▪︎Chapter 3: LEBIH DEKAT▪︎

632 97 26
                                    

     Hari demi hari telah berlalu. Matahari yang bersinar terang menyinari langit kota, seakan mendukung kehidupan Bobby di tempat yang asing ini. Segalanya berjalan lancar, sesuatu yang harus disyukuri Bobby.

     Malam pertamanya menjajakan suara di kafe milik sahabat Dika beberapa waktu yang lalu, disambut meriah dan penuh antusias oleh pengunjung di sana. Tak ada yang kecewa. Pengunjung berdatangan tanpa henti, untuk menyantap hidangan di sana, mengobrol dengan kerabat, atau sekadar menikmati suara Bobby yang indah itu.

     Yovinda, si pemilik kafe, tak bisa berhenti tersenyum melihat orang-orang yang datang di kafenya. Tak pernah kafenya seramai itu. Entah memang Bobby yang pandai memikat pengunjung, Yovinda tak tahu. Yang pasti, performa Bobby untuk pertama kalinya itu amat patut diacungi jempol. Ia bahkan harus menutup kafenya dua jam lebih lama dari biasanya, akibat pengunjung yang memesan makanan dan minuman silih berganti sampai menghabiskan bahan makanan yang harusnya untuk tiga malam ke depan.

 Ia bahkan harus menutup kafenya dua jam lebih lama dari biasanya, akibat pengunjung yang memesan makanan dan minuman silih berganti sampai menghabiskan bahan makanan yang harusnya untuk tiga malam ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      "Dik, kayaknya gue harus nambah kontrak hari buat Bobby, deh. Gila! Pemasukan gue bertambah tiga kali lipat dari biasanya, hanya dalam satu malam! Temen lo bener-bener pembawa keberuntungan buat gue!" Girang si pemilik kafe kepada Dika, saat keduanya tengah menonton Bobby yang sedang asik dengan microphonenya di atas panggung.

      Dika tertawa. Ia sudah yakin hal ini akan terjadi. Sejak mengenal Bobby, ia tahu bahwa potensi Bobby tidak main-main. Dika malah pernah menyarankan Bobby untuk ikut audisi penyanyi yang ditayangkan di saluran tv swasta itu, mendengar suara unik Bobby yang jarang dipunyai oleh orang lain, namun ide itu ditolak mentah-mentah oleh Bobby. "Ogah! Gue males ngantri." Begitu alasan Bobby yang sungguh tak pernah bisa diterima akal sehat Dika.

      "Nggak bisa, bang. Gue juga pengen bang Bobby ada istirahatnya. Lagian, weekend cukuplah. Kecuali lo mau ngasih bayaran sepuluh juta perminggu, gue iyain." Tawar Dika, melirik wajah Yovinda yang langsung berubah menjadi masam. Dika tertawa lagi. Tawaran itu tak mungkin diiyakan oleh Yovinda. Lagipula, Dika hanya bercanda. Ia tak ingin terlalu memforsir tenggorokan Bobby untuk bekerja keras setiap malam. Empat hari selama seminggu, ia rasa cukup untuk bekerja.

      Tak hanya pekerjaannya yang lancar, kehidupan Bobby di lingkungan baru juga berjalan dengan damai. Tetangga-tetangganya ramah dan baik. Terkadang jika bosan dan tak ada tujuan, Bobby memilih untuk nongkrong di swalayan yang terletak tiga lorong dari rumahnya, swalayan tempat ia mengisi daya ponselnya saat pertama kali datang ke lingkungan ini. Walau hanya sekadar menikmati sejuknya angin semilir dari teras kafe yang menyediakan kursi-kursi serta meja untuk pengunjung, atau membantu Wawan si kasir merapikan barang-barang di etalase. Mungkin sebentar lagi, Wawan akan merekrutnya menjadi tukang parkir swalayan jika ia lebih rajin lagi membantu di situ.

      Hal lain yang juga berjalan lancar, adalah hubungannya dengan tetangga kecilnya, Mentari. Sesekali, mereka bertegur sapa jika bertemu di swalayan, saat Mentari membeli susu kotak atau cemilan. Gadis kecil itu benar-benar menggemaskan, namun terkadang menyebalkan. Ia tak main-main saat berkata bahwa tak akan memanggil Bobby dengan nama aslinya. Om Gulali adalah julukan baru yang didapat Bobby selama tinggal di sana, dan Bobby mulai terbiasa dengan panggilan itu. Seakan menjadi panggilan khusus yang baru kali ini ia dapatkan.

Secret Of Flower [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang