Chapter Seven

143 22 135
                                    

[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]

***

Demi apa pun, Helios kira Helcia akan menyetirkan mobil ke tempat jauh, paling tidak sampai keluar San Francisco. Namun, dugaannya salah. Ternyata, mobil mengilap Helcia hanya berhenti di jalanan sepi Lyon Street.

Mata hazel Helios menatap gedung menjulang di depannya. Bangunan itu tampak seperti gudang tak terpakai. Sarang laba-laba memenuhi langit atap. Debu tebal bersinggasana di setiap senti netra memandang.

Setelah memarkirkan mobil di balik semak belukar yang tinggi, Helcia berjalan santai ke arah pintu besar terbuat dari besi berkarat. Bahkan Helios yakin, gembok dan rantai yang meliliti pegangan pintu sudah tidak bisa dibuka.

Lagi-lagi argumen Helios terpatahkan karena Helcia hanya perlu mengeluarkan kunci perunggu dari sakunya, kemudian membuka gembok dengan begitu mudah. Ternyata warna gembok itu sengaja dibuat seperti karat.

Pintu terbuka, gadis berambut silver yang diikat knot ponytail itu tersenyum lebar dan berdiri sembari merentangkan tangannya. "Welcome to our home, Helios!"

Helios mengernyit, memeluk tasnya sendiri. Apa maksud Helcia? Rumah kita? Gedung kotor seperti ini? Seperti tahu apa yang ada di pikiran Helios, Helcia mengulurkan tangan kanannya, menawarkan sebuah tur singkat untuk menjelajah gedung itu.

Setelah melihat tangga di bagian kiri, Helios tebak gedung ini hanya terdiri dari tiga lantai. Ruangan bawah yang dia pijak benar-benar mirip dengan gudang. Sofa, meja, sampai jendela pun tampak tidak terurus meski masih bisa berfungsi dengan baik.

Manik Helios fokus pada dinding di depannya yang bertuliskan "HELL" dengan warna merah. Bau amis menguar, membuat sebuah pikiran buruk terbesit di pikiran Helios. Apakah tulisan besar itu terbuat dari darah?

Helcia mengajak Helios naik ke lantai dua. Melewati puluhan anak tangga yang cukup kukuh meski terlihat rapuh. Di lantai dua, Helios benar-benar melongo.

Lemari besi menjulang hampir memenuhi seluruh bagian dinding. Meja panjang yang sering Helios lihat dalam tugas laporan Helcia tampak diletakkan tepat di tengah ruangan, berjejer dengan brankar khusus dengan hiasan lampu operasi besar.

Helcia melepas cekalan tangan mereka, membiarkan Helios mengeksplorasi ruangan pribadi penuh rahasianya. Kaki Helios melangkah perlahan, menyusuri inci demi inci ruangan yang hanya bercahaya lampu itu. Sinar matahari sama sekali tidak terlihat.

Helios membuka salah satu lemari besar. Terpampanglah ratusan botol obat-obatan. Ada yang berbentuk pil, cair, bahkan bubuk. Sebagai anak farmasi, Helios paham sekali apa yang sedang dilihat.

Kemudian, Helios beralih ke sebuah peti yang di dalamnya terdapat ... astaga! Mesin pemotong kayu, gergaji, palu, pisau, alat kejut listrik, dan banyak perkakas lain terkumpul dalam satu peti.

Pisau bedah berbagai ukuran dan jenis tersimpan rapi di atas meja besi. Tumpukan sarung tangan khusus terlihat menggunung. Mulai dari jarum suntik sampai jarum jahit tersusun rapi di loker.

Setelah puas melihat alat-alat aneh yang ada di sana, mata Helios menatap sebuah kotak besi yang paling besar; sebuah lemari pendingin. Bukan kulkas seperti milik ibunya, melainkan mirip dengan yang ada di fakultas kedokteran.

Ketika tangan Helios terulur untuk meraih kenop lemari pendingin, Helcia menahan gerakan lelaki tersebut. "Untuk yang satu ini, belum saatnya kamu tahu, Lios."

Helios ditarik untuk naik ke lantai tiga. Kening lelaki itu mengernyit. Lantai atas ini seperti rumah pada umumnya. Ada dua kamar tidur dan kamar mandi yang bersih serta layak pakai terpampang di hadapannya. Persis seperti yang ada pada apartemen Helcia, terdapat bath up, shower, dan kloset. Dia rasa aneh sekali melihat ruangan nyaman di sebuah gedung tua.

"Ini rumah kita," ujar Helcia.

Helios kembali menelisik sekitar. Tidak ada televisi ataupun hiburan lain. Hanya ada sebuah gitar cokelat yang tergeletak manis di atas sofa.

Tebakannya salah lagi, ternyata masih ada tangga kecil di ujung ruangan. Helcia yang melihat Helios sedang memperhatikan undakan tersebut segera bertanya, "Mau ke atas?"

Helcia memimpin jalan. Helios membuntut sembari menundukkan kepalanya karena atap begitu rendah. Manik hazel Helios berbinar. Inilah ruangan favoritnya di gedung tua yang Helcia sebut sebagai rumah mereka. Sebuah loteng dengan satu jendela bulat itu terlihat menawan. Dua kursi bantal dan sebuah meja mini berada di dekat jendela.


"Helcia, gedung apa ini?" tanya Helios setelah diam selama setengah jam.

"Rumah kita." Jawaban yang sama. Helios menghela napas, Helcia masih menutupi sesuatu. "Ayo turun. Loteng lebih indah ketika malam, Lios."

Kembali ke lantai tiga, Helios merebahkan badannya ke kasur setelah merapikan pakaian di lemari yang sudah tersedia.

Baru saja hendak memejamkan mata, suara Helcia seketika terdengar. "Lios, kamu di sini saja, ya? Aku mau beli camilan untuk nanti malam!"

Penasaran dengan nada buru-buru Helcia, Helios segera bangkit, membuka pintu kamar. "Mau ke mana?"

Bukannya menjawab pertanyaan pacarnya, Helcia justru mencium cepat pipi kiri Helios. "Bye!" Wajah Helios memerah, dia masih tidak terbiasa dengan sikap tiba-tiba Helcia.

Gadis tersebut segera turun, meniggalkan Helios yang memilih duduk di sofa empuk berwarna putih. Dia kaget karena dirinya justru menduduki sebuah benda pipih. Helios meraih ponsel Helcia yang masih hidup layarnya.

Panggilan tak terjawab dari Tyson. Lelaki itu mencengkeram ponsel. "Siapa Tyson?!"

Ah, dasar pemuda kasmaran.

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Chapter Seven is done! Wait next chapter for another cuteness.

Uhuk, udah ketebak kali, ya, ke depannya bakal gimana. Jadi ... next?

TTD,
Pecinta husbando 2D
maylinss_ dan Michika213

HELL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang