemarin minta tolong pak presiden??"

"Nggak. Menteri Pertahanan yang menjabat sekarang kenalan baik Alan. Mereka dulu teman kuliah waktu di Jerman. Alan hanya minta tolong agar kasus Doni dan kamu diselidiki dengan bekal bukti kamera CCTV. Sebenarnya hanya itu yang Alan lakukan. Saya bahkan hampir tidak melakukan apapun."

Mia tersenyum tipis, "Hampir." Ia manggut-manggut. "Tapi satu kata dari om bisa membuat pak Alan melakukan segalanya." Cewek itu mengacungkan satu jempol untuk Aiden. "Makasih."

Aiden menggeleng, "Sebenarnya saya kurang puas."

"Saya tau kalo om pengen mukul Doni juga." Mia menepuk-nepuk paha Aiden, "Udah saya wakilin kemarin." Lanjutnya.

Aiden menyentuh tangan Mia. Tidak. Bukan hanya menyentuh, tapi juga menggenggamnya. Salah. Ternyata bukan hanya digenggam, melainkan dicium juga. Bahkan setelah dicium, Aiden tetap menggenggamnya. Padahal memandang Mia-pun tidak.

Kalau Aiden sering memperlakukannya begini, lama-lama jantung Mia bisa bocor. Kebanyakan mompa darah. Gara-gara kasmaran, nih.

Mia menelan ludah. Pandangannya kembali ke depan, ke arah mobil box yang terus memuntahkan asap hitam dari knalpotnya. Untung Mia ada di dalam mobil, kena AC. Coba kalau dia naik motor, badannya bisa bau asap.

Tunggu, ini hanya pengalihan agar Mia tidak terlalu fokus pada seseorang yang sedang menggenggam tangannya. Aduh, kapan macetnya kelar?

"Kamu nggak nanya masalah pernikahan?" Tanya Aiden tiba-tiba.

"Kenapa emang?" Maklum, otak Mia belum baikan. Jadi dia tidak mengerti maksud pertanyaan Aiden barusan.

"Saya tadi lamar kamu di depan orangtuamu. Nggak ingat?"

Mia baru sadar. Ia menarik tangannya dari genggaman Aiden. Kekesalannya terbit lagi.

"Nah, itu gimana?? Saya nggak mau nikah sama om!" Suara Mia meninggi. Sensi betul dia karena tiba-tiba dilamar tanpa janjian dulu.

"Kenapa?"

"Kenapa?" Ulang Mia. "Serius om nggak tau?"

Aiden menggeleng.

"Budaya dan kebiasaan om nggak akan bisa nyatu sama saya."

"Yang mana, chéri?"

"Om penganut ajaran 'hubungan terbuka'. Saya penganut monogami. Om nggak bisa jadi imam saya. Kalo saya nikah sama om, bisa-bisa kita masuk neraka sambil bergandengan tangan. Terus nih, om kan bangsawan. Setau saya nikah sama bangsawan itu ribetnya nggak ngotak. Nggak deh, makasih. Walopun saya cinta sama om, mending saya ngebut mundur daripada pusing sama keribetannya!" Tahu-tahu Mia sudah nyerocos tanpa spasi.

trouble [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang