TIGA PULUH TUJUH

191 20 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"I'm ok, Tedi! Just stop spying on me."

"If you wear this. That's mean you're not ok."

"Kenapa ngobrolnya di masjid? Bukan di camp gue?"

"Pertama gue enggak bisa bebas masuk camp cewek. Dua rame. Tiga bentar lagi Dzuhur. Cepetan jawab dan jangan coba-coba ganti topik!"

Suara dua orang yang familiar di telinga Lukman berhasil menarik perhatiannya. Dia menoleh ke sekitar dan mendapati hanya dirinya di dalam masjid. Tanpa basa-basi Lukman segera menegakkan punggungnya yang semula membungkuk kemudian dia menoleh ke arah pintu dan jendela masjid yang terbuka. Suara mereka terdengar sampai ke telinganya karena hal ini.

Dari suaranya Lukman mengira dua orang itu tepat berada di belakangnya karena jika duduk bersandar di jendela Lukman pasti mengetahui kehadiran mereka. Di antara mereka hanya dibatasi oleh dinding masjid. Posisi Lukman yang duduk dan bersandar di dinding masjid membuat keberadaannya tidak disadari oleh Tedi dan Asha.

Lukman sengaja datang ke masjid lebih awal setengah jam dari waktu shalat Dzuhur karena ingin merenung. Buku vocab di pangkuannya hanya kamuflase agar tidak ada yang menyangka dirinya sedang melamun. Lukman tidak menyangka jika Asha dan Tedi datang ke teras masjid juga. Lukman tiba lebih dulu karena saat tiba di masjid tidak ada siapa pun di teras.

"Gue terang-terangan di depan lo jadi bukan spy. Kenapa kemaren berangkat sendiri?"

"Gue enggak mau lo kecapean and ijin." Asha membela diri.

"Karena itu gue jadi cuti hari ini," keluh Tedi.

"Sorry. Kemaren gue pusing banget. Nyalon juga cuma crembath doang. Di salon yang rame aja gue kepikiran apalagi sendirian di apartemen lo."

"Berarti lagi enggak ok, kan? Masih belom mau cerita?"

Lama Lukman tidak mendengar suara Asha. Kenapa Asha mendadak diam? Padahal Lukman penasaran dengan masalah gadis itu. Tanpa sadar lukman sudah menempelkan kupingnya di dinding. Siapa tahu suara Asha menjadi lirih sehingga tidak tertangkap oleh indra pendengarannya.

"Gelang ini hadiah dari Tante sebelum dia meninggal." Tedi mengangkat pergelangan tangan Asha. "Hampir ilang dan lo janji cuma mau pake gelang ini kalo lagi ada masalah berat, kan?"

Benar juga, batin Lukman. Sejak dua hari yang lalu ada tambahan aksesoris di pergelangan tangan kiri Asha. Selama ini Asha jarang memakai gelang, biasanya hanya mengecat warna-warni kukunya dan memakai beberapa cicin sekaligus. Jam tangan juga jarang melingkar di sana karena Asha sempat bilang takut pergelangan tangannya belang.

Sejak pertengkaran mereka di kebun tebu Asha bersikap seperti biasa di kelas hanya saja ... dia jadi jarang berkumpul dengan teman-teman. Lebih seering sarapan dan makan siang di camp tiga. Tidak ada lagi kekompakkan camp dua, apalagi group four di luar kelas. Bahkan di hari-hari terakhir di Pare Asha tidak merencanakan pesta perpisahan seperti dua minggu yang lalu saat anak-anak stage one yang durasi dua minggu selesai.

Rohman tidak keberatan dengan sikap Asha yang lebih sering di camp tiga karena beranggapan jika gadis itu memerlukan waktu lebih banyak untuk istirahat setelah maag-nya kambuh, tapi tidak dengan sikap Lukman. Beberapa kali Rohman tanya kenapa Lukman lebih senang sendirian? Dan hanya dijawab perlu waktu buat belajar. Rohman tidak bisa bertanya lebih jauh setelah mendengar jawaban Lukman karena masuk akal. Siapa pun pasti sibuk untuk ujian akhir stage one.

"Waktu ke Malang hape gue mati, ternyata Papah telepon berkali-kali. Terus dia kirim voice note karena nyangka gue marah." Lukman semakin menempelkan kupingnya karena suara Asha tiba-tiba menjadi lebih lirih. Kemudian Lukman mendengar suara orang lain di antara mereka berdua. Lukman yakin itu adalah pesan suara yang dimaksud Asha.

"Sha, Papah udah enggak ada hubungan sama Tante Untari. Kamu pulang ya. Jangan marah lagi. Papah kangen banget."

Selanjutnya yang Lukman dengar hanya isakan tertahan yang Asha keluarkan tanpa ada yang berani menghentikannya.

"Gue dosa banget ya, Kak. Udah buat bokap sedih," ucap Asha setelah tangisnya mulai reda lalu melanjutkan keluh-kesahnya. "Celia, dia blokir gue terus Lu-" Asha langsung menutup mulutnya. Ingat jika dia tidak boleh mengatakan hal ini. Asha tidak mau Tedi semakin khawatir, sedangkan hati Lukman kebat-kebit karena takut Asha menceritakan masalah di antara mereka.

"Lu?"

"Lu tahu sendiri, kan." Asha menghapus air matanya yang berhasil meloloskan diri. "Masalah gue sama Celia, dia enggak mau denger penjelasan gue. Sekarang nomer gue diblokir."

Ucapan Asha terhenti sesaat ketika dia tak kuasa menahan isakan lagi. Lukman ingin menjauh ke sisi lain masjid lalu menyumpal telinganya dengan headset dan segera memutar musik cadas dari ponselnya. Hatinya mengatakan menguping adalah perbuatan buruk, tapi sisi lain dirinya mengatakan tidak apa menguping untuk mendapatkan kebenaran. Menguping di rumah Tuhan dobel dosanya. Lukman mengingatkan dirinya, tapi semua itu kalah oleh keingintahuanya tentang Asha.

"Gue beneran enggak tahu kalo Alvin deketin Celia cuma buat deketin gue. Lo tahu kalo sahabat gue cuma dia dari SMA. Di SMA enggak ada cewek yang mau temenan sama gue karena takut pacarnya direbut. Di kampus gue mulai punya temen cewek karena mereka tahu gue udah punya pacar, malah Celia yang pergi."

Yang Tedi lakukan sejak tadi hanya menggenggam tangan Asha tanpa memotong ucapannya. Saat ini yang Asha perlukan adalah sepasang kuping untuk mendengar bukan mulut untuk menghakimi. Tedi percaya Asha bisa menyelesaikan semua masalahnya dengan bijak. Apalagi dia tahu Asha bukan gadis egois yang mementingkan dirinya sendiri.

"Salah gue apa, Kak? Padahal gue enggak pernah ngerebut pacar orang."

"Salah lo karena cantik dan baik. Mereka cuma insecure sama lo."

"Ya iyalah. I'm a high maintenance girl."

Lukman membayangkan Asha mencoba tersenyum di tengah isakannya setelah menyemangati dirinya sendiri. Asha bisa secepat itu mengubah suasana hatinya. Berbeda sekali dengan Sekar.

"Nah gitu dong. Udah bisa senyum lagi."

Asha menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Thank you, Kak. Sekarang lebih lega rasanya."

Tedi mengusap jejak air mata di pipi Asha kemudian mencubitnya pelan. "Salah sendiri sok kuat. Pikirin semuanya baik-baik, gue yakin lo bisa buat keputusan yang bijak buat semuanya. Masalah Celia lo udah usaha kalo dia tetep pergi berarti dia bukan sahabat sejati lo. Walaupun enggak ada Celia masih ada gue, kan? Sepupu kesayangan lo."

"Hm." Asha memeluk Tedi kemudian berkata, "Thank you for everything."

***

WOI! Jangan lama-lama pelukannya. Inget lagi di masjid.

Xoxo
Bae

XoxoBae

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Trouble in Paredise [Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang