9

69 12 4
                                    

Kita tidak akan pernah tahu isi hati seseorang
Kadang ketika mulut menolak bisa jadi hati mengiyakan

_Quenzha Azkiara_

Pagi hari telah menyapa, cahaya matahari bersinar menembus ventilasi kamar, aku terbangun dan mengerjapkan mata berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mataku

Kulirik jam pukul 06:15, aku bergegas mengambil handuk dan menuju kamar mandi membersihkan diri. Setelah sekian menit aku pun keluar dari kamar mandi lalu memakai seragam, menata buku, dan kemudian membuat mie instan, serta secangkir teh manis

<****>

Sudah dipastikan aku akan terlambat, jam menunjukkan pukul 07:30. Setelah limabelas menit menunggu dihalte bis, akhirnya bis yang kutunggu datang. Perjalanan ke sekolah butuh waktu hampir 20-25 menit tergantung kecepatan bis.

Aku berdiri didepan gerbang sekolah, ingin masuk tapi takut kena hukuman, kalau tidak masuk alpa. Pilihan yang membingungkan, akhirnya aku hanya berdiri tanpa mengambil keputusan hingga tangan seseorang tiba-tiba menarikku kebelakang sekolah. Dia simulut cabe ternyata. Dia sama-sama telat sepertiku. Awalnya aku menolak ikut dengannya tapi karena dia bilang akan membantuku masuk kekelas akupun menurut, sialnya ia malah mengajakku memanjat tembok. Beberapa kali mengalami perdebatan aku kalah, aku menuruti perintah simulut cabe daripada berdiri tidak jelas didepan gerbang.

Bebas dari drama menjengkelkan, kini kami berjalan dikoridor kelas, aku merasa cemas sekaligus takut ketika melihat pintu-pintu ruangan yang tertutup rapat dengan suasana sepi, anehnya Kak Veril malah terlihat santai seolah bukan masalah besar

"Kiara! Veril!" suara teriakan seorang laki-laki membuat kami menghentikan langkah, saling tatap kemudian berbalik

Deg

Itu pak Dedi, guru yang terkenal galak. Padahal selama ini aku selalu terhindar dari guru satu itu, tapi kali ini malah apes

"Kalian telat?!" tanya pak Dedi tegas

"I-iya Pak," jawabku takut

"Udah tau nanya!" gumam kak Veril, aku menatapnya tajam. Bisa-bisanya dia malah bicara begitu

"Sekarang Bapak minta kalian berdiri dilapangan, hormat kebendera sampai jam istirahat!" ucap pak Dedi tegas

"Gak ada yang gratis Pak, enak aja minta" celetuk kak Veril. Aku tak habis pikir dengan sikapnya yang tidak tahu kondisi

"Laksanakan sekarang atau Bapak tambah hukuman kalian!" bentak Pak Dedi, wajahnya memerah menahan amarah

"Main tambah-tambah aja Bapak kira lagi pelajaran___"

"Iya Pak, kami laksanakan. Permisi" ucapku, segera kutarik tangan kak Veril menuju lapangan sebelum semakin membuat Pak Dedi murka

"Aduhhh duhh main tarik-tarik aja, gak usah cemburu Ra, aku sukanya kan kamu" ucap kak Veril ngelantur. Aku tetap berjalan tanpa menghiraukan ucapannya. Kuhempaskan tangan kak Veril kasar setelah sampai ditengah lapangan

"Yah! Beneran hormat nih? Bolos aja yuk kekantin" rengek Kak Veril. Lama-lama jengah menghadapi sikapnya

"Hormat kak!" lagi-lagi menarik napas dalam guna mengontrol emosi

"Ke bendera bukan Ara!" aku berteriak kesal pada kak Veril yang tengah hormat kearahku, dan dia membalas dengan cengiran.

Entah sudah berapa menit aku berdiri ditengah lapangan, terik matahari membuat mataku silau, kepalaku rasanya mulai pening

Veril-Ara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang