"Selamat datang..."
Kedua netra bening perempuan itu mengamati suasana kota yang cukup padat. Orang-orang hilir mudik tiada habisnya. Sesekali maniknya menangkap seseorang yang berjalan sendirian atau beberapa orang—yang sepertinya rekan kerja—terlihat saling mengobrol. Mereka tampak sibuk sekaligus bergairah untuk segera pulang dan mengistirahatkan diri setelah lelah seharian bekerja.
Ya, saat ini jam menunjukkan waktu yang tepat untuk pulang kerja. Setiap penjuru jalan ramai oleh mereka yang tak sabar menemui kenyamanan di rumah. Sangat berbeda dengan dirinya yang tengah duduk santai di sini. Di sudut kafe yang belakangan ini ia datangi.
Alunan lagu klasik, remang lampu kekuningan, serta aroma kopi yang manis seakan mewarnai atmosfer dunianya. Menemaninya menikmati tayangan yang tidak pernah ia jumpai di kota 'sunyi' tempat dirinya tinggal dulu. Kota Hoekstil.
Di saat seperti inilah perempuan itu merasa bahwa hidup tak selamanya menyesakan. Ia justru merasakan hampanya dunia tatkala dirinya menyadari betapa kesepiannya ia saat ini—di tengah gegapnya kota. Itu membuatnya menghela napas berat. Segala lelahnya ia tuangkan pada dunianya yang kelabu. Tidak, bukan berarti tanpa warna, hanya saja ia butuh dibubuhkan sedikit warna pelangi yang lebih teduh, jingga misalnya.
Kaca besar di sampingnya memantulkan samar bayang wajahnya. Ia melihat seorang gadis dengan bibir yang mengatup. Jujur saja, ia benci melihat itu. Sedangkan otaknya bertanya bagaimana cara untuk tersenyum.
Dilihatnya waktu yang terus berjalan di pergelangan tangan. Membunuh waktu tidak semudah itu. Hampir 3 jam ia menghabiskan waktu di kafe ini, tepatnya 10 menit lagi, dengan secangkir americano hangat, secangkir ice coffee espresso, dan dua cangkir matcha latte, ditambah kudapan manis strawberry cake yang berharap dapat mengembalikan mood perempuan itu.
Namun nihil, tak ada satu pun yang mampu membuatnya tersenyum. Mungkin hanya hujan yang paham perasaannya saat ini. Bagaimana pun benar kata orang, rintik hujan yang turun adalah cara yang tepat untuk menggambarkan suasana hati yang tengah dirasakan perempuan itu.
Benar saja, rintik air itu perlahan jatuh dari langit yang kian menggelap. Antara menyenangkan atau justru menyebalkan, seolah tahu suasana hati perempuan itu, langit semakin menjadi-jadi menjatuhkan kekuatannya, membuat jingga-yang menjadi satu-satunya penghibur-hilang ditelan kelabu. Ia semakin murung. Namun, di lain sisi, lagi-lagi suasana seperti ini yang paling tepat menggambarkan kesepiannya.
Kedua manik itu menjelajah keluar jendela, mencoba membuang bosan yang menguasainya. Tak jauh dari kafe, seorang lelaki tampak keluar dari sebuah toko kecil yang menjual barang-barang antik. Ia mengetahui toko itu setelah sekali mencoba melangkahkan kakinya masuk untuk membeli mesin tik antik yang menjadi incarannya saat itu. Sekitar tiga bulan yang lalu.
Lelaki itu terlihat menatap jalan sekitar, lalu tangannya membuka payung hitam yang ia bawa sejak tubuh tingginya muncul dari balik pintu toko. Senyuman lembut selalu tampak di wajahnya sembari mengangguk ringan saat seseorang lewat di hadapannya dan tak sengaja bersitatap mata dengannya. Seakan ia benar-benar mengenal mereka, atau hanya sekedar mencoba bersikap sopan.
Entahlah, sang pemuda terlihat sangat mempesona, seolah ada sesuatu yang mampu menarik manik perempuan itu dan membuatnya tak dapat melepas pandang darinya. Jika kau adalah seorang penggemar drama Korea atau film-film romantis Thailand, maka lelaki itu adalah gambaran dari tampannya sang pemeran utama.
Lelaki itu seketika menghentikan langkahnya saat dirinya bersisih jalan dengan seorang ibu tua yang menggendong anak balita di dalam pelukan. Ibu itu tampak kuyup dengan tudung lusuh yang mencoba menutupi kepala dan tubuh anaknya. Tanpa perlu waktu lama, payung hitam itu sudah berpindah tangan dan melindungi kedua tubuh lusuh itu.
Sekali lagi, lelaki itu tampak mempesona saat ia tersenyum. Kedua tangannya menempatkan sebuah bungkusan kecil di tangan sang Ibu—yang perempuan itu pun tidak tahu apa isinya. Ia hanya bisa menebak-nebak dengan sorot mata yang semakin tajam, hingga lelaki itu meninggalkan sang Ibu yang kini menyunggingkan senyum syukur.
Seakan tali takdir sudah mengikat kedua insan yang tak saling mengenal itu, entah bagaimana langkah kaki jenjang itu mendekat ke arah kafe dengan sedikit larian kecil dan tubuhnya yang mulai kuyup. Sebuah senyum kini semakin jelas tercipta di wajah perempuan itu yang sedari tadi murung. Dalam dadanya yang hampa ada sedikit debaran. Ia tahu, saat ini merah muda telah mengganti kelabunya. Ia sedang jatuh cinta.
***
Dering lonceng kafe berbunyi yang menjadi tanda bahwa seseorang datang. Sapaan ramah pelayan kafe dan ucapan selamat datang membuat lelaki itu kembali memamerkan senyum. Wajah yang sedikit menengadah dengan bola mata menjelajahi setiap nama menu di layar monitor, membuat dirinya terlihat semakin menawan. Senyuman di wajah tampan itu tidak luput sama sekali.
"Vanilla Sweet Cream satu," ucap lelaki itu menentukan pilihannya, sembari mengeluarkan dompet kulit dari kantung belakang celana.
"Cold, ya? Atas nama siapa?"
"Bomi."
"Ada lagi pesanan lain, Kak Bomi?"
"Itu saja dulu," tolak lelaki bernama Bomi itu dengan ramah yang mampu membuat si pelayan tersenyum.
Lelaki itu, Bomi, mengedarkan pandangnya mencari tempat yang tepat untuk bersantai. Tak lama, ia tersenyum dengan sedikit binar pada kedua netranya. Setelah menemukan kenyamanan, dengan sigap lelaki itu menuju ke arah meja bulat dengan dua bangku kosong di sisi jendela besar yang menayangkan rintik hujan yang masih cukup deras.
Bomi menempatkan tubuhnya di salah satu kursi. Punggungnya membelakangi kedua mata yang sedari tadi setia mengikuti iringan langkahnya. Dilipatnya kaki jenjang itu sebagai tanda bahwa lelaki itu merasa nyaman.
Tak lama, seorang pelayan datang membawa pesanan yang ia minta. Segelas vanilla sweet cream yang terlihat manis.
Entahlah, dirinya pun tidak tahu mengapa ia memesan minuman dingin di cuaca hujan seperti hari ini. Terlebih dengan kondisi tubuh dan bajunya yang masih meninggalkan gigilan-gigilan kecil pada gigi. Namun, yang ia tahu, kenangan itu membuatnya menjadi suatu kebiasaan atau bahkan keistimewaan.
Bomi meraih gelas di hadapannya, menyeruput sedikit vanilla dengan cream yang kini memenuhi bibirnya. Rasa manis kini menyelimuti kerongkongan, melelehkan saliva yang kini membuatnya semakin ingin merasakan lebih.
Bomi mengisyaratkan 'manis' seperti bunga merah muda dengan kelopak yang sangat indah di musim semi. Selalu hangat dan harum. Tak peduli kapan waktu dingin akan datang, selama itu ia akan terus tersenyum.
Rasa manis itu kini perlahan menghangatkan tubuhnya, seakan menyeimbangkan perasaannya. Manis menjadi penetral tubuhnya yang dingin. Keharuman yang ia rindukan pun membuat senyumnya semakin indah. Ia kembali merasakan jatuh dalam cinta yang sama seperti dahulu.
Lelaki itu merasa benar dan bangga berada di sana, ditemani dengan segala nostalgia antara dirinya dengan sebuah bunga gugur yang ia yakini dapat tumbuh dan mekar kembali suatu saat nanti.
.
.
.
"Tak peduli seberapa lama kita berpisah, selama tali takdir ini belum terputus, kita akan kembali bertemu dan saling jatuh cinta pada perasaan yang sama. Senang bertemu lagi denganmu, Hanni."
-Bomi
KAMU SEDANG MEMBACA
Nice To Meet YOU
RomancePandangan Bomi memotret wajah cantik seorang perempuan yang tengah memandangnya dari kejauhan. Tanpa keduanya sadari, Tuhan sedang menuliskan cerita dari sebuah kehilangan. Setiap langkah lelaki itu menjadi awal bahagianya, dan juga rasa sakit. Namu...