Langit mulai menampilkan warna jingga bersama matahari yang meredup di upuk barat. Dari balik jendela terlihat tetesan hujan membasahi bumi, bahkan jendela seakan mengendus seolah memberitahu dengan dinginnya hujan datang.
Semua seakan mengerti perasaannya. Menangis bersama bacaan al-quran dengan suara pelan yang menemaninya.
Tangisnya sebagai ungkapan rasa sedihnya.
Sesekali Ayyara menghapus air mata untuk menjaga air mata untuk tidak jatuh pada ayat demi ayat suci-Nya.
Perlahan lembar demi lembar itu terlewati dengan semua membaca niat karena Allah.
Ia seakan mendapat sedikit ketenangan ketika bersujud kepada-Nya, lalu membaca firman-firman Allah itu.
Ia terisak lagi, dan lagi. Masih bisakah ia berharap semuanya hanya mimpi semata?
Namun, saat ia menyentuh banyak hal. Ia dapat merasakannya.... bahwa ini benar-benar nyata!
Tess.. tes..
Ayyara menghapus pipinya yang masih belum kering dengan air mata yang sebelumnya. Seolah semua tidak cukup menamparnya dengan mata dan telinga yang selalu sadar akan sebuah kenyataan.
Tok.. tokk..
Disisi lain seorang laki-laki mengetuk pintu kamar villa itu dengan secara pelan.
"Assalamualikum."
Ayyara yang mendengar salam segera menghapus air matanya. Dan mengakhiri bacaan, menutupnya, lalu menyimpan al-quran itu di atas nakas setelah menciumnya terlebih dahulu.
"Waalaikumsalam. Buka saja pintunya."
Cklek.
Hening. Ditambah ruang kamar itu gelap. Itu yangdirasakan sang pemilik yang mendatangi kamar itu.
"Boleh saya nyalakan saklarnya?"
"Iya." jawab Ayyara tahu siapa pemilik suara itu.
Ia sadar betul dan tidak perlu mempertanyakan apapun jika seseorang menemuinya. Itu haknya. Ia sadar betul dalam kesedihannya ini.
Ia tidak berniat menyalakan lampu, selain lampu tidur yang menemaninya juga sebagai cahaya untuknya membaca Al-qur'an sejak tadi.
Seketika lampu kamar itu pun menyala. Menampilkan betapa berantakannya kamar itu.
Sprai dan taburan bunga berserakan menjadi pemandangan tak mengenakan.
Ayyara hanyalah manusia biasa. Ia marah tadi sejadi-jadinya hingga memberantakan kamar pengantin itu. Seorang diri. Kamar yang seharusnya menjadi malam pertama ia akan menjalani kehidupan bahagia bersama dia. Tapi Handi memutuskan pernikahan ini! dengan pesan yang menyakitkan.
Mengingat itu Ayyara menangis lagi, ia menghapus air mata dengan ujung mukena yang di pakainya. Membelakangi seseorang yang masuk.
Seharusnya ia tidak secengeng ini. Ini bukan dirinya. Ia tidak bisa menangis di hadapan siapapun. Termasuk kakak ipar yang menjadi suaminya sendiri sekarang.
"Ma..maaf Mas Haffa, kamarnya berantakan." ucap Ayyara sedikit serak akibat tak berhenti menangis semenjak acara siang tadi selesai.
"Biar Yara bereskan dulu." Lagi Ayyara berbicar menarik napas untuk mengisi rongga paru-parunya yang terasa sakit.
Sebuah tangan menahan lengannya. Ayyara menoleh dan mendapati Arhaffa yang menatapnya dalam dengan sorot yang tidak dapat diartikan olehnya.
"Maaf." ucapnya sadar melepas tangan itu.
"Kamu tidak perlu membereskannya. Biar nanti saja."
Ayyara hanya diam mendengar itu bersamaan dengan suara azan magrib yang terdengar. Saling terdiam dengan lafaz-lafaz seruan itu. Seruan yang di tunggu-tunggu seluruh umat muslim di dunia.
"Em, kamu mau menunaikan shalat berjamaah dengan saya?"
Ayyara tercekat, kembali menatap sepasang mata yang selalu menghipnotis itu. Tatapan yang selalu berubah. Yang biasanya tajam tetapi meneduhkan, kini berubah seperti menatap kasihan kepadanya.
Ia tidak butuh itu!
"Tentu."
Hanya ucapan itu. Sebelum mereka mengambil wudhu kembali.
Dan melaksanakan shalat magrib berjamaah. Ayyara sesekali meng-amini saat bacaan terakhir al-fatihah itu. Mengikuti dan mendengar jelas bacaan selanjutnya sebagai makmum.Bahkan ketika ia menunaikan shalat. Ia berusaha untuk tidak menangis. Merasakan betapa hatinya merasa sakit sesakit-sakitnya.
Ketika mendengar surah Al-Insyirah yang ia dengar dari imamnya. Membuatnya tertegun. Surah Al-Insyirah yang berarti kelapangan. Seakan menjadi pengingatnya kini.
Ayyara beralih mendekati samping Arhaffa setelah mereka selesai shalat berjamaah dan berdoa bersama.
Arhaffa tidak mengerti ketika Ayyara menyodorkan tangannya.
Ayyara sedikit tersenyum. Senyum palsu yang ia tampilkan sepanjang hari tadi. Senyum yang Arhaffa benci. Seolah dia bahagia, dan menahan semua kesedihannya seorang diri dengan 'baik-baik saja' padahal kebalikannya!
"Yara boleh cium tangan Mas Haffa?"
Arhaffa sedkit terkejut dan dengan ragu mengulurkan tangannya kepada Ayyara.
Dengan lembut Ayyara mencium punggung tangan calon imamnya itu. Setelah itu ia menunduk.
"Maaf Mas Haffa, karena Yara, Mas Haffa harus terjebak ke dalam masalah yang seharusnya Mas Haffa nggak terlibat." sendunya benar-benar merasa tidak enak.
Arhaaffa belum merepon apa-apa.
Dan Ayyara mengangkat wajahnya dan menarik sudut bibirnya. Berusaha tersenyum lagi, walau kini matanya memerah akibat terlalu lama menangis.
Dan melihat itu, Arhaffa membenci apa yang telah terjadi. Baru kali ini ia merasa ingin menyalahkan takdir.
Kenapa takdir tidak membuat dia mencintai dirinya saja?
Ia akan dengan sepenuh hidupnya akan berusaha tidak akan membuatnya menangis seperti ini.
Ini lebih menyakiti dirinya sendiri."Terima kasih mau membantu keluarga Yara selama ini. Mas Haffa terlalu baik, hingga masalah adik iparnya ini pun harus ikut terlibat."
"Yara nggak tahu harus berbicara apa." ucapnya kembali menunduk. Ia terbang kekejadian sebelumnya.
"Yara mau menikah dengan Mas Haffa."
Ayyara mendekat ke arah mereka yang berniat pergi dari ruangan itu. Ayyara berdiri dihadapan kedua orang tuanya.
"Kamu serius?" tanya Abinya.
"Kamu tidak bercanda, kan Yara? Umi tanya sama kamu." Uminya menelisik.
Ayyara mengangguk.
"Abi benar. Selama ini terlalu egois. Terlalu keras kepala dan memaksakan kehendak Yara sendiri. Tanpa memikirkan siapapun."
Tak ada suara. Mereka sama-sama mencerna apa yang baru saja terdengar.
"Kita harus persiapkan kedua pengantinnya. Tidak ada waktu lagi."
"Dan, kamu Yara,.."
"..semoga ini yang terbaik. Pilihan yang benar-benar akan merubah hidupmu.""Aku memang hanya Bibimu, aku tidak membela ibumu atau pun kamu. Tapi aku ingin seseorang mengerti posisi masing-masing yang seharusnya. Selalu ada sebab dan akibat."
"Kamu benar Ser."
Ayyara menggeleng. "Tidak. Yara menerima ini dan berusaha ikhlas. Yara janji tidak akan membuat reputasi atau pun rasa kesedihan di keluarga Yara."
"Yara menerima pernikahan ini."
"Seharusnya saya yang harus berbicara apa kepadamu. Saya tidak pandai berkata-kata."
"Tapi, saya hanya ingin memberitahu kamu satu hal."
Ayyara mengangkat kembali kepalanya.
Detik itu Haffa tersenyum dan menuturkan kata yang tidak pernah terduga sama sekali olehnya.
°°°
200914 *
AR Gumilang
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Langit Jingga | Jingga✔ (Repost)
Spiritual"Mencintai dalam diam, ketika kita tahu. Kita bukan pilihan sebenarnya hatinya, sekalipun kita terikat pernikahan ketidaksengajaan." Arhaffa "Kita sudah berkomitmen bersama. Merangkai masa depan dengan indah. Jadi kembalilah.." Azhandi "Tujuan prins...