Chapter Twenty One

110 15 30
                                    

[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]

Happy reading and enjoy your time!❤️

***

Jantungnya berdegup tak normal pertanda gugup dan panik. Jarang-jarang seorang Helcia bersikap jauh dari kata tenang. Ketiadaan Helios menjadi pemicu utama. Gadis itu baru sadar membutuhkan Helios untuk keseimbangan hidupnya.

Seperti saat ini, Helcia justru memakai kaus lengan pendek ketika mengoperasi korban barunya. Dia benar-benar terlihat seperti amatir yang belum pernah memegang alat kedokteran.

"ANGKAT TANGANMU!"

Suara pelatuk ditarik terdengar bersahutan, seirama dengan pisau bedah yang terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai besi. Kepala Helcia tertoleh ke belakang, dahinya langsung menyinggung ujung pistol. Netra beriris biru safir itu seolah hendak keluar, bersamaan dengan kelopak mata melebar.

"IKUT KAMI!"

Helcia memberontak, berusaha melepaskan cekalan salah satu aparat. Tangan kirinya meraih pisau bedah yang jatuh tadi, kemudian ditancapkan ke paha polisi berpistol tersebut.

"ARGH!"

Tiga orang lain segera mendekat, dengan cepat meringkus Helcia yang tidak banyak bergerak karena lelah dan tidak makan selama beberapa hari. Tangan gadis itu diborgol, mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.

"YOU CAN'T–"

Dor!

Sebuah pistol melepaskan peluru ke langit-langit gedung, menginterupsi seruan Helcia. Dengan empat senapan teracung ke arahnya, kabur pun rasanya percuma. Helcia menggeram marah. Kenapa dia lengah tidak mengunci pintu utama? Mengapa telinganya seolah mati fungsi karena tidak mendengar langkah kaki mendekat?

"Siapa yang melaporkanku?" tanya Helcia.

Laki-laki berpenjalin lebih lebar menjawab, "Helios Istvan, ditambah dukungan dari pernyataan Zack Ryder."

Hati Helcia seakan teremas, sesak sekali. Kenapa ... Helios begitu tega melaporkannya? Kemudian, polisi benar-benar membawa Helcia yang sudah pasrah. Jika betul dia ditangkap karena laporan Helios ... untuk apa gadis itu bebas, 'kan?

***

"Helios."

Laki-laki yang memakai pakaian serbaputih menoleh, menatap sosok berseragam polisi. Segera Helios palingkan wajahnya dari Raymond yang semakin mendekat.

"Saya tahu kamu tidak gila. Maka dari itu, kamu akan saya bebaskan dari tempat ini," celetuk Raymond.

Tahu kalau tawaran itu tidak gratis, Helios menyahut, "Apa syaratnya?"

Raymond duduk di sebelah Helios, tak peduli jika lelaki tersebut merasa risi karena kehadirannya. "Mudah saja. Kamu hanya perlu mengurus mayat Helcia nanti. Untuk awak media, biar aku yang handle."

"MAYAT KATAMU?!" Seruan Helios mendapat kekehan kecil dari Raymond. "HELCIA MATI?!" jeritnya lagi.

"Kenapa histeris? Bukannya kamu yang melaporkan dia?" tanya Raymond.

Helios memilin ujung baju. Mungkin ini memang jalan yang benar. Semoga saja begitu. Iya, pasti tidak salah. Namun, meski begitu, tetap saja ada bagian dari dirinya tidak rela.

"Kamu bisa pulang nanti, aku sudah bicara dengan pihak rumah sakit jiwa. Oh, ya, jangan lupa besok ...." Suara Raymond dibuat gantung, sengaja memancing Helios agar menatapnya. "Kamu termasuk satu dari lima orang yang dipilih Helcia untuk ... menyaksikan proses eksekusinya."

Raymond berdiri, menepuk sekilas Helios yang tampak terguncang. Dia meninggalkan lelaki tersebut sendirian dengan ribuan pikiran buruk.

***

Hari eksekusi tiba. Helios sudah siap dengan kemeja berwarna hitam. Setelah diarahkan oleh petugas, dia berdiri di tempat khusus. Mata hazel Helios menatap seseorang yang terduduk dengan kedua kaki tertekuk, persis seperti orang Jepang ketika menghadiri upacara minum teh.

Melihat kedua tangan orang itu terborgol ditambah rantai yang melilit kaki beserta leher membuat Helios berusaha tidak goyah.

Di lain sisi, Helcia menundukkan kepala yang telah terbungkus kain hitam. Setelah merasakan dinginnya lantai penjara dan serangkai persidangan rumit, hakim memvonis sesuatu yang sudah Helcia tebak. Ah, memangny apalagi hukuman yang pantas selain ....

Helcia tak tahu apakah Helios-nya datang atau tidak. Kemarin dia diminta untuk menyebutkan lima orang yang akan menyaksikan proses eksekusi, terpilihlah: Helios dan orang tuanya, Mrs. Katy, serta Mrs. John.

Untuk pertama kalinya, rasa takut hinggap di hati Helcia. Bukan karena akan mati, tetapi dia takut tentang apa yang akan terjadi pada Helios ketika ia tiada. Ini juga kali pertama Helcia ... menangis.

Satu bulir air mata keluar dari kelopaknya. Andai dia tidak terobsesi membunuh dan terjun ke dunia pasar gelap, mungkin semua baik-baik saja. Jika Helcia bijak, Helios tidak akan masuk ke neraka buatannya yang sudah banyak memakan korban.

Rasa sesal sebab melimpahkan dosa kepada Helios mulai menghantui pikiran. Merintih pun percuma, tidak ada yang bisa menolong Helcia. Keputusan hakim sudah ditetapkan, bukti terkumpul, saksi siap menonton.

"EKSEKUSI ATAS NAMA HELCIA CANDACE AKAN SEGERA DILAKUKAN! HARAP TENANG SAMPAI AKHIR!"

Seruan tersebut terdengar lantang, menggetarkan tubuh Helcia. Apakah dirinya benar-benar akan mati hari ini? Bayangan Helios yang sedang memeluk Liel muncul. Dua sosok kesayangannya. Apa bisa melihat mereka lagi?

Tidak cukup sampai di situ, jeritan para korban menggema, nyaris membuat kepala pecah. Hati Helcia membisikkan sebuah kata sakral yang tidak pernah digunakan: maaf.

Sebelum peluru dari senapan laras panjang mengenai tubuhnya, sebuah teriakan dari suara yang familier terdengar.

"I LOVE YOU, HELCIA!"

Helcia senang bisa mendengar ucapan cinta terlontar dari mulut Helios untuk kali pertama di hari terakhirnya hidup. Dia tersenyum dengan kelopak mata menutup, bersamaan dengan sebulir air mata yang jatuh.

Satu pinta Helcia: siapa pun, tolong sampaikan rasa cintanya pada Helios, katakan betapa dia menyesal, ungkapkan rasa terima kasih atas segala sesuatu yang pernah lelaki itu beri.

Sekeras apa pun memohon diberi kesempatan, takdir tetap takdir. Penebusan dosa sudah dimulai. Helcia siap menerima, termasuk jika ia harus berpisah dengan Helios untuk selamanya.

Malaikat maut sudah bersiap di tempatnya ketika Helcia tersenyum mendengar ucapan cinta dari Helios. Sejurus kemudian ... pembalasan atas dosanya baru saja dimulai.

DOR!

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Chapter Twenty One is done! Wait next chapter in ... a book, UPS!

Ini chapter terakhir yang ada di Wattpad. Apa ini ending? Bukan. HELL belum ending.

Lalu? Kenapa ini merupakan chapter terakhir di Wattpad? Penjelasannya ada di Post-chapter, ayo, cek sekarang!

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_ dan Michika213

HELL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang