▪︎Chapter 1: PINDAH▪︎

1.2K 122 24
                                    

      Tidak ada yang lebih Bobby benci daripada harus berjalan sambil menggeret koper besar di pinggir jalan yang seakan tak berpenghuni di siang terik seperti ini. Entah sudah berapa kali ia mengumpat pada dirinya sendiri, mengapa harus percaya pada map yang membawa dirinya sampai ke jalan sepi tanpa siapapun yang bisa ia temui. Apalagi, ponselnya dalam keadaan mati. Lengkap sudah penderitaannya di kota yang baru saja ia jajaki di umurnya yang ke dua puluh delapan tahun ini. "Sialan Dika!" Lagi-lagi ia mengumpat, kali ini sasaran kemarahannya adalah nama lelaki yang sudah membujuknya untuk pindah ke kota ini.

     Untung saja setelah sepuluh menit berjalan lagi, Bobby mendapati sebuah swalayan kecil yang sepertinya menjadi satu-satunya warung terbesar di tempat itu. "Permisi, Mas," Sapa Bobby pada lelaki yang terlihat berusia sebaya dengannya, sedang berdiri di belakang meja kasir. "Saya pinjam colokan, boleh nggak? Batere Handphone kehabisan daya."

      Lelaki penjaga kasir itu menunjuk stop contact yang tak berpenghuni di pojokan, mempersilahkan lelaki asing itu untuk mengisi daya ponselnya sejenak. Bobby lalu menghubungkan dayanya dengan ponselnya, sedikit bisa bernafas lega, akhirnya ia mendapatkan petunjuk untuk tempat tinggal barunya.

      Setelah ponselnya-akhirnya-hidup, Bobby mendapati setidaknya tiga belas pesan masuk di aplikasi chatnya, yang berasal dari satu orang saja. Pemilik nama yang ia umpati sejak tadi.

      Bobby semakin merutuk dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      Bobby semakin merutuk dalam hati. Dasar Dika sialan! Bisa-bisanya nelantarin gue di kota yang baru gue datengin! Awas aja, kalo ketemu gue habisi!

      Baru saja ibu jarinya akan menekan tombol call untuk nomor Dika, tahu-tahu pemilik nomor itu sudah meneleponnya duluan. Mungkin ia sudah mencoba untuk menghubungi Bobby sejak tadi, namun tak aktif.

      "Sialan! Bangsat! Sini, lo! Gue capek ya jalan kayak orang diusir, lo malah asik-asikan di sana!" Tak ada salam, tak ada sapa. Bobby membuka percakapan mereka dengan segala umpatan yang sudah ia tahan sejak tadi. Namun lelaki yang ia ajak bicara bukannya takut. Bobby malah mendengar suara tawa nyaring dari seberang sana. "Ampun, bang. Ampun. Gue beneran urgent banget tadi."

      "Gue udah kirim map buat ke lokasi rumah lo, kok. Lo di mana sekarang?" Tanya Dika.

      "Di swalayan entah apa namanya ini. Ponsel gue mati pas gue baru masuk di lorong yang ditunjukin peta, dan sekarang gue nggak tau gue di mana."

      "Oh, kalo dari swalayan itu, udah nggak jauh, kok. Lo tanya aja sama kasir di situ. Wawan namanya. Dia bisa nunjukin lo alamat yang gue kasih."

      "Nggak butuh. Hp gue udah nyala, gue bisa liat peta." Bobby masih kesal dengan lelaki yang ia ajak bicara ini. Merasa tak ada lagi yang harus dibicarakan-selain beberapa umpatan kekesalan yang Bobby rasa harus ia utarakan- Bobby lalu menutup saluran telepon itu. Membiarkan ponselnya terisi daya agar ia tak kebingungan lagi ketika akan mencari rumah barunya.

Secret Of Flower [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang