1:2

29 4 1
                                    


Ketika anak balita seusia tiga sampai tujuh tahun menganggap bahwa waktu itu berjalan sangat lama dan kenapa malam hari rasanya lama sekali, wah percayalah itu kebohongan terbesar yang Ia ciptakan karena bosan dengan bolongnya hari. Seperti seorang remaja yang mulai menginjak bangku menengah atas mengatakan bahwa waktu berjalan sangat cepat. Itu baru pernyataan yang dapat sebagian besar populasi dewasa dan menuju dewasa dapat setujui.

Buktinya tidak terasa benar-benar satu minggu telah berlalu sejak hari dimana Yuri dan Suga saling bercumbu mesra, seakan melampiaskan semua masalah pada ciuman hari itu. Dan sampai sekarang hanya Suga yang tau akan hal itu. Yuri belum. Bahkan Suga tidak ingin mengingatkan.

Takutnya canggung.

Walaupun seminggu ini Suga terlihat seperti biasanya, dingin juga selalu meladeni ocehan Yuri dengan segenap hati. Tetapi dibalik semua itu, melihat Yuri seakan mengingatkannya pada malam itu dan Suga berusaha menutupinya setengah mati. Walau memang sesulit itu, tapi sampai sekarang Suga masih bisa mengontrol kegugupannya.

"Jadi.. Lombanya hari ini?" Tanya Yuri pada Suga yang sedang bersiap dengan seluruh kemeja juga jasnya.

Yap, keduanya baru saja pulang dari kampus. Sebenarnya tadi Suga pulang lebih dahulu karena mendapat ijin untuk lomba, namun satu jam kemudian Yuri ikut menyusul. Katanya kelas terakhirnya ditiadakan perihal sang dosen ada rapat mendadak. Wah, pas sekali bukan..

"Sudah tau masih nanya" pedas Suga membuat Yuri mengerucutkan bibir kesal.

Sudah disusul jauh-jauh dari kampus ke apartement Suga, lihatlah bahkan pujian enggan keluar dari mulut pria itu. Biarlah, lama-lama juga kuping Yuri kebal. Mungkin malah sekrang kuping Yuri sudah kebal, tapi Ia tidak sadar saja.

"Astaga, mulut sama pisau tidak ada bedanya." Gumam Yuri yang jelas masih dapat terdengar ditelinga Suga.

"Tanganmu bagaimana?" Tanya Suga seraya menaikan kemeja panjangnya hingga siku tangan.

Yuri tersenyum kecil, sebelum pada akhirnya menunjukan kedua lengannya itu pada Suga. Walaupun belum terlalu hilang, setidaknya terlihat lebih baik daripada satu minggu yang lalu.

Misal saja Yuri tidak diobati malam itu, mungkin seluruh kampus akan melihatnya sebagai buronan yang habis bertengkar lantaran ketahuan melakukan pembunuhan. Padahal jelas-jelas dia korbannya.

"Ini semua berkat Dokter Suga!" Ujar Yuri dengan senyum manisnya disana.

Beruntung selama seminggu terakhir Yuri benar-benar menghindari orangtuanya. Seperti, pulang lebih awal dari kedua orangtua dan mengurung diri dikamar tanpa berani keluar sekalipun. Atau jika tidak ada pilihan, maka pulang malam misalnya?

Biasanya Suga mengajaknya untuk pergi makan, lalu berakhir Yuri yang menemaninya berlatih piano untuk lomba. Atau mungkin Yuri yang meminta Suga untuk mengajarkannya teori musik untuk ujian tertulis. Dan masa-masa ujian tengah semesternya sudah selesai Yuri lewati. Biasanya memang universitasnya itu tidak terlalu banyak mengeluarkan pelajaran untuk di ujiankan. Tetapi sekali mengeluarkan susahnya bukan main. Mangkanya Yuri sering meminta Suga untuk mengajarinya.

Jujur, sebenarnya Suga itu satu tahun lebih tua diatasnya. Mangkanya Suga bisa lancar menjawab semua pertanyaan Yuri. Namun entah mengapa Yuri sejak dari awal kenal tidak pernah memanggilnya dengan sebutan kakak dan sebagainya. Tetapi disatu sisi, Suga juga tidak pernah risih akan hal itu. Mungkin karena itu tidak terlalu penting baginya.

"Kau ini kenapa sih tidak pernah rapi dalam menggunakan dasi? Padahal interior apartementmu enak dilihat semua." Titah Yuri kesal lantaran Suga mengenakan dasinya sedikit abal-abalan.

Bersamaan gadis itu bangkit dari duduknya, berdiri dihadapan Suga setelahnya. Memilih membenarkan dasi pria itu dengan seksama.

Suga yang melihat hal itu langsung membenamkan kedua jemarinya pada saku celana, padahal tadinya sepasang tangan Suga masih terkejut karena Yuri yang tiba-tiba mengambil ahli untuk membenarkan dasinya.

DependencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang