***
"Hai! ketemu lagi." Tedi menyapa Lukman yang sedang menyantap makan siang di rumah makan di sebelah lembaga kursus.
Lukman mengangkat tangannya membalas sapaan Tedi. Dia tidak bisa menjawab karena saat ini mulutnya sibuk mengunyah makanan. "Makan, Mas, Dek." Lukman membalas cepat sapaan Tedi setelah menelan makanannya.
"Iya nih kita juga mau makan."
Setelah basa-basi sebentar dengan Lukman, Tedi memindai seluruh area rumah makan, mencari bangku kosong untuk dirinya dan Asha. Ramai sekali. Sepertinya semua yang mendaftar di lembaga kursus itu makan di tempat ini pikir Tedi, karena tidak mungkin mereka menjelajah Pare untuk makan siang dan meninggalkan koper mereka begitu saja di teras lembaga kursus atau masjid.
Tedi kembali mengalihkan perhatiannya ke Asha yang berdiri di sampingnya. "Lo duduk di sini aja." Tedi menunjuk bangku kosong di depan Lukman.
"Lo sendiri gimana?" tanya Asha khawatir. Dirinya tahu Tedi belum makan siang sama seperti dirinya.
"Lo dulu. Gue mah gampang. Gantian atau duduknya pisah gak masalah, kan? tanya Tedi lalu Asha mengangguk sebagai jawaban. "Ambil makanannya di sana." Tedi menunjuk kerumunan orang yang berbaris rapi.
Asha kembali mengangguk kemudian melangkah ke etalase tempat makanan di hidangkan. Sebenarnya Asha sudah malas melakukan apapun. Seandainya saja Tedi bisa membaca pikirannya, saat ini Asha ingin sekali dilayani oleh Tedi. Diambilkan makan siang sehingga dia bisa duduk, menunggu dengan santai bukan mengantre. Meskipun dia sudah bosan menunggu, setidaknya hal itu lebih nyaman daripada menghabiskan tenaganya dengan berdiri. Mau makan aja susah banget. Apa di sini enggak ada tempat sekalian dengan pelayanan lengkap?
Pertanyaan Asha menggantung tanpa jawaban. Dia belum keliling Pare dan tidak ada niat juga untuk mencari jawaban itu. Siapa yang mau keliling Pare di tengah gempuran sinar matahari?
Dari tempatnya berdiri Asha memandang etalase makanan. Menu makanannya sih tidak ada yang aneh. Yang jadi masalah untuknya adalah rasa masakan itu sendiri. Apakah cocok di lidahnya yang akrab dengan pedas? Sedangkan masakan Jawa terkenal dengan rasa manisnya. Karena tidak mau mengambil resiko, akhirnya Asha mengambil secentong nasi putih dan satu potong telur dadar. Jika rasanya tidak cocok, setidaknya dia hanya menghabiskan sepotong telur dadar sehingga tidak membuang-buang makanan.
Setelah menentukan makan siangnya, Asha kembali mengantri saat menuju meja kasir yang berada tepat di sebelah etalase makanan.
"Namung niki mawon dahare, Dek?" tanya pegawai kasir rumah makan ketika Asha meletakkan piring di hadapannya.
Asha terdiam. Pengetahuannya terhadap Bahasa Jawa nol besar. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dari kalimat tadi telinganya hanya menangkap kata 'dek'. Lagi pusing malah disuruh nebak arti kalimat lagi! Kenapa enggak pake Bahasa Indonesia aja sih, Mbak? Enggak semua orang ngerti Bahasa Jawa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble in Paredise [Completed)
Teen FictionPantesan kemaren gue panggil dia dengan sebutan 'mas' agak gimanaaa gitu mukanya. Kayak gak seneng gitu, jutek lah ke gue. Eh ... ternyata seumuran. Ganteng sih ganteng, tapi mukanya tua. Dia jutek karena gue panggil mas, kan? Bukan karena denger su...