Chapter Sixteen

79 14 53
                                    

[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]

Happy reading and enjoy your time!❤️


***

Sebuah plang di atas bangunan berlantai dua itu membuat Helios sedikit ragu. Ia tidak percaya diri untuk bermain gitar, takut ditertawakan karena dirinya sama sekali belum tahu apa-apa. Setelah beberapa kali mengembuskan napas panjang memantapkan diri memasuki bangunan itu, Helios mulai melangkah.

Begitu masuk, jajaran gitar terpampang di sisi kiri dan kanan dinding. Mulai dari jenis akustik dengan ukuran berbeda sampai gitar listrik berbagai bentuk.

"Hello!" sapa seorang perempuan paruh baya yang menghampirinya dengan senyuman.

"H-hai," balas Helios terbata.

"Tidak perlu gugup, santai saja. Dengan Helios Istvan, bukan?" Helios mengangguk, masih mencoba menetralisir rasa gugupnya. Kebiasaan lama, setiap masuk lingkungan baru ia akan selalu gugup dan takut sendiri.

Perempuan paruh baya itu berjalan ke sudut ruangan sambil menenteng salah satu gitar berwarna merah.

"Duduk sini! Kamu bisa memanggilku Mrs. Campbell, aku yang akan mengajarkanmu bermain gitar," sahutnya ceria. Entah kenapa perempuan itu selalu saja tersenyum senang. Hal itu membuat Helios sedikit tenang.

Ia kira kursusnya akan digabung bersama orang lain, tetapi perkiraannya salah. Di sini, setiap murid akan didampingi satu orang yang sudah ahli.

Mereka duduk lesehan, Mrs. Campbell mulai mengajarinya cara struming yang benar, memegang gitar, juga kunci-kunci dasar. Helios memperhatikan semuanya dengan saksama, lalu mencoba-coba pada gitar putih yang ada di pangkuannya. Ketika senar dimainkan, suara yang keluar memang belum terlalu merdu, tetapi terdengar lebih baik dari kemarin.

***

Dengan semangat membara, Helios rutin datang ke tempat kursus. Belajar bersama Mrs. Campbell terasa menyenangkan, perempuan itu selalu bercerita tentang kehidupannya dengan selera humor yang bagus, menjadikan belajar gitar tidak terlihat berat.

Ah, Helios jadi ingat bahwa akhir-akhir ini jarang bertemu Helcia. Namun, ia ingin bisa bernyanyi untuk Helcia diiringi alunan gitar dari jemarinya sendiri. Helios senyum-senyum sendiri membayangkan ia bernyanyi di hadapan Helcia, mungkin akan terlihat keren.

"Apa kamu sedang jatuh cinta, hm?" goda Mrs. Campbell membuat Helios jadi malu sendiri tertangkap basah sedang tertawa tidak jelas. Helios pura-pura sibuk dengan gitarnya, tidak berani menatap Mrs. Campbell. "Jadi, kamu ingin belajar gitar untuk gadismu?"

Mendengar pertanyaan Mrs. Campbell membuat Helios mengangguk malu-malu. Mrs. Campbell tertawa, ternyata lelaki ini sangat cinta pada pasangannya, ia jadi gemas sendiri.

Wanita itu menatap jendela di sampingnya, pandangannya menerawang. "Ah, jika putriku masih hidup, mungkin ia sedang mabuk cinta sepertimu."

Helios yang tertarik akan putri Mrs. Campbell, segera bertanya, "Memang putrimu ke mana? Aku tidak pernah melihatnya." Bisa saja, 'kan, dia juga pandai bermain gitar?

"Dia sudah tiada," jawab Mrs. Campbell sendu.

Helios merasa bersalah menanyakan itu, ia merutuki rasa ingin tahunya yang berlebihan. "Maaf," cicit Helios.

Mrs. Campbell menggeleng. "Dia sudah tenang di sana. Aku bersyukur pernah punya anak sebaik Rea."

Jleb!

Helios terhenyak. Rea? Ia tidak salah dengar? Jangan-jangan ... tidak mungkin! Mustahil sekali jika anak Mrs. Campbell adalah Rea yang tempo hari ia bunuh, 'kan?! Ayolah, San Franscisco begitu luas untuk sebuah kebetulan tidak lucu seperti ini.

Mre. Campbell kembali berucap, "Aku rindu mengelus rambut pirangnya."

Wanita sebaik dia, yang telah mengajar dengan tulus dan selalu memberi senyuman, tetapi ternyata ... ia yang telah membunuh putri Mrs. Campbell. Sial, sesak dan sesal mulai menghantui benak Helios. Tolong, ampuni aku! jeritnya dalam hati.

"Mrs. Campbell, aku ada urusan mendadak. Sepertinya tidak berlama-lama lagi di sini," ujar Helios bangun dari duduknya.

"Eh, kenapa tiba-tiba? Baiklah, jangan lupa sering kemari! Anggap saja rumah sediri karena aku sudah menganggapmu seperti anak laki-lakiku, Helios." Mrs. Campbell memeluknya, membuat semakin merasa bersalah.

Sungguh, ia tidak kuat untuk melihat wajah perempuan itu lagi. Helios berjanji tidak akan kembali ke tempat kursus tersebut. Laki-laki itu memasuki mobil yang ia pinjam pada Denial, kemudian dengan perasaan bercampur aduk, tangannya memukul kemudi dengan keras, tak peduli jika akan meninggalkan memar merah di tangan.

Melihat senyuman Mrs. Campbell yang merupakan ibu Rea, membuat hati Helios teriris. Bayangan tangis para keluarga korban saat tahu anaknya telah tiada, juga teriakan orang-orang yang telah ia bunuh memenuhi otak. Kepalanya serasa akan pecah akibat berkali-kali dibenturkan ke setir mobil.

Rasa pusing mulai mendera, tetapi Helios belum puas. Tangannya mengambil silet yang selalu disimpan di saku kemeja. Helios tidak bisa bepergian tanpa membawa benda tajam tersebut.

Napasnya memburu dengan dada naik-turun. Benda kecil itu menggores tangan kanan Helios dalam, membuat darah mulai mengalir dan perih terasa. Lagi, silet itu bermain mengukir tangannya, menyisakan jejak cairan merah yang kental dan luka sayatan membekas.

Ponselnya menyala, memperlihatkan lock screen dengan foto Helcia di sana. Hal itu membuat Helios merasa tenang sedikit, mood-nya membaik. Ah, Helcia. Ia ingat tujuannya belajar gitar untuk gadis itu.

Seketika, semua perasaan buruk yang tadi menggema di hatinya lenyap. Senyum Helios mengembang, memikirkan bagaimana reaksi Helcia nanti.

"Tunggu aku, Helcia."

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Chapter Sixteen is done! Wait next chapter for another cuteness.

Hehe.

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_ dan Michika213

HELL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang