Jingga 27. Marahnya Abi dan Umi

5.5K 403 9
                                    

"Yakin?" ragu Shinta melihat sebuah form izin yang tergeletak di meja, dimana Ayyara menelungkupkan kepalanya pada meja dan mengangguk.

"Lo mau izin cuti? Baru juga masuk seminggu ini." sodor Shinta sambil memberikan sebuah cup berisi makanan ringan pedas itu. Ya lidi pedas. Makanan waktu SD itu kini viral di jajakan di onlineshop. Dan kebetulan Shinta selain parther ketika jajan, ia juga si ratu belanja online. Nyari diskonan dia. Dari tren cat warna rambut, kutek, dan sebagainya adalah sumber Ayyara ikut-ikutan. Walau tidak seperti Shinta yang terlalu banget.

Ayyara menegakan kepalanya. Membersihkan mejanya dari bungkus makanan yang tinggal hanya bungkusnya saja. Ada bekas roma malkist, pocky, serta makanan yang lainnya.

"Gini dong rasanya pedes. Daritadi manis mulu."

Shinta juga mengambil lidi pedas itu.

"Elah kenapa ngambil cuti?" " Shinta menghela napas ketika Ayayra tak merespon hanya bengong-bengong bego di pikiran Shinta. "Pertanyaan gue di anggurin."

Ayyara kembali menyatukan kepalanya pada meja. Bukannya ia tidak mendengar. Ia hanya-- tidak pernah ada yang bisa mengerti.

"Kenapa Handi bener-bener hilang ya. Aku cari-cari dia, seakan jejaknya pun gak ditemuin."

"Ceileh jejaknya. Melankolis banget."

Chika yang baru saja duduk di kursinya itu, mendekatkan diri pada Ayyara berucap.

"Kenapa masih nyari dia sih. Jelas-jelas dia kecewain lo. Ninggalin saat pernikahan sama aja kasih kotoran ke muka kita sendiri." Shinta emosi.

"Aku terlalu mengenal Handi. Dia mengambil keputusan besar pasti dengan pertimbangan jelas. Dia seorang pengacara."

Shinta berdecih.

"Shinta bener, Ra. Sekali pun seorang pengacara. Dia tetep salah." Chika mendukung dan menyomot makanan.

"Besok aku cuti beberapa hari ke Jakarta." Helaan napas Ayyara terdengar membosankan.

"Akhirnya pertanyaan gue di jawab juga. Gue kira otak lo korslet karena galau."

Kini Ayyara memangku dagunya.

"Lo mau jalan-jalan?" Chika melingkup di meja Ayyara.

"Hal yang seharusnya dilakukan."

"Puitis banget. Gak ngerti gue."

"Harus ya semua istri ikut suaminya? Aku gak sadar itu." cemberut Ayyara. "Dia juga gak maksa. Jadi fine-fine aja." Setelah menghirup udara. Ayyara menghembuskannya. "Katanya itu salah. Bener sih, apa harus ya aku nyusul dan tinggal sama dia gitu?"

"Orang tua lo ngingetin posisi serta kewajiban lo. Mereka bener nuntun lo." Shinta menyadari kegalauan temannya.

"Kalian gak ngerti. Pernikahan bukan permainan! Setelah ijab itu, aku rasanya pengen nyerah aja. Untuk apa menikah, gak ada tujuan. Lagian kami gak saling cinta juga!"

"Lo bilang, jangan mempermainkan pernikahan. Tapi tanpa sadar lo mempermainkannya. Bahkan gak anggap suami lo sendiri ada. Bener?" Ayyara tertegun menatap Shinta mengajukan pertanyaan.

"Setuju." dukung Chika mengangguk.

"Jadi aku harus gimana?" Ayyara menyandarkan punggungnya pada kursinya.

"Jalani, dan komunikasi dengan dia. Mau seperti apanya. Baik atau buruk jika di bicarakan bisa membuat solusi, bukan seperti ini."

Ayyara mengangguk setelah bergelung dengan saran yang masuk ke otaknya. "Bener. Gak seharusnya. Walau bagaimana pun ikatan suci ini sah di mata agama dan negara."

Cinta di Langit Jingga | Jingga✔ (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang