EMPAT BELAS

184 29 0
                                    

"So ... you're the one who pick me up."

Asha tidak bisa menahan senyum di wajahnya saat melihat Lukman berdiri di depan pagar camp tiga. Sebelumnya dia menyangka jika Rohman yang datang sesuai dengan info di WAG semalam. Thank God and Rohman also.

Sabtu pagi dijemput cowok ganteng, yaaah meskipun cuma sepedaan pagi di Pare tetap saja rasanya berbeda. Asha merasakan ada sesuatu yang beda dari Lukman, tapi di sisi lain juga merasa tidak asing. Asha belum yakin akan hal itu, yang Asha tahu pasti saat bersama Lukman adalah dia merasa senang karena bisa adu mulut dengan menyenangkan.

Penampilan Lukman pagi ini biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak seperti seorang pria yang menjemput pacarnya dengan pakaian rapi. Hanya memakai kaus putih dan celana pendek selutut, tapi pagi ini dia seratus kali lebih ganteng, lebih segar karena baru selesai mandi. Jejak basah air tercetak jelas di rambutnya, aroma sabun mandi tercium samar dari badannya. Mungkin jika dipeluk aromanya lebih jelas.

Eh! Kenapa otak gue mikir itu?

Asha menggelengkan kepalanya untuk menghapus pikirannya yang ngaco. Masih pagi, tapi otaknya sudah berkelana ke mana-mana. Tumben dia baru mandi. Orang seperti Lukman yang rajin mandi pagi dan tidak pernah telat shalat Subuh ternyata memiliki sisi malas juga di hari libur seperti ini.

"Cepetan naek."

"Iya-iya. Sabar atuh, Mas." Asha tak tahan untuk menggoda Lukman. "Kita hari ini mau ke mana?"

Asha duduk menyamping di boncengan sepeda Lukman. "Duduknya jangan begitu."

"Biarin, sih, Luke. Biar lebih romantis kalo duduknya nyamping gini. Udah, deh, lo jalan aja. Entar telat."

"Jegang!"

"Enggak!"

"Jengang!"

"Enggak! Sekali-kali baik sama gue kenapa? Kayanya lo benci banget sama gue."

"Oke."

"Nah gitu dong. Tambah ganteng, kan, kalo gini."

Asha dengan kemenangannya duduk menyamping dan kedua tangannya berpegang pada kaus Lukman. Asha masih tahu batas untuk tidak memeluk Lukman meskipun pikirannya sempat membayangkan hal itu beberapa menit yang lalu.

Sementara itu Lukman menjalankan sepeda dengan pelan agar Asha merasa nyaman di boncengannya. Ketika belok di Jalan Brawijaya yang kebetulan cukup sepi pagi itu tiba-tiba terlintas keinginan untuk mengerjai Asha.

Lukman menoleh ke belakang sekilas. Bagus! Asha lagi bengong. Now or never, batin Lukman.

"Akh!"

Asha reflek memeluk Lukman. Beberapa detik yang lalu tubuh Asha hampir terjungkal dari atas sepeda karena Lukman tiba-tiba memacu sepedanya dengan kecepatan penuh. Asha takut jatuh jika dia melonggarkan pelukannya. Di kepala Asha berputar kejadian jika dia jatuh lalu badannya dilindas kendaraan roda empat.

"Lo sengaja pengen gue celaka?!" tuduh Asha masih memeluk Lukman.

Lukman langsung mengerem sepedanya sekakigus.

"Aww." Asha mengaduh.

Lukman memutar tubuhnya ke belakang lalu berkata, "No. I didn't."

Lukman membela diri dari tuduhan Asha yang tidak sepenuhnya salah. Dia memang ingin mengerjai Asha, bukan mencelakai gadis itu. Jangan sampai Asha salah paham lalu dia dituntut macam-macam.

"Yes! Your action said it all."

Lukman dirundung rasa bersalah saat melihat Asha sedang mengelus hidungnya dengan pelan kemudian melihat jarinya. Asha mengulangi gerakan itu beberapa kali, memastikan tidak ada darah yang menetes dari hidungnya. Pantas Asha menuduhnya seperti itu. Tindakannya tadi sangat berbahaya untuk mereka berdua. Lukman salah, dia tidak berpikir sejauh itu karena kesal mengambil alih dirinya.

Trouble in Paredise [Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang