***
Asha berdiri mengamati Lukman yang termenung seorang diri di halaman belakang rumah Rohman. Kedua tangan Asha bertumpu pada pinggiran sink mencuci piring. Dia baru saja selesai membantu ibunya Rohman membersihkan sayuran untuk menu makan malam. Di kepalanya berputar pesan suara yang dikirim oleh papahnya.
"Sha!" panggil Rohman.
Asha menoleh lalu berkata, "Iya."
"Kenapa lo bantuin ibu gue, sih? Cepet ke depan. Kita mau main karambol. Lo tahu Lukman di mana?"
Jari telunjuk Asha mengarah ke keluar jendela. "Lagi ngudud."
"Lo ke depan duluan. Gue panggil Lukman dulu."
"Gue aja yang panggil."
Asha menginjakkan kakiknya di tanah berumput setelah mengganti sandal rumah dengan sandal jepit yang tergeletak di pintu belakang. Udara dingin di Batu membuat lantai menjadi dingin sehingga mereka semua menggunakan alas kaki meskipun di dalam rumah. Dalam pandangan Asha, Lukman terlihat begitu menikmati kesendiriannya. Rokok yang diapit di antara jari telunjuk dan tengah tangan Lukman tinggal setengah. Berulang kali asap putih mengepul dari mulutnya seperti cerobong asap kapal dan Asha menyaksikan semua itu dalam diam. Lukman belum menyadari kedatangan Asha.
"Gue temenin, ya." Tanpa permisi Asha duduk di bangku taman di sebelah Lukman, dengan jarak satu orang di antara mereka.
"Gak usah dimatiin rokoknya," Asha kembali berucap, mencegah Lukman melakukan hal itu. Kalau dulu mungkin Asha akan berkata, "Matiin dong rokoknya kalo ada cewek deket lo. Bisa bikin muka jelek. Sayang skincare mahal gue."
Tapi itu dulu, jauh sebelum masalah hadir di antara mereka. Masalah yang Asha tidak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba saja Lukman menjauhinya seolah dia adalah wabah yang harus dihindari. Ada masalah yang seribu kali lebih penting yang ingin Asha bicarakan dengan Lukman saat ini, daripada berceramah tentang bahaya rokok yang dapat mengurangi kesehatan.
Lukman kembali mendiamkam Asha. Dia berdiri, hendak melangkah ke dalam rumah atau ke mana pun untuk menjauhi gadis itu.
Lagi-lagi begini. Salah gue apa sih? Gumam Asha dalam hati.
"Tunggu!" Asha menarik jaket Lukman, mencegahnya pergi. "Gue cuma pengen tanya satu pertanyaan. Gak lama."
Mendengar kalimat Asha, Lukman kembali duduk setelah menginjak sisa rokoknya dengan ujung sandal hingga padam. Meskipun sedang kesal dengan gadis di sampingnya, tapi Lukman tetap harus menghormati setiap wanita. Termasuk Asha.
"Kenapa lo benci gue?"
"Gue enggak-"
"Gak usah bohong. Gue tahu dan gue bisa ngerasain itu, Luke. Gak usah gue sebutin satu-satu, kan, apa yang udah lo lakuin ke gue selama satu minggu terakhir ini?" Asha menekankan setiap kalimatnya. Jika Lukman masih mengelak, dia akan menarik telinga Lukman lalu meneriakkan satu per satu sikap buruk pria itu padanya.
Lukman melepaskan tangan Asha dari jaktenya lalu mengunci padangan mata mereka. Dadanya bergemuruh, begitu banyak hal yang coba dia pendam selama ini dan sekarang Asha sengaja memancingnya dengan kalimat-kalimat yang memprovokasi kesabarannya.
Baiklah. Jika ini yang Asha inginkan maka Lukman akan mewujudkannya, padahal Lukman tidak ingin mengkonfrontasi Asha secara langsung dan memilih menghindar. Ucapan Asha yang merasa tak bersalah dan seolah menjadi korban berhasil menyurutkan kesabaran dalam diri Lukman.
"Karena lo ngerebut Dimas dari Sekar."
Ngerebut?! Asha mengulang kata itu dalam hatinya. Alisnya bertaut, dirinya bingung kenapa bisa dituduh seperti itu oleh Lukman? Atas dasar apa Lukman berani menuduhnya sebagai perebut kekasih sahabatnya? Mengenal Sekar saja tidak dan Asha juga tidak kenal dengan pacarnya sekar. Teman-teman prianya setahu Asha tidak ada yang memiliki kekasih atau mantan bernama Sekar.
"Gue enggak-"
"Jangan bohong!" Lukman memotong ucapan Asha dengan tidak sabar. "Gue tahu sifat lo yang suka playing victim dan cari perhatian ke cowok."
Asha tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengar tuduhan Lukman yang semakin menjadi.
"Pantes selama ini lo lebih banyak gaul sama cowok di kelas, temen-temen gue di camp empat. Ternyata lo emang mu-"
Plak
Tangan Asha melayang ke pipi Lukman. Asha tidak akan membiarkan mulut Lukman mengeluarkan makian yang tidak pantas untuk dirinya, karena memang dirinya tidak seperti yang dituduhkan pria itu. Asha meradang, bagaimana bisa orang yang baru tiga minggu mengenalnya tega melakukan hal seperti ini?
"Gila. Kita baru kenal tiga minggu dan lo bisa menghina gue kayak gini! Lo enggak kenal gue, Luke."
"Gue emang baru kenal lo tiga minggu, tapi Celia udah lama, kan. Sahabat lo aja WA begitu. Gue enggak sengaja baca WA lo."
Jadi karena ini. Akhirnya Asha tahu kenapa Lukman dan Sekar menjauhinya. Asha tersenyum getir dengan kejadian serupa yang beruntun menimpanya. Tujuannya datang ke Pare, kan, untuk liburan, menenangkan diri dan mencari suasana baru. Di Jakarta Celia menuduh Asha merebut Alvin dan sekarang di Pare Lukman menuduhnya merebut Dimas.
Memang salah Asha yang selama ini akrab dengan Alvin sampai Celia cemburu. Asha tahu Celia menyukai Alvin karena itu dia tidak mungkin merebut pria itu, tapi satu hal yang tidak diketahui Asha yaitu, Alvin mendekati Celia agar bisa dekat dengannya. Celia berang saat mengetahui hal ini, dia merasa bodoh karena telah dimanfaatkan oleh Alvin dan iri ke Asha karena pria yang disukainya selalu memilih Asha.
Bagaimana mungkin Asha merebut pria lain ketika di hatinya telah dipenuhi oleh sebuah nama. Celia mengetahui hal ini dengan jelas, tapi amarah menutupi pengetahuannya.
"Gue kira lo itu pinter, ternyata bego!" Asha memutuskan pandangan di antara mereka lebih dulu karena tidak tahan melihat sorot kebencian di mata Lukman untuknya, lalu dia menatap pada satu titik di depannya dan mulai membalas tuduhan Lukman.
"Satu. Gue yakin lo denger alasan mereka putus cuma dari Sekar. Lo enggak tanya ke Dimas, kan? Dua. Cuma baca tiga WA terakhir Celia. Tiga. Lo pikir Dimas mampu kasih gue tas seharga lima puluh juta? Lo tahu, kan, gue enggak suka barang KW."
Asha menghela napas untuk menenangkan detak jantungnya yang menggila karena marah. Suara pintu dapur yang didorong menarik perhatian Asha, di ambang pintu terlihat Rohman yang menatap heran mereka berdua. Asha segera berdiri untuk menghampiri Rohman karena tidak ingin si pemilik rumah curiga.
Sebelum meninggalkan Lukman, Asha berkata, "You should say thanks to me. Karena gue lo bisa bebas deketin Sekar."
***
Update lagi. Nano-nano kalo nulis bagian sedih. Takut enggak maksimal.
Semoga kalian suka.
Xoxo
Bae
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble in Paredise [Completed)
Teen FictionPantesan kemaren gue panggil dia dengan sebutan 'mas' agak gimanaaa gitu mukanya. Kayak gak seneng gitu, jutek lah ke gue. Eh ... ternyata seumuran. Ganteng sih ganteng, tapi mukanya tua. Dia jutek karena gue panggil mas, kan? Bukan karena denger su...