5

90 17 1
                                    


'Menjaga kepercayaan itu tidak mudah, karena sekali kita melanggar maka berkali-kali lipat menghdirkan keraguan dalam diri orang untuk kembali percaya'
*G.A*

'Quenzha Azkiara'

Setelah cukup lama memilih novel dalam perpus, akhirnya aku menemukan beberapa novel tebal yang sepertinya cukup menarik, aku terbiasa memilih dengan membaca sinopsisnya dulu, bukan sekadar tertarik karena cover saja.

Aku jadi ingat perkataan Pak Aji--guru SMP ku
'Jangan lihat sesuatu dari covernya saja karena bisa jadi didalam sesuatu yang tampak tidak menarik justru terdapat banyak pelajaran menakjubkan" katanya

Biasanya setiap siswa hanya diperkenankan meminjam satu buku, tapi karena aku sering meminjam dan mengembalikannya tepat waktu maka Pak Tono selaku penjaga perpus berbaik hati meminjamkan ku beberapa buku.

Sebenarnya, bukan tanpa alasan mengapa aku begitu menjaga buku-buku ini dan mengembalikannya tepat waktu. Yah, tentu saja aku masih sayang dengan uang jajanku yang pastinya akan terpotong jika telat mengembalikan atau harus mengganti buku yang hilang.

Aku berjalan menyusuri koridor hendak menuju kelas dengan membawa beberapa novel yang barusan kupinjam dari perpus, saat tengah melewati koridor sekolah seseorang tiba-tiba menubrukku

Bruk!

Buku-buku berserakan dilantai. Amarahku meluap, rasanya kesal setengah mati

"Kalo jalan itu hati-hati! Dipikir ini tempat lomba lari, punya mata itu digunakan yang bener!" sungutku seraya merapikan buku. Tiba-tiba laki-laki itu berjongkok berniat membantu, aku mendongakkan wajah mendengus kesal lalu menepis tangannya.

"Minggir!" perintahku padanya, Aku menghembuskan napas kasar lalu berdiri dengan novel yang sudah rapi di antara dada dan tanganku

"Maaf sayang" aku membelalak ketika tangan kokohnya menyentuh lembut pipiku, hendak menepis, tapi kedua tanganku memeluk buku-buku tebal.

"Singkirin tangan kakak atau tangan kakak Aku patahin!" ancamku yang hanya ditanggapi dengan kekehan

"Biar aku bawakan" tawarnya, tanpa menunggu persetujuan dia langsung merebut setumpuk novel dari tanganku

"Aku bisa sendiri kak, sini kembaliin"  tolakku, lalu mengulurkan tangan hendak mengambil buku ditangannya

"Diem cerewet!" celetuk kak Veril, lalu mengayunkan kakinya meninggalkanku. Yah, laki-laki yang baru saja menabrakku itu 'Fausta Averil' cowok pemaksa serta keras kepala dengan segudang kepedeannya

"Dasar sinting!" gerutuku, masih berdiri ditempat yang sama hingga beberapa langkah kemudian kak Veril memutar kepala menatapku

"Cepetan Ara, berat ini buku kamu" ucap kak Veril, dagunya menunjuk pada buku-buku ditangannya

"Lah, yang nyuruh bawain siapa?! Dasar mulut cabe!" ucapku sedikit berteriak

"Yaudah, makanya cepetan elah! berat ini" keluhnya, aku mensejajarkan langkah dengan kak Veril, kasian juga bawa buku banyak pasti pegal

"Ra, kelas kamu dimana?" tanya kak Veril memecah keheningan

"XI Mipa 1 kak" jawabku masih terus melangkah menaiki tangga, hingga saat sampai pada tangga terakhir aku berhenti diikuti kak Veril, Aku menunjuk salah satu pintu berwarna hijau yang letaknya berada paling pojok--dekat kantin, kak Veril mengangguk lantas kami kembali mengayunkan kaki. Memang jarak Kelas XI Mipa 1 ditempatkan pada ruangan yang dekat dengan kantin bagian atas, entahlah aku juga tak mengerti tapi katanya sih karena anak Mipa itu jauh lebih disiplin. Tapi faktanya? No!.

Kami memasuki kelas bersama, membuat banyak pasang mata menatap penasaran. Kak Veril meletakkan tumpukan novel diatas meja yang tadi kutunjukkan

"Aku kekelas dulu ya, nanti pulang aku antar" kak Veril  mengacak puncak kepalaku lalu berlalu pergi tanpa menunggu persetujuan, memang benar-benar tukang perintah.

"Ekhem, acie cie yang dag dig dug ser," suara ledekan yang shinta lontarkan membuat teman-teman dikelas menatapku.

"Pe'a si Shinta, bukane ngrewangi malah gawe isin" gerutuku menggunakan logat jawa, membuat sinta dan beberapa siswa lain tertawa

"Shin, Lina sama Tania mana?" tanyaku mengalihkan topik. Tapi memang benar saat ini aku tak mendapati keberadaan dua sahabatku itu dikelas

"Oh, ke toilet katanya, diakan biasa pacaran sama closet" seloroh Shinta

Aku mengedarkan pandangan melihat teman-teman yang sudah kembali fokus dengan kesibukan masing-masing. Huh, akhirnya aku bisa kembali bernapas lega

"Kenapa sih celingak-celinguk nggak jelas" tanya Shinta menatapku aneh

"Nggak!" jawabku ketus

'Ndadak takon, jelas wade lah. Dasar bocah gemblung' aku membatin

"Guys ayok pulang!!. Guru-guru ngadain rapat dadakan jadi kita bebas!!" suara teriakan dari ambang pintu mengalihkan semua pandangan siswa dalam kelas termasuk aku dan Shinta

"Eh! Lina, kata siapa Lo?!" tanya Shinta balik berteriak, membuatku menutup telinga

"Gendang telinga aku bisa hancur Shin, kamu teriak kaya gitu!" ucapku pada Shinta

"Eh maaf, itutuh si Lina mulai duluan" gerundel Shinta membuat Lina mendelik tajam

"Enak aja lo nyalah-nyalahin gue!" Lina yang dituduh memberengut tak terima

"Udah-udah, kalian ngapain ribut sih!" aku menimpali, bisa-bisa gak ada selesainya kalau mereka ribut.

"Emang beneran boleh pulang Lin? Nggak dikasih tugas apa? Terus Tania mana?" tanyaku beruntun pada Lina

"Dikasih sih, tapi kan bisa dikerjain dirumah. Sinta udah nungguin di gerbang depan, ini gue mau ambil tas gue sama tas dia sekalian, lagian tuh temen-temen yang lain udah pada pulang kok!". Aku mengangguk, kemudian melongo beberapa saat setelah menatap kursi-kursi yang kini kosong, yang benar saja, belum ada lima menit Marlina mengumumkan untuk pulang tapi kelas sudah macam kuburan.

"Yaudah deh Aku juga pulang duluan ya Lin, Shin"  pamitku sambil merapikan buku dan memasukkannya kedalam tas

"Eh, gak main dulu Ra?" tanya Shinta

"Iya dih, masih siang juga" ucap Marlina menimpali

"Nggak Bisa Shin, Lin, kalian main berdua dulu aja ya? Ajak Tania sekalian biar rame. Soalnya kan Kak Angga lagi diluar kota, jadi aku harus pulang cepet" jelasku pada mereka lalu menggendong tas biru milikku, mereka tampak mengangguk lesu

Selang beberapa saat setelah sahabat-sahabatku pulang, aku masih duduk dihalte menunggu bis dengan beberapa siswa lain yang tak kukenal.

"Ayo aku antar" aku terkesiap ketika seorang laki-laki dengan kencang menarik tanganku, membuatku hampir jatuh karena tadi dalam posisi duduk

"Nggak kak! Lepasin, Aku bisa pulang sendiri" tolakku berusaha melepas genggaman tangan Kak Veril

"Timbang ngikut aja apa susahnya sih Ra?!" bentak kak Veril membuatku menatapnya tajam, berani sekali dia memerintahku

"Lepasin tangan dia brengs*k!" ucap seseorang, membuat aku dan kak Veril refleks menatapnya.




Siapa kira-kira ya?
Kok ngegas?
Jangan-jangan ...
Udahlah tebak sendiri aja ya

_jangan lupa vote and comment_

Veril-Ara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang