"Ini yang Kau bilang jauh lebih baik?" Tajam Suga membuat Yuri perlahan menundukan wajahnya.Suga kembali menciptakan jarak diantara keduanya usai memeriksa kejanggalan yang sejak tadi Ia sadari, dengan kembali berdiri pun berkacak pinggang setelahnya.
"Siapa yang memukulmu?" Santai Suga lagi masih dengan tatapan tajam menatap Yuri seakan meminta penjelasan.
Yuri hanya diam tidak berani menjawab. Memilih bermain dengan kedua jemarinya itu menyalurkan rasa takut, pun gugup yang mendalam.
Lagi-lagi Suga menghela nafas ringan. Ia tidak terlalu suka melihat orang yang diminta bercerita malahan diam dan pura-pura kuat. Bukankah itu terdengar seperti drama?
"Terserah jika tidak mau memberitahu. Urusanmu juga." Kali ini Suga berjalan mendekat kearah komputernya, sebelum pada akhirnya suara soprano itu menghentikan langkahnya.
"Ayahku.." Lirih Yuri mencoba jujur dengan Suga.
Sama halnya dengan Suga. Yuri juga tidak suka berdrama ria. Cukup Ia terlihat sangat kuat didepan adiknya. Tetapi tidak didepan Suga. Sungguh, Ia ingin mencurahkan semua keluh kesahnya pada Suga. Jika saja pria itu tidak keberatan.
Sebenarnya sepatah kata dari Yuri cukup membuatnya terkejut. Namun siapa lagi kalau bukan Suga yang pandai menyembunyikan kepanikan, bahkan ketakutan.
Bersamaan pria itu berbalik menghadap Yuri lagi. Suga memilih duduk disebelah Yuri, perlahan meraih tangan Yuri dan mengangkat lengan panjang itu hingga kebatas sikunya. Tidak, Suga masih sangat menghargai wanita. Ia tidak benar-benar membuka sampai lengan mungil Yuri terlihat semua, hanya sampai siku.
Dan lagi-lagi Suga dibuat terkejut melihat betapa banyak memar ditangan Yuri. Lantas Suga beralih pada tangan Yuri yang satunya lagi dengan tenang. Ia membuka secara perlahan dan kembali melihat lebam yang sama berada ditangan yang satunya lagi.
"Dan juga ibumu?" Tebak Suga melihat betapa banyak memar juga bekas ikat pinggang yang dipukul kencang pada lengan-lengan Yuri.
Kali ini Yuri memilih menganggukan kepalnya lirih, mencoba membuka semuanya pada Suga. Sungguh, Ia tidak memiliki sandaran lain selain Suga. Teman perempuan tidak punya, orangtua sudah seperti monster, bahkan Ia tetap harus terlihat kuat dihadapkan adiknya walaupun sesekali Ia tidak bisa menahannya.
Hingga detik dimana Yuri meneteskan satu air matanya, seolah membuat sungai kecil pada sebelah pipi Yuri.
Sebenarnya Suga juga masih tidak habis pikir bagaimana bisa seorang orangtua bisa sekejam itu pada anak kandungnya sendiri. Mungkinkan dendam karena saat kecil juga sering dipukuli oleh orangtua sebelumnya? Suga tidak paham itu.
Melihat Yuri berada dititik terendahnya membuat belas kasihan Suga seakan tergerak, refleks menarik Yuri dalam pelukannya. Menepuk pundak gadis itu sebanyak tiga kali, seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Tenanglah." Enteng Suga lagi ketika mendengar isak tangis Yuri semakin jadi.
Suga sangat mengerti hal ini. Ia bahkan masih sangat yakin ditubuh Yuri masih banyak luka lain yang tidak bisa Ia lihat. Bisa saja berada diperutnya, atau mungkin dikakinya.
"Kau sudah melalui hari yang berat." Lanjutnya kali ini mengusap lembut surai panjang Yuri.
Benar. Yuri benar-benar pecah. Ia tidak pernah sekalipun mendapat sandaran senyaman ini. Bahkan ketika menangis dibahu sang adik pun Yuri tidak berani berlama-lama. Mengingat memar sang adik bahkan jauh lebih parah dari Yuri.
Namun? Nyatanya? sandaran saat ini membuat Yuri ingin tenggelam lebih lama lagi. Ia ingin waktu bergerak secara lambat, membiarkan dirinya untuk beristirahat sejenak dari pahitnya hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dependency
RomanceKetika berawal dari persahabatan karena sebuah pertolongan. Hingga membuat gadis itu lama-kelamaan menyadari perasaannya. Selalu mengaggumi sosok yang dingin seperti es, tajam seperti silet, dan pedas seperti cabai. Siapa lagi kalau bukan Min Suga? ...