23

26 4 2
                                    

'Semakin banyak kenangan yang di buat maka semakin sakit pula ketika seseorang itu tiba-tiba meninggalkan tanpa sepatah ucap'
_G.A_

Quenzha Azkiara

Aku menatap takjub kearah danau, lampion warna-warni menghias indah dari mulai parkiran tempat Kak Veril menyimpan mobil hingga jalanan yang mengarah ke danau ini, bahkan sampai pada pinggiran danau pun tampak lampion-lampion itu membias indah dalam air.

Aku tak menyangka bahwa Kak Veril akan mengajakku kesini, awalnya aku tak ingin mengiyakan ajakannya namun entah kenapa setelah hati dan pikiran sempat berdebat hebat akhirnya keputusanku memilih tak menolak. Dadaku tiba-tiba bergemuruh saat tangan Kak Veril terasa menggenggam tanganku

"Ayo" ajak Kak Veril lembut, aku hanya mengangguk mensejajarkan langkah dengannya

Kak Veril melepaskan tautan jemarinya dari tanganku, memintaku duduk di kursi kayu yang letaknya dibawah pohon

Desir angin malam terasa dingin menyapa membuat kedua tanganku bergerak memeluk tubuh sendiri

"Dingin?" tanya Kak Veril yang berjongkok di depanku, sorot matanya terasa amat mendamaikan hati bahkan seolah mampu memberi hangat pada ruang kosong yang semula beku. Aku masih terdiam menatap tanpa berniat menjawab, Kak Veril tampak tersenyum kecil, aku menggelengkan kepala

"Kalau kamu kalem gini aku malah jadi takut," ucap Kak Veril membuatku mengernyit bingung

"Kamu nggak kesambet kan?" tanyanya membuat tangan ini refleks menonyor dahinya

Ia terkekeh, apakah aku selucu itu?, Kak Veril meraih kedua tanganku, dogosok-gosokkannya tanganku dengan tangannya

"Masih dingin?"

"Enggak Kak" jawabku tersenyum.

Apa mungkin aku telah luluh olehnya? Tuhan ... dulu aku teramat menginginkan cinta, tapi ketika aku kehilangan mereka yang mencintaiku sebesar-besarnya aku perlahan mulai menutup mata, mengabaikan perasaan sepi yang mendera pun mengabaikan orang-orang yang datang dengan segudang peduli tapi nyatanya hanya pura-pura belaka.

"Mau pulang?" tawar kak Veril

"Lima menit lagi" jawabku diangguki olehnya, Kak Veril berdiri dari posisi semula lantas mendudukkan diri tepat disamping kananku

Aku menatap langit, tidak tampak ada bulan atau satupun bintang yang tergantung disana. Kami saling diam dengan pikiran masing-masing.

"Kak, ayo pulang sekarang," pintaku setelah merasa mulai bosan, Kak Veril menurut. Kami berjalan menuju parkiran.

Baru saja aku hendak membuka pintu mobil terdengar dering ponsel dari gawai Kak Veril, ia sedikit menjauh dariku. Tak lama kemudian ia kembali menghampiriku dengan raut muka yang tak bisa terbaca

"Ra, kamu bisa pulang sendiri kan?" belum sempat kubalas ucapan laki-laki itu dan memberi persetujuan, tapi ia lebih dulu masuk mobil dan meninggalkanku diparkiran.

Aku mendengus kesal, bagaimana bisa laki-laki bermulut cabai itu mengajak lalu meninggalkanku ditempat asing seperti ini? Akhirnya, kuputuskan untuk mencari taxi atau kendaraan umum seraya berjalan dipinggiran jalan, belum kutemui satupun kendaraan umum atau taxi dari semenjak beberapa menit yang lalu, suasana jalanan begitu sepi, langkah kaki ini terasa mulai lelah, lagi ... aku menatap langit dengan banyak pertanyaan yang hanya terucap dalam kebisuan

Bagaimana bisa aku meyakinkan hati untuk berharap? Bahkan ketika dalam jangka waktu sangat dekat aku kembali dibiarkan sendiri dan tersesat, aku takut ... aku takut dihempaskan ketika hatiku sudah benar-benar melambungkan harap begitu tinggi.

Veril-Ara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang