"Mpun diseneni pacare mas. Ayu lan apik ngonten, kok"
Teguran Mbak Lina kemarin masih berputar di kepala Lukman. Kenapa Mbak Lina bisa berpikir jika mereka pacaran? Padahal jelas sekali mereka menunjukkan ketidak akraban ketika di laundry. Sebenarnya Lukman ingin menjelaskan hubungannya dengan Asha kepada Mbak Lina, tapi tidak ada gunanya karena itu dia mengurungkan niatnya. Lagi pula dia datang ke laundry hanya dua kali seminggu dan baru pertama kali ketemu Asha di sana kemarin. Tidak mungkin dia bertemu dengan Asha lagi, kemarin hanya kebetulan.
Ketika Lukman hendak meninggalkan laundry, suara Mbak Lina kembali terdengar dan semakin membuat Lukman kebingungan.
"Cepet baikan, Mas. Mbak Asha baik loh mau ngajak ngobrol duluan. Waktu di sinisin Masnya juga enggak marah. Jarang ada cewek baik begitu."
Sampai hari ini Lukman masih bingung, kenapa Mbak Lina berpikir jika dia dan Asha adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar? Wajar saja jika Mbak Lina mengira Lukman dan Asha bertengkar, kemarin mereka sempat adu mulut. Tapi untuk pacaran dari mana menilanya? Bermesraan jelas tidak, duduk saja berjauhan karena Asha akan mengutuk siapa pun yang merokok di dekatnya. Kata manis tidak terucap dari Lukman, tapi ... Asha sempat memanggilnya honey. Lukman memukul pelan pahanya sendiri, pasti karena ini.
Ada satu hal yang paling mengganggu pikiran Lukman yaitu ketika dia membantu menusuk sedotan ke dalam gelas jus. Itu, kan, hanya tindakan kecil dan tidak romantis. Masa sih Mbak Lina berpikir sebaliknya?
"Oh iya! Lo suka pake cuka ya kalo makan bakso. Tunggu bentar gue mintain," seru Asha setelah menaruh mangkuk bakso di hadapan Lukman. Asha membantu pramusaji menyerahkan bakso karena dia berdiri di belakangnya. Kasihan jika pramusaji harus memutari meja demi meletakkan semangkuk bakso ke Lukman yang duduk di seberang Asha.
"Sha!" Lukman buru-buru menahan Asha. "Enggak usah. Udah lo duduk aja."
"Kalo gue duduk siapa yang ngatur di sini? Lo juga. Dari tadi duduk doang. Seharusnya sebagai top dog lo bantu gue," tegur Asha.
"Top dog tugasnya duduk. Liatan bawahan kerja," balas Lukman. Kesal karena niat baiknya malah dibalas teguran.
Dan gue enggak pernah mengajukan diri buat top dog. Rohman yang main tunjuk gue buat jadi top dog dan dia malah jadi wakil, batin Lukman.
"Iiih! Ngeselin lo." Asha pergi menyusul pramusaji untuk meminta cuka. Dia akan memastian Lukman tahu jika dirinya adalah bawahan yang suka membantah. Ketika kembali ke kursinya sekali lagi Asha memastikan pesanan teman-temannya telah diantar. Asha tidak suka jika ada temannya yang menunggu makanan terlalu lama yang berunjung dengan gagalnya acara makan bersama. Gagal di sini bukan berarti acara bubar, tapi jika ada seorang yang melongo saat teman-teman lain menyantap makanan terus bete, hal seperti ini bisa disebut gagal, kan?
Selain itu Asha merasa bertanggung jawab karena dia yang menyarankan tempat ini. Siang tadi Asha dan Dinda datang ke sini untuk survey. Mereka memfoto beberapa bagian kafe dan menu makanan kemudian dikirimkan ke WAG camp dua. Setelah mendapatkan persetujan dari teman-teman, Asha segera memesan satu meja panjang untuk acara perpisahan sore ini. Bahkan menu makanan telah dipesan sajak siang untuk berjaga-jaga supaya tidak ada makanan yang habis ketika dipesan sore hari.
Alasan Asha dan Dinda memilih tempat ini karena area parkirnya luas sehingga bisa menampung sepeda mereka. Setiap pojok kafe memiliki tampilan berbeda jadi bisa puas berfoto dan latarnya tidak itu lagi itu lagi. Jika datang bersama rombongan bisa memilih meja panjang yang cukup untuk dua puluh lima orang. Berbeda lagi jika ingin makan malam romantis bersama pasangan, di kafe ini ada meja untuk dua orang dan kursinya diganti oleh ayunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble in Paredise [Completed)
Novela JuvenilPantesan kemaren gue panggil dia dengan sebutan 'mas' agak gimanaaa gitu mukanya. Kayak gak seneng gitu, jutek lah ke gue. Eh ... ternyata seumuran. Ganteng sih ganteng, tapi mukanya tua. Dia jutek karena gue panggil mas, kan? Bukan karena denger su...