***
"Mas, gue haus, nih. Kita mampir beli minum dulu bisa, kan?" Asha merayu Dedi, kakaknya Rohman yang sedang mengemudi untuk mampir membeli minum di mini market.
"Iya, Mas, gue juga haus. Cuma Lukman doang yang enggak haus. Ket mau meneng ae," timpal Rohman.
Wajar saja tenggorokan Asha dan Rohman minta disiram air, sejak setengah jam yang lalu mereka non stop karoke di dalam mobil yang akan membawa mereka ke malang. Hanya Lukman yang sejak tadi diam, entah karena dia tidak hapal liriknya atau karena sariawan. Apapun alasan diamnya Lukman berhasil membuat suasana tidak nyaman.
Asha sudah mencolek lengan Lukman, menarik lengan bajunya bahkan menggelitik pinggang si muka boros di sebelahnya, tapi tetap saja tidak reaksi. Entah sengaja atau tidak Lukman sempat menepis tangan Asha. Sejak tadi yang dilakukan Lukman hanya menatap keluar kaca jendela. Jika memang Lukman tidak ingin ikut, kenapa tidak bilang dari kemarin?
Jangan bilang Lukman tidak tega menolak ajakan Rohman untuk main ke rumahnya kemudian ke Bromo bersama. Sejak dua minggu yang lalu Rohman mengatakan minggu ketiga di Pare, sebelum ujian harus datang ke rumahnya untuk mengisi ulang tenaga, liburan supaya tidak penat dan siap ujian. Asha yakin dia juga tidak akan tega menolak ajakan itu, tapi jika mengatakan Lukman sakit dan diganti dengan Rui bisa, kan?
"Bisa pake Bahasa Indonesia, kan, ngomongnya. Inget ya gue bukan Jawa." Asha menimpali percakapan mereka. Biar saja Lukman yang diam, Asha tidak ingin terpengaruh suasana buruk hati Lukman. Seandainya tahu akan seperti ini, Asha pasti duduk di depan menemani Dedi. Biar Rohman yang membujuk Lukman.
"Yang lo tahu cuma meneng doang ya, Sha."
"Udah tahu pake tanya lagi." Asha memutar bola matanya ke atas. Jengah dengan pertanyaan tidak penting Rohman.
"Baru sebulan di Pare belagu. Udah pake lo gue sekarang?" ejek Dedi ke adiknya.
"Kalo gue pake aku kamu sama Asha entar Lukman cemburu, Mas."
"Mereka pacaran? Kenapa diem-dieman dari tadi? Lagi berantem?" tanya Dedi heran sambil menatap mereka dari kaca spion di dalam mobil.
"Kita enggak pacaran," jawab Asha dan Lukman kompak.
"Tuh, kan, kompak. Pasti jodoh ini." Rohman tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda penghuni jok belakang.
"Sha, bisa tahan hausnya sebentar?" tanya Dedi. "Di sekitar sini jarang ada warung pingir jalan, kalo ada gue langsung berenti."
"Iya, Mas."
Setelah mengatakan itu Asha mengikuti tingkah Lukman, diam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Berusaha meredam haus yang dirasa. Sejak lima menit yang lalu jalur yang mereka lewati berkelok-kelok dan menanjak dengan jurang di sebelah kiri. Pemandangan yang dilewati pun berubah. Rumah penduduk semakin jarang, jika pun ada jaraknya berjauhan. Selebihnya adalah pepohonan hijau yang rindang. Apa tidak ada yang berniat membuka warung atau mini market di pinggir jalan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble in Paredise [Completed)
Teen FictionPantesan kemaren gue panggil dia dengan sebutan 'mas' agak gimanaaa gitu mukanya. Kayak gak seneng gitu, jutek lah ke gue. Eh ... ternyata seumuran. Ganteng sih ganteng, tapi mukanya tua. Dia jutek karena gue panggil mas, kan? Bukan karena denger su...