Jingga 29. Rumah

4.9K 392 9
                                    

"Gelandangan?" tanyanya menaikan satu alis.

"Harus juga tidur di halte begini?"

Ayyara menegakan duduknya. Matanya beberapa kali mengerjap. Dan sesekali ia melihat ke sekitar terminal yang berada di belakangnya, lalu beralih kepada laki-laki dengan kaus hitam berlengan panjang yang di lipat sampai siku, serta celana cino creamnya memperlihatkan betapa santainya dia.

"Ini beneran Mas Haffa?"

Arhaffa menyisir rambutnya dengan jari-jari. Kepalanya seakan mengikuti lelahnya ia mencari, ketika keringat yang dapat ia rasakan di telapak tangannya.

"Iya, ini saya."

Ayyara mengangguk.

"Kenapa tanya begitu? Saya gak berubah wajah." lanjutnya membuat Ayyara menggeleng karena terdiam.

"Nggak, takut aja halusinasi. Tapi nggak mungkin, Yara udah bawa bawang putih."

"Halusinasi? Bawang putih? Apa hubungannya?" tanya Arhaffa sama sekali tidak mengerti.

"Kata Tante Sera, kalo kita berpergian selalu harus bawa bawang putih. Biar penangkal gak di hipnotis. Bukan maksud syirik, tapi sebuah jalan yang tetap niat berlindung karena Allah." ujar Ayyara.

"Kamu ini, sudah. Kita lanjutkan nanti. Lebih baik kita pulang." Arhaffa mengambil alih koper dengan satu tas, lalu Ayyara mengekori dari belakang Arhaffa yang menggeleng melihat tingkahnya.

Sesampainya di parkiran, dan melajukan mobilnya. Mereka meninggalkan terminal itu.

Dalam keheningan Ayyara memainkan jarinya. Ia merasa bersalah. Sifat buruk dirinya selain sedikit takut kegelapan, ia akan menjadi perempuan ceroboh jika semua tidak di rencanakan. Ia tidak suka seperti ini. Ia membutuhkan perencanaan dalam segala apapun. Dadakan dalam segala hal adalah yang tidak sukainya. Itu sebabnya dia membuat plan-plan hidup.

Ayyara selalu berhasil membuat semua hal sesuai rencana, tanpa kecuali- Ayyara menggeleng. Ia tidak ingin mengingat rencana komitmennya yang nyaris gagal dengan seseorang yang menghilang entah kemana tanpa alasan. Tapi, hatinya entah meyakini sesuatu.

Ayyara terhanyut menyaksikan ramainya sisi jalan raya dari penglihatannya. Walau pun malam begini.

"Kenapa kamu niat tidur di terminal tadi?" tanya Arhaffa memecah keheningan.

Ayyara menoleh, melihat Arhaffa yang terlihat serius menyetir di bawah lampu mobil yang memperlihatkan siluet jelas laki-laki itu.

"Kenapa gak bisa di hubungi?"

Ayyara baru akan membuka mulut, namun lagi Arhaffa lebih dulu menyerangnya dengan pertanyaan selanjutnya.

"Susah ya, tinggal kabari saya?"

Lagi, kan?

Ayyara merapatkan kembali mulutnya, memilih diam dulu dan mendengarkan sifat seseorang yang baru ia ketahui dari Arhaffa.

"Kenapa?" tanyanya lagi dan lagi.

"Kenapa apanya?" santai Ayyara. Ia bingung harus menjawab pertanyaan mana dulu.

Arhaffa menghembuskan napasnya."Kenapa tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya? Hanya diam?" jelas sekali nada suaranya terdengar khawatir.

Ayyara kembali memandang lurus jalanan di hadapannya.

Mau menjawab gimana, ia tidak di beri waktu untuk menjawab dari banyak pertanyaan itu.

"Maaf, Mas Haffa." Ayyara menjeda kalimatnya. Bagaimana pun ia yang salah disini. Ia mengerti itu. Dan memilih kata maaf dari adalah awal pembicaraan Ayyara rasa itu lebih baik.

Cinta di Langit Jingga | Jingga✔ (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang