Jingga 28. Halte

4.8K 372 8
                                    

"Nggak perlu repot-repot Yara." tolak Kiara memperhatikan Ayyara yang telaten mengobati luka di tangannya. Apalagi Kiara merasa tidak enak, ketika Ayyara mau dengan sengaja membeli segala p3k itu di apotek terdekat.

Setelah memasang hansplas, kini Ayyara menatap Kiara.

"Apa segini harusnya ya, kamu diem aja di perlakukan gini. Ini tahap Kdrt, Kia. Dengan kamu hanya diam, itu bukan kamu. Kamu selalu mengemukakan segala pendapat dan keputusan dengan berani." Kiara menutup wajahnya sebentar, lalu matanya berkaca-kaca.

"Ini beda. Aku tahu, tapi-"

"Tapi apa? Karena kamu terikat pernikahan dengannya? Karena seorang isteri harus jadi penurut?" Ayyara tak percaya. "Jangan karena perjodohan, kamu ngalah-ngalah aja. Kemana sifat pemberanimu itu?"

Kiara mengusap air matanya.

"Aku tahu aku terlalu ikut campur, tapi kamu tahu aku, Kia. Kita udah kayak saudara kandung sendiri. Dan sebagai saudara aku nggak mau kamu kayak gini. Taat dan penurut itu dalam hal-hal baik, kamu tahu benar itu."

Wanita dengan hijab lebar itu menegakan duduknya. Angin berembus di tengah sunyinya malam.

"Ada apa Kia?" ulang Ayyara benar-benar tak paham.

"Aku yakin, dia bisa berubah."

"Terakhir kali aku temuin kamu dalam keadaan yang nggak baik-baik aja, dan sekarang tetep sama. Apa bisa kamu terus berharap sama dia? Barusan dia dengan sengaja menancapkan kukunya pada kulit tanganmu sampai berdarah."

"Abi dan Umi kamu tahu soal ini?" Kiara menggeleng.

"Aku bisa hadapi sendiri, Yara. Tolong."

Ayyara mengangkat tangannya. Bukan tandanya ia menyerah, namun tanda ia harus mengerti dulu.

Dan ketika mereka di pertemukan bukan tanpa alasan, ia tahu. Mungkin Allah memberikan sebuah kekuatan darinya, untuk bisa menguatkan dan menolong sahabatnya ini.

"Maaf, Yara."

"Harusnya aku yang minta maaf, aku hanya peduli sama kamu, Kia."

''Aku tahu, makasih atas sikap kamu peduli kamu yang tulus dengan khawatirin aku."

"Kia.."

"Mungkin ini karma atas perbuatan aku." helaan napas terdengar, setelah meneguk air mineral dengan menyebut basmalah Kiara melanjutkan perkataannya.

"Aku pernah menyakiti hati seorang wanita, dan kini aku merasakan sakit dengan ujianku. Obsesiku, alasan aku bersalah, berjuang untuk mendapatkan sesuatu hal yang tak seharusnya."

"Menyakiti bagaimana?"

"Kamu nggak percaya?" Ayyara terdiam atas perkataan Kiara. Kiara bukan tipikal wanita pembully atau semena-mena terhadap orang lain. Dia selalu punya dasar dalam setiap tindakan.

"Aku tahu kamu enggak akan percaya, tapi, aku pernah melakukan kesalahan yang sangat aku sesali. Menyakiti seorang isteri dan berusaha merebut suaminya. Ya-- pelakor. Itu aku. Aku tak menerima sebutan itu saat melakukannya, bodoh sekali. Padahal memang sebutan itu pantas. Aku kira memperjuangkan orang yang sudah mempunyai ikatan itu benar, karena sebelumnya kita mempunyai hubungan. Tapi ternyata aku salah. Semuanya kini berbalik. Allah seakan memperlihatkan bahwa berjuang sebenarnya adalah sekarang. Untuk suamimu sendiri, bukan untuk Hadi, orang yang salah untuk diperjuangkan. Karena Hadi mempunyai hak berjuang untuk perasaannya sendiri yang berusaha aku sangkal."

"Hadi? Jadi--"

Kiara mengangguk. "Kamu tahu, aku memang serakah. Mempermainkan perasaan seseorang yang berniat melamarku, dan bodohnya aku mencari yang lain. Mencari lebih, dan lebih, dan ternyata tidak ada yang sepengertian Hadi. Aku hampir saja merusak rumah tangganya. Tapi Allah masih baik, menunjukan bahwa ada secercah cahaya untuk wanita salah ini bisa membuka matanya melihat kebenaran."

Cinta di Langit Jingga | Jingga✔ (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang