"Sudah sampai." Ujar Suga lantas menarik tuas mobilnya.Yuri hanya diam tidak merespon, Ia menatap sendu rumahnya dari kejauhan. Sungguh, kalau ada opsi untuk tinggal sendiri, dengan senang hati Ia memilih tinggal sendiri. Namun tentu hal itu tidak dapat terlaksana mengingat masih ada satu orang yang harus Ia jaga mati-matian.
Suga mengerutkan keningnya bingung karena Yuri tidak kunjung turun dari mobilnya, bahkan sekedar melepas seatbelt saja tidak. Mencoba mengerti, Suga menekan tombol seatbelt disana dan perlahan meletakan kembali tali pengaman itu pada tempatnya. Jelas saja Suga seolah memangkas jarak diantara wajah keduanya, hingga bahkan hanya menyisakan beberapa centimeter saja. Mungkin pribadi bermarga Min itu tidak merasakan apa-apa. Namun lain halnya dengan Yuri yang mencoba mengatur detak jantungnya.
Apakah aneh? sebegitu banyaknya kaum adam yang mengantri untuk menjadi kekasihnya, bahkan pria tertampan satu kampus pun pernah menyatakan perasaannya pada Yuri. Namun dengan santainya Yuri menolaknya, dengan alasan simple.
"Aku tidak suka pria yang hanya bermain-main dengan hati wanita"
Bukannya Yuri peramal atau bagaimana. Tetapi Ia dapat melihat mana yang benar-benar tentang wanita, dan mana yang hanya untuk memuaskan fantasi semata. Dan kebanyakan dari pria yang menyatakan cinta untuknya itu hanya melihat luar Yuri saja, tidak dengan dalamnya. Bahkan banyak dari mereka yang terkenal sangat mudah mematahkan hati wanita. Mantan sahabat-sahabatnya adalah salah satu korban mereka. Maka dari itu Ia tidak memiliki teman perempuan.
Dan yang lebih anehnya lagi Ia lebih berdebar dengan orang yang seperti Suga dibandingkan dengan pria tertampan satu kampusnya itu.
Aishh Jantung sialan.
Mungkin umpatan Yuri dari dalam hati tidak terdengar, namun Ia tidak menjamin ritme jantungnya tidak terdengar hingga ke telinga Suga.
"Kau punya masalah jantung?" Tanya Suga ketika sudah kembali pada posisi semula setelah menbenarkan seatbelt roda empatnya itu.
"H-hah? Tidak. Hanya saja cuaca disini terlalu panas. Jadi jantungku juga menyesuaikan cuaca yang ada." Ngawur Yuri yang hanya mendapat anggukan samar dari Suga.
Entah memang Suga yang bodoh, atau tidak mau tau, tetapi pria itu dengan santainya berucap tegas. "Sana pulang."
Ya.. Anggap saja Suga memang bodoh. Jadi Yuri hanya dapat menghela nafas kecil dan menarik gagang mobil sana. Detik dimana dirinya berdiri dari luar mobil, Yuri sedikit menunduk untuk menyamakan tingginya dengan kaca jendela mobil yang sudah terbuka sejak tadi.
"Terimakasih untuk hari ini Suga.. Ah iya, besok Kau selesai kelas terakhir pukul berapa?"
"Enam. Dan Aku harus bekerja paruh waktu," Ujar Suga santai.
Lantas Yuri hanya mengangguk-anggukan kepala lirih dan kembali berdiri tegak. "Besok Aku akan menemanimu bekerja paruh waktu."
Tidak mendapat jawaban dari Suga, malahan pria itu menutup kaca jendela yang tadinya terbuka. Satu buah bunyi klakson memenuhi rungu, menandakan pamit dari Suga, lantas menginjak pedal meninggalkan Yuri didepan rumahnya sendirian.
Yuri menghela nafas kecil disana. Memang kalau menghadapi pria sedingin es batu itu harus sangat sabar.
"Aku pulang." Lirih Yuri setelah melepas sepasang flat shoesnya, bersamaan menggantung jaket yang Ia pakai barusan.
Yuri dapat bernafas lega karena mengetahui orangtuanya sudah tidur disana. Memang butuh waktu yang sangat lama agar terbebas dari kedua monster itu.
Mencoba tenang, kaki jenjang itu berjalan mengendap-endap kedalam kamar. Namun hal itu tidak berlangsung mulus ketika Taehyung keluar dari kamar tidurnya. Hampir saja jantung Yuri lepas dari tempatnya saking terkejutnya. Untung yang keluar disana adiknya, bukan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dependency
RomantizmKetika berawal dari persahabatan karena sebuah pertolongan. Hingga membuat gadis itu lama-kelamaan menyadari perasaannya. Selalu mengaggumi sosok yang dingin seperti es, tajam seperti silet, dan pedas seperti cabai. Siapa lagi kalau bukan Min Suga? ...