Chapter Eighteen

70 14 56
                                    

[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]

Happy reading and enjoy your time!❤️

***

Tadi malam ia pulang ke rumah karena Helcia bilang ada urusan esok hari. Karena tak mau terjebak di gedung tua itu sendiri, Helios meminta Helcia agar mengantarnya pulang.

Helios yang bingung hendak melakukan apa memilih untuk jalan-jalan sebentar, refreshing. Jajaran mobil koleksi ayahnya memang bermacam-macam. Helios memilih mobil berwarna putih yang bersih mengilap.

Karena bingung hendak pergi ke mana, jadilah Helios hanya berputar-putar tanpa arah. Sementara di kiri-kanan jalanan penuh dengan toko dan kafe yang ramai dikunjungi anak muda.

Sebuah toko roti yang masih sepi menarik perhatian Helios, mungkin baru buka. Bel di atas pintu itu berbunyi kala didorong dari luar. Semerbak harum mentega dan roti memenuhi indra penciumannya. Helios suka bau ini.

"Permisi," ucap Helios membuat seorang perempuan paruh baya yang tadinya sibuk menata jajaran roti menoleh.

"Ah, maafkan aku. Tidak tahu kalau ada pelanggan datang. Selamat datang di Caroline Bakery," sambutnya dengan tersenyum lebar.

Hal itu menghangatkan hati Helios. Ternyata banyak orang ramah. Helios berkeliling, menatap jajaran roti yang tertata rapi, ia tidak terlalu lapar sebenarnya, tetapi mungkin menyenangkan juga mempunyai teman mengobrol.

Dengan secangkir teh melati dan roti bertabur gula di atasnya, Helios duduk di depan meja kasir, berhadapan dengan wanita tadi. "Kamu membuat aku teringat pada putriku," ucap perempuan paruh baya itu lirih.

Helios meringis, kalimat itu merupakan hal yang tabu di telinganya. Tolong jangan sampai dugaan Helios benar.

"Siapa nama putri Anda?" Dengan ragu Helios layangkan pertanyaan. Ia mencoba menutupi itu dengan menyeruput teh banyak-banyak.

"Sama seperti nama toko roti ini, Caroline. Sayangnya ia telah tiada. Dia gadis yang baik. Aku sangat merindukannya."

Helios tersedak, ia tercekat dugaannya benar. Segera lelaki itu bangkit sambil berucap, "Terima kasih untuk tehnya. Roti Anda enak sekali, maaf aku harus pergi ada urusan mendadak."

"Ah, baiklah. Jangan lupa mampir lagi!" seru ibu Carol saat ia berjalan terburu-buru meninggalkan toko roti itu.

Bukannya tenang, sekarang Helios justru semakin kacau. Lagi-lagi begini, ia dihantui oleh rasa bersalah yang nyata. Tidak mungkin, 'kan, perempuan paruh baya itu mau menemuinya lagi kalau tahu ialah pembunuh Carol.

Kesal, Helios membenturkan kepalanya ke jalanan aspal sepi, terduduk di sana. Sekuat apa pun Helios, mentalnya sudah hancur, tetapi pantang untuk seorang lelaki menangis.

Tangis tertahan justru menambah tekanan batin. Isi kepalanya kembali dipenuhi wajah para korban beserta suara teriakan mereka. Lagi, Helios menghantamkan kepala ke aspal. Takut jika ada orang yang melihat, Helios kembali ke dalam mobil untuk menenangkan diri.

Helios masih meratapi nasib, sebelum dering telepon berbunyi memecahkan keheningan. Tangannya yang penuh darah itu terulur mengambil telepon.

"Halo," ucap Helios dengan nada bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan penderitaannya, apalagi yang menelepon adalah Helcia.

"Lios, aku butuh dua ginjal yang masih segar, segera!" perintah Helcia langsung menutup sepihak telepon. Helios membanting teleponnya, mendengkus. Please, not again!

HELL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang