▪︎Chapter 29: MAAF▪︎

367 55 18
                                    

      Deru mobil impor milik Ziandra berhenti di pelataran parkir hotel yang dimaksud Lily, setelah empat puluh lima menit mengarungi jalan raya. Tak menunggu waktu lama, ketiganya keluar dari mobil dan setengah berlari mencari kamar yang dimaksud Lily di pesannya.

      "Kamar 131, di mana ya?" Tanya Bobby pada resepsionis, yang kemudian menunjukkan posisi kamar itu.

      Melewati lift sebanyak tiga lantai, Melati semakin cemas. Tangannya saling meremas, sebagai objek penyaluran kekhawatiran yang ia rasakan. Bobby masih setia merangkulnya, menenangkan sang wanita walau ia sendiri dilanda kecemasan yang tak kalah besarnya.

      Sampai di lantai empat, Ziandra, Bobby dan Melati langsung mencari kamar 131 yang ternyata berada di bagian pojok pada lantai tersebut.

     TOK TOK!!

     "Li, tolong buka." Ujar Bobby terburu, berusaha menahan suaranya agar tak terlalu mengganggu tamu lainnya, apalagi ini sudah hampir jam sebelas malam.

     Tak mendapatkan jawaban, Bobby kembali mengetuk pintu kamar tersebut dengan sedikit keras, padahal ia ingin sekali mendobraknya langsung. "Li, aku mohon—"

     CKLEK.

     Dari balik pintu, sosok Lily akhirnya muncul, dengan wajah sedikit kesal dan menggerutu. "Ribut banget sih. Mentari kebangun kan, jadinya."

     Pintu ia buka lebar-lebar, seakan mempersilahkan ketiga tamunya masuk walau tanpa ucapan kata. Melati dan Ziandra menghambur ke dalam, langsung menjumpai Mentari yang tengah mengucak matanya, masih terduduk bersandar di ranjang dengan selimut hangat menutupi sebagian tubuhnya. "Ibu?"

     Direngkuhnya tubuh kecil itu oleh sang Ibu, mengusap penuh punggungnya serta rambut panjangnya, tanpa terasa air matanya sudah membasahi pundak sang anak. "Loh, Ibu kenapa nangis?"

     Melepas pelukan, Melati tak menjawab selain memperhatikan Mentari dari ujung kaki hingga ujung rambut tanpa ada satu senti yang tersisa, memastikan anak semata wayangnya baik-baik saja. "Ibu kenapa lama sekali jemputnya? Tari sampe ketiduran."

     "Maaf ya sayang. Ibu lama, ya?"

     "Tari, nggak apa-apa?" Kini giliran sang ayah yang bertanya. Tari mengangguk pasti. "Tari ndak apa-apa kok."

      Jawaban polos Mentari membuat napas Melati dan Ziandra terlepas dari rongga dada. Seperti yang mereka lihat, Mentari memang baik-baik saja tanpa ada satupun yang kurang padanya.

     Sementara itu di sisi lain ruangan tersebut, Bobby menyeret Lily menjauh ketika Melati dan Ziandra masih terfokus pada Mentari. Mata Bobby sudah memerah, seakan ingin melampiaskan kekesalan yang sedari tadi ia pendam. "Bukan begini caranya membujukku, Li. Caramu sudah terlalu jauh. Kenapa harus melibatkan orang lain ketika bahkan ini hanya urusan kita berdua?"

     Lily tak menjawab. Menolak untuk menjawab, karena tak tahu harus melakukan pembelaan apa lagi. Ia tahu, ia salah.

     "Aku akan pulang." Sambung Bobby lagi  membuat Lily sontak mendongak dan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Aku akan pulang kalau memang itu bisa bikin kamu puas. Aku nggak mau kamu bertindak semakin jauh hanya untuk menuruti perkataan papa, lalu merugikan dirimu sendiri."

     Kedua tangan Bobby sudah mencengkeram kedua sisi lengan Lily hingga gadis itu hampir meringis. "Aku mohon, ini yang terakhir kalinya kamu seperti ini, Li. Aku mohon—"

     "Om Gulali!!" Teriakan Mentari dari belakangnya membuat cengkeraman di lengan Lily melonggar, sebab setelahnya ia merasakan sebuah pukulan kecil pada pahanya. Mentari sudah menghampiri Bobby dan Lily.

Secret Of Flower [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang