LIMA BELAS

190 22 0
                                    

"Luke, itu pohon kersen, kan?" Tangan Asha terangkat, menunjuk pohon kersen di depan Warung Bu Tien saat sepeda Lukman berbalik arah menuju Kebun Bunga Matahari setelah membeli ketan susu di Tansu.

Asha sudah tahu kalau itu pohon kersen sejak mereka makan di warung Bu Tien beberapa hari yang lalu. Pertanyaan tadi hanya basa-basi untuk tujuan Asha selanjutnya.

"Iya."

"Rasanya enak, gue suka. Lo suka atau enggak?"

Mendengar pertanyaan Asha, Lukman merasa hal buruk akan terjadi. "Terus."

"Manjat gih. Gue pengen."

"Enggak!"

"Liat, deh. Merah-merah banget buahnya sayang kalo enggak ada yang makan. Daripada kebuang mending gue yang makan." Asha kembali merayu Lukman. Bahkan kali ini dia sedikit menarik ujung kaus Lukman. Bukan Asha namanya jika tidak pandai merayu.

"Enggak! Kalo mau lo aja yang manjat."

"Kalo gue jatoh gimana?"

"Gue bawa ke Rumah Sakit. Deket dari sini."

"Lo gak asik. Gak bisa diajak bercanda. Serius terus kalo sama gue bawaannya."

"Karena lo, Sha, tipe cewek yang dikasih hati minta jantung."

Segitu jeleknya gue di mata lo, Luke.

Dibonceng Lukman rasanya seperti naik roller coaster. Emosi Asha dibawa naik turun dengan cepat. Senang, kesel, senang lagi setelah berusaha naikin mood ke level maksimal dan sekarang mood Asha terjun ke jurang. Sudahlah, biarkan saja. Mau selamanya di dalam jurang juga tidak masalah, Asha terlanjur malas memasang wajah bahagia di depan Lukman.

Omongan Lukman jika diingat lagi sejak pagi selalu sinis. Jika dia memang tidak mau menjemput Asha kenapa tidak bilang? Kalau begitu, kan, Asha bisa berangkat sendiri. Sekarang banyak aplikasi penunjuk arah, lagipula Asha punya mulut untuk bertanya. Dia tidak akan tersesat meskipun datang ke tempat baru.

Baru kali ini Asha merasa ditolak, dia sampai mempertanyakan kualitas dirinya. Apa dia tidak pantas berteman dengan Lukman? Sosok Lukman seakan terlalu jauh untuk digapai.

Apa selama ini sikapnya memang bermasalah? Tapi kenapa hanya Lukman yang sepeerti ini? Rohman, Akbar dan keluarganya biasa saja. Tidak ada yang protes dengan kelakuannya selama ini. Tapi .... kening Asha bertaut semakin dalam.

Asha teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat dirinya bertikai dengan Akbar. Memang hanya di WAG, tapi tetap saja, kan, intinya sama. Sikap Asha memang bermasalah sampai memancing keributan malam itu. Jadi bukan hanya Lukman yang mempermasalahkan sikapnya. Jika sudah ada dua orang yang kesal dengan hal ini berarti memang ada yang salah pada diri Asha.

Asha jadi takut sendiri untuk mengakuinya. Apa selama ini keluarganya juga merasa kesal padanya? Hanya saja mereka tidak berterus terang karena takut dirinya marah.

"Udah sampe. Ayo turun!"

Suara Lukman mebuyarkan lamunan Asha. Hati Asha semakin remuk saat melihat Lukman meninggalkannya begitu saja di samping sepeda sambil membawa plastik kentan susu dan kamera. Jangan ambil hati, Lukman memang begitu, kan? Asha berusaha menghibur dirinya sendiri.

Asha segera mengikuti Lukman dari belakang karena takut tertinggal. Saat melangkah, mata Asha tidak berhenti melihat pemandangan sekitarnya. Hal pertama yang Asha lihat adalah pohon belimbing setelah melewati pintu masuk. Lukman terus melangkah tanpa menoleh ke belakang membuat Asha menghentakkan kaki dengan kesal. Asha menyusul Lukman karena tidak ingin sendirian di tempat parkir sepeda.

Trouble in Paredise [Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang