[WARNING! Cerita ini termasuk konten dewasa karena mengandung kekerasan. Dimohon bijak dalam membaca, ambil sisi positifnya.]
Happy reading and enjoy your time!❤️
***
For your information, aku udah bikin playlist di Spotify buat cerita ini. Namanya "HELL FOR US!🖤". Jangan lupa didengar waktu ada penggalan liriknya di cerita, ya! Atau bisa klik video yang ada di media ^^
Aku saranin kali ini kalian nyalain lagu mulai dari awal part, judulnya Grenade punya Bruno Mars, cek di playlist, atur ulangi satu kali.
***
Tubuhnya tremor, keringat dingin mengucur, bibir bergetar hebat. Rasa takut menggerogoti pikiran dan hati. Penyesalan, amarah, sedih, dan kecewa memiliki porsi yang lebih sedikit di benaknya. Meski Helios sudah menduga hal ini akan terjadi, ia tetap tidak menyangka akan benar-benar ditangkap.
Oh, ayolah, baru semalam ia melihat senyum manis Helcia, tetapi sekarang ... hanya pemandangan laki-laki berseragam biru tua dengan celana jalinan hitam.
Helios duduk di sebuah ruangan serbaputih. Puluhan pasang mata seolah menghakimi dirinya yang menunduk. Empat polisi berjaga di sekitar kursi. Satu orang berjalinan celana lebih lebar duduk sambil menatap Helios.
Di San Francisco, pangkat seorang polisi bisa dilihat dari jalinan di celana. Semakin lebar, jabatan yang dipegang juga lebih tinggi.
"Baiklah, saya Raymond, Kepala Kepolisian Sektor San Francisco. Meski sedang sibuk, saya menyempatkan diri menginterogasimu, Helios. Bisakah kamu menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan?"
Helios tidak menjawab. Ia sibuk menarik napas karena dadanya terasa terimpit. Bunyi sirine di luar ruangan terdengar sayup, membuat dadanya kian bergejolak.
Mata hazel Helios melirik takut ke arah aparat hukum yang ada di ruangan tersebut. Apalagi ketika ia melihat dua orang berjaga di dekat pintu, menenteng sebuah senjata laras panjang yang siap menembaknya kapan saja.
"Apa benar kamu telah membunuh Marry Jane?" tanya Raymond.
Dua menit hening. Merasa bahwa pertanyaannya tidak akan dijawab, Raymond melepas topi, kemudian mencoba meraih tangan Helios. Dengan sigap, lelaki bersurai cokelat itu menarik tangannya, melayangkan tatapan takut ke arah Raymond.
"Helios, aku Raymond, ayah Helcia, sekaligus tetanggamu. Ingat?"
Pelan, kepala Helios mendongak. "Hel-cia?"
Mendengar suara getir dari Helios membuat Raymond menyimpulkan sesuatu. Sesi interogasi dihentikan, pria itu menyuruh anak buahnya membawa Helios keluar. "Sampai jumpa di persidangan, Helios."
***
Entah ruangan apa ini, yang pasti, seseorang berjubah hitam sedang duduk di hadapannya, sibuk membuka berkas dan dokumen. Helios memeluk lutut, tidak peduli dengan ocehan yang dilayangkan wanita berkacamata itu.
"Apa kamu mau menceritakan padaku?"
Helios lagi-lagi tidak menjawab. Isi kepalanya penuh oleh gema sirine polisi. Wanita yang diketahui bernama Irene menghela napas. Ia memegang lengan Helios karena lelaki itu terlihat melamun. Namun, di luar dugaan, Helios justru meringis. Dahi Irene mengernyit, padahal ia hanya menyentuh pelan.
Seperti mendapat dorongan, Irene menyingkap kaus tahanan lengan panjang yang Helios kenakan. Setelah itu, Irene membekap mulutnya, mencegah pekikan terlontar dari mulut. Luka sayatan tampak terukir jelas di kedua lengan Helios.
"Helios, kamu—"
"Maafkan aku! Tolong, aku tidak ingin di sini!"
Raut wajah Helios terlihat menyedihkan, Irene tak sampai hati ingin bertanya lebih jauh. Ia mengusap pelan kepala Helios, membuat laki-laki itu merasa nyaman. "Kamu bisa katakan padaku, siapa yang menyuruh—"
Ucapan Irene terhenti karena dua petugas mendekat dan segera menggiring Helios kembali ke sel. Irene tidak membutuhkan uang dari Denial dan Grace, tetapi ia akan berjuang sekuat tenaga karena ingin menolong Helios.
***
Tubuh Helios didorong supaya masuk ke sel. Bunyi gembok terkunci menggema di hati. Ujung matanya menangkap siluet Denial dan Grace yang mengintip dari balik pintu. Tatapan yang mereka layangkan sarat akan kekecewaan. Sebelum Helios sempat meminta tolong, Grace dan Denkal sudah melangkah pergi, meninggalkan putra sulung kebanggaan mereka.
Helios mencengkeram jeruji besi yang memenjarakan kebebasannya. Sial, kenapa jadi begini? Untuk pertama kali, Helios ... marah pada Helcia. Kenapa gadis itu tidak menolongnya tadi? Kenapa dia tak menjenguk kemari? Kenapa, kenapa, kenapa?!
Pelan, Helios bersenandung untuk menyalurkan kekecewaannya pada Helcia yang sudah ia percayai setengah mati.
Gave you all I had and you tossed it in the trash
You tossed it in the trash, you did
To give me all your love is all I ever ask
'Cause what you don't understand isBuku jari Helios memutih, selaras dengan cengkeraman yang semakin mengerat.
I'd catch a grenade for ya
Throw my head on a blade for ya
I'd jump in front of a train for ya
You know I'd do anything for ya
Oh, I woyld go through all this pain
Take a bullet straight through my brain
Yes, I would die for ya, Baby
But you won't do the sameTangan terluka Helios memukul dadanya, berharap hal itu dapat meredakan sakit di dalam sana yang kian menjadi. Jadi, benar selama ini ia hanya dijadikan alat oleh Helcia? Inikah balasan untuk Helios yang menyerahkan segalanya kepada Helcia? Sebuah pengkhianatan dan limpahan dosa?
Jeritan dan wajah sendu keluarga korban kembali terbayang, Helios menutup telinga, kembali membenturkan kepala ke dinding, hendak membuang semua ingatan tentang dosanya.
***
AN:
Alohalo! Apa kabar?
Chapter Nineteen is done! Wait next chapter for another cuteness.
Sambil dengerin lagunya, 'kan? Masih mau yang melow-melow? Tunggu next chapter😗
TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_ dan Michika213
KAMU SEDANG MEMBACA
HELL (Completed)
Mystery / Thriller[CERITA INI TERMASUK KONTEN DEWASA KARENA BANYAK MENGANDUNG KEKERASAN. DIMOHON BIJAK DALAM MEMBACA!] Cerita belum ending, tetapi sudah selesai. Penjelasan ada di part "Post-chapter". *** Dunia yang kita tinggali tidak selamanya perkara hitam dan pu...