Chapter Eleven

111 21 125
                                    

[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]

Happy reading and enjoy your time!❤️

***

Tangan lentik Helcia membuka dompet milik target yang masih tak sadarkan diri itu. "Namanya Carol," gumamnya.

Tak lama setelah pengecekannya selesai, Helcia meraih ponsel dan menghubungi kontak bernama 'Zack'. Dering pertama berbunyi, kemudian telepon segera beralih menjadi komunikasi dua arah.

"Hello, Zack. Aku punya–"

"Aku butuh ginjal malam ini."

"Bertemu di man–"

"Orang kami akan datang ke gedungmu."

Tut, tut, tut ....

Telepon dimatikan sepihak oleh Zack, membuat Helcia mencebik kesal. Kalau saja lawan bicaranya tadi bukanlah orang penting, pasti sudah sejak dulu dia bunuh.

Dengan asal Helcia lempar ponselnya yang untung saja mendarat mulus di meja instrumen. Wow, how lucky! Namun, sayang, Helios tidak sempat memedulikan ponsel Helcia yang selamat, dirinya sibuk mematung seraya berdiri. Carol terbaring lemah tanpa perlawanan lagi. Sudah satu jam dirinya berusaha kabur, tetapi tidak kunjung membuahkan hasil.

Tatapan mata Carol terlihat memohon pada Helios. Air mata yang keluar menggetarkan hati lelaki itu. Di sisi lain, Helcia berdiri di seberang meja operasi, menunggu dirinya memulai aksi. Helios meneguk ludahnya. Astaga, apa yang harus dia lakukan?

"Lios ...."

Panggilan Helcia membuat tangan Helios melayang di atas perut Carol. Tangannya gemetar hebat, tidak ingin melakukan perbuatan keji tersebut. "Helcia, kumohon ... aku akan lakukan apa pun, tetapi--"

Raut senang Helcia berubah seketika. "Apa pun, 'kan?"

Baiklah, sepertinya tidak ada pilihan lain. Lagi, dengan gerakan yang patah-patah, Helios tekankan pisau bedah ke perut Carol. Oh, ayolah, bahkan dia tidak mengerti sama sekali cara mengoperasi.

Tangan Helios berhenti bergerak. Dirinya menatap Helcia penuh harap. "Aku beri dia anestesi, ya?" tawar Helios.

Tidak menjawab, Helcia justru mendekapkan kedua tangannya, memasang tampang datar. Shit, Helcia sudah marah. Helios tidak ingin hal itu terjadi. Lalu, detik berikutnya ....

"AAARGH!"

Raungan keras Carol beserta darah yang mengalir keluar membuat tubuh Helios bergetar. Dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan kegiatan ini. Helcia mulai menuntun Helios untuk mengoperasi, apa yang harus dilakukan dan alat apa saja yang digunakan. Helios melakukan semuanya dengan hati yang berat.

Jeritan Carol membuatnya frustasi, Helios menyumpal mulut gadis itu menggunakan sarung tangan yang sudah berlumuran darah. "BERISIK! JANGAN BERTERIAK LAGI!" seru Helios.

Setelah mengambil sarung tangan baru, Helios kembali melakukan instruksi yang diarahkan pacarnya. Keringat membasahi dahi, tubuh panas-dingin. Melihat darah sebanyak ini adalah kali pertama setelah kejadian hari itu. Sial, sial, sial! Kenapa harus teringat di saat yang tidak tepat?!

Seolah tahu apa yang ada Helios pikirkan, senyum Helcia terukir masam. Ia tahu betul alasan di balik ketakutan lelaki itu pada darah. "Lios, Hellena tidak pernah menyalahkanmu. Jangan pikir lagi tentang--"

"Diamlah, Helcia, katakan saja apa yang harus kulakukan," lirih Helios. Meski sedikit tidak suka dengan penuturan Helcia, dirinya tidak ingin sampai membentak gadis tersebut.

***

Empat jam berlalu tanpa suara dari Carol. Untuk pemula seperti Helios, ini merupakan waktu cukup singkat. Ternyata nyawa Carol sudah tiada sejak tadi karena darah yang keluar terlalu banyak. Helios berusaha mengenyahkan pemikiran itu dari kepalanya, yang terpenting sekarang adalah menuruti Helcia.

Setelah Helcia mengantongi dua benda incarannya, Helios terduduk di lantai besi yang dingin. Segera dia lepaskan dua sarung tangan yang melekat di jemari kejinya.

"Kamu mau ikut membuang Carol atau di rumah saja?" tanya Helcia.

Helios mendongak. "Tidak bisakah kita mengambil organ lain dari tubuh Carol? Mungkin Zack membutuhkannya besok," tawar Helios. Bukan apa-apa, dia hanya tidak ingin ada korban lagi yang dibunuh.

"Aku tidak suka mengoperasi orang mati. Lain kali tidak perlu menyumpal mulut korban, jeritannya jadi tertahan. Aku suka mendengar rintihan mereka. Kamu paham?"

Pertanyaan Helcia tak Helios indahkan. Lelaki itu berjalan gontai ke lantai tiga. "Aku mau mandi, kemudian tidur. Kamu bisa membuangnya sendiri, Helcia?"

Helcia mengangguk meski Helios tak dapat melihatnya karena lelaki itu terus berjalan naik. "Ada makanan di dapur kalau kamu lapar. Aku akan kembali secepatnya."

Helios membanting pintu kamar mandi, menyalakan shower hingga air yang keluar begitu deras. Bajingan! Dirinya benar-benar seorang bajingan. Kenapa sampai seperti ini? Kenapa harus membunuh orang? Argh!

Rasa sesal dan bersalah kian menyelimuti Helios. Demi apa pun, dirinya ingin mati saja! Ujung mata Helios mendapati silet yang ada di dekat westafel.

Diraihnya benda tipis tersebut, kemudian diarahkan ke lengan. Helios mengerang pelan. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah gelengan kepala dan sebuah ucapan. "Ini belum seberapa. Ricky dan Carol pasti lebih kesakitan dan menderita. Aku pantas mendapatkannya, 'kan?"

Lima siletan tergores cantik di lengan kanan Helios. Bersamaan dengan cairan merah yang mengalir bersama air dari shower, bulir dari matanya pun turun, seolah tak ingin ketinggalan. Apakah dia salah? Helios hanya ingin setia dan melakukan segalanya demi Helcia, the first love and only.

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Chapter Eleven is done! Wait next chapter for another cuteness.

CINTA ITU BUTA DAN TULI~
— Lagu anak zaman doeloe😗

TTD,
Pecinta husbando 2D
maylinss_ dan Michika213

HELL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang