TIGA PULUH LIMA

168 22 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Asha : Kak. Jemput gue sekarang

Asha : Sepuluh menit lo gak jawab gue ke tempat lo naik taksi

Asha : mengirim lokasi terkini

Tedi mengira hari ini dia bisa santai seharian di apartemen studionya, ternyata sama saja seperti minggu sebelumnya di mana dia dijadikan supir oleh Asha. Bangun tidur siang dengan nyawa yang belum terkumpul Tedi menyeret dirinya ke kamar mandi, setelah mengirim kata ok ke Asha. Untung saja dia mendengar suara pesan masuk, jika tidak Asha pasti ngoceh seharian besok.

Adek gue kenapa lagi? batin Tedi saat mengingat ancaman Asha beberapa jam yang lalu ketika dia sedang tidur siang.

Tedi bersyukur langsung tancap gas menjemput Asha. Jika dia menuruti keingainannya untuk berlama-lama di atas kasur, Asha pasti nekad kembali ke Surabaya dengan Taksi. Sesekali Tedi mengintip kondisi Asha sari kaca spion tengah. Ketika Tedi tiba di rumah Rohman, Asha langsung masuk ke mobilnya dan duduk di belakang, biasanya, kan, Asha duduk di depan, di samping Tedi untuk mengobrol.

"Sha, kita ke rumah sakit aja, ya. Gue takut lo kenapa-kenapa?"

"Enggak usah. Beli obat aja?"

"Pokoknya kita ke dokter dulu," putus Tedi. Ketika mobilnya berhenti di lampu merah dia segera mencari klinik atau rumah sakit terdekat di Malang. Tedi tidak mau mengambil resiko dari kata nanti-nanti. Bagaimana jika kondisi Asha memburuk ketika mereka berada di jalan tol dari Malang ke Surabaya.

Melihat Asha meringkuk di kursi tengah membuat Tedi bertanya dalam hati. Udah berapa lama Asha menahan sakit? Tedi hapal di luar kepala keburukan Asha yang lain yaitu sering diam-diam menahan sakit, sakit sedikit tidak dirasa karena tidak ingin papahnya khawatir.

***

"Tuh, kan, apa gue bilang. Gue cuma maag. Lo sih parnoan," ledek Asha setelah mendengar penjelasan dari dokter di klinik. Tedi menulikan telinganya sambil terus memapah Asha menuju ke mobilnya di area parkir. Untung saja klinik yang mereka datangi sedang sepi sehingga Asha bisa segera diperiksa.

"Ya parno lah. Selama di sini, kan, lo tanggung jawab gue."

"Sekarang udah enggak parno, kan? Gue tidur dulu."

"Tidur aja. Entar gue bangunin kalo udah sampe."

Sekali lagi Tedi mengintip Asha kemudian menginjak pedal gas menuju Surabaya. Tedi mengemudi dengan pelan karena tidak ingin membangunkan Asha yang terlelap. Selama di perjalanan fokus Tedi terbagi. Asha adalah tipe orang yang selalu makan tepat waktu walapun jarang ngemil. Telat sarapan satu kali kemudian langsung makan makanan pedas bukan peyebab utama sakit maag-nya. Asha pasti sedang menghadapi masalah dan dia menutupi hal itu dari Tedi.

Tedi tidak akan bertanya karena percuma, ketika tidak ingin bercerita Asha akan mengunci mulutnya sangat rapat. Malah dia akan lebih berhati-hati ketika bicara karena takut keceplosan. Yang bisa Tedi lakukan saat ini adalah bersabar sampai Asha membagi masalahnya. Tedi berharap hal itu tidak akan berlangsung lama. Dia tidak mau sepupu kesanyangannya terus memendam masalah tanpa mencari solusinya.

Sudah saatnya Tedi mengingatkan Asha untuk menyelesaikan masalahnya. Dia akan menunggu sampai Asha lebih sehat, mungkin besok atau lusa yang jelas sebelum dia kembali ke Jakarta.

***

"Gimana keadaan, lo?"

Tedi menyentuh kening Asha yang sedang berbaring di sofa. Selain maag Asha juga demam. Tedi bersyukur karena demamnya sudah turun setelah minum obat. Melihatnya yang terbaring lemah seperti ini membuat Tedi resah. Seandainya Asha bisa dirawat di klinik lebih baik Asha di rawat, Tedi tidak masalah jika harus menginap di sana selama Asha mendapat pengawasan langsung dari dokter. Tapi dokter mengatakan tidak perlu.

"Udah baikan."

"Kalo ngantuk pindah, gih. Jangan di sini."

"Iya, entar. Lagi enak banget ini posisinya." Asha semakin megeratkan pelukannya ke bantal guling. "Kak ...."

"Hm."

"Gue balik ke Pare Senin sore aja, ya. Masih pengen di sini. Gue enggak mau ngerepotin roommate gue." Asha kembali terbayang wajah khawatir Sinta ketika dia mimisan.

Tedi diam. Menunggu Asha melanjutkan kalimatnya.

"Gue mau nyalon dulu. Lo enggak usah anterin gue. Banyak travel dari Surabaya ke Pare."

"Gue anterin. Sampe camp lo malem enggak masalah, kan?"

"Enggak masalah, tapi kalo lo kecapean jangan salahin gue." Melihat mata Tedi yang sayu Asha beranjak pindah ke tempat tidur. Sedang sakit pun Asha tidak segan meledek Tedi. Tedi yang rajin mengolah badan di pusat kebugaran pasti kesal mendegar balasan Asha barusan, secara tidak langsung dia mengatakan Tedi lemah.

Asha berbaring terlentang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Asha sangat berterima kasih karena sore tadi Tedi menjemputnya. Asha tidak memiliki pilihan lain selain Tedi untuk bisa keluar dari rumah Rohman. Selain kondisi badannya yang tidak sehat, saat itu yang paling diinginkan Asha adalah menjauh dari Lukman secepatnya.

Jika mereka tahu Asha sakit, rencana ke Bromo pasti dibatalkan dan mereka lebih memilih menemani Asha memulihkan diri di Rumah Rohman. Asha tidak ingin menyusahkan orang lain dan membenarkan tuduhan Lukman jika dia sering playing victim demi perhatian dari teman-temannya. Selain itu Asha juga tidak ingin terus berpura-pura seolah tidak ada masalah antara dirinya dengan Lukman sampai kembali ke camp tiga besok.

Efek dari hinaan Lukman masih terasa. Jika ingat kata-kata itu lagi hati Asha berdenyut sakit. Selama ini Asha selalu berteman dengan siapa pun tanpa pilih-pilih atau menanyakan masa lalu calon temannya. Apa gunanya semua itu? Berteman ya berteman saja. Hal itu juga yang gadis itu lakukan ke Dimas.

Asha tidak menyangka prinsip dasar dalam berteman malah memberinya kesulitan seperti ini. Bukan salah Asha, kan, jika Dimas menyukainya. Lagipula selama ini Asha menanggapi semua perhatian Dimas dengan sikap yang biasa, tidak berlebihan. Dimas menyusul Asha ke Pare, kan, bukan salahnya juga. Punya hak apa Asha melarang Dimas ke Pare. Asha saja tidak tahu jika Dimas menyusulnya ke Pare karena pria itu ingin mengejutkannya.

Yang salah adalah mereka bertiga. Lukman dengan sifat pengecutnya yang tidak berani menyatakan cinta ke Sekar. Dimas dan Sekar yang putus dengan tidak baik-baik dan Sekar yang susah move on, sedangkan Dimas move on-nya secepat Shinkansen. Tidak ada salah Asha di sini. Kemudian Asha berguling menyamping, mencari posisi lebih nyaman agar cepat terlelap. Berbaring terlentang malah membuat otaknya terus mengingat duo sahabat yang semena-mena padanya.

***

Happy long weekend teman-teman. Tetap lakukan 3M dan jangan lupa baca Trouble in Paredise.

 Tetap lakukan 3M dan jangan lupa baca Trouble in Paredise

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Trouble in Paredise [Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang