▪︎Chapter 5: KISAH BELUM USAI▪︎

536 89 32
                                    

      Panggilan telepon dari Sonia subuh tadi cukup membuat Melati kelabakan pagi ini. Sarapan dan bekal Mentari disiapkan seadanya, hanya roti tawar sebanyak empat lembar yang diolesi selai nanas dan strawberry.

     Jam delapan, Melati sudah harus berada di lokasi pemotretan. Sungguh, sebenarnya Melati tak suka jika diburu seperti ini, apalagi sebenarnya jadwal ini tak masuk dalam catatannya. Hanya saja, ia tak enak jika harus menolak permintaan Sonia yang sudah sangat baik padanya. "Fotografer studio kita semalam kecelakaan, Mel. Tim udah buntu banget mau hubungi siapa buat gantiin, dan aku keinget kamu. Nggak apa-apa, kan, dadakan begini?" Pinta Sonia dengan nada suara memelas, membuat Melati tak tega.

     "Hey, kenapa buru-buru?" Cegat Bobby yang melihat Melati dan Mentari sedikit berlari di hadapan rumahnya. Seperti biasa, ia sedang memanasi motor matic kesayangannya.

     "Buru-buru, mas. Harus bus pagi, saya ada schedule dadakan pagi ini. Misi, ya, mas." Jawab Melati, lalu berpamitan lagi dengan tetangganya itu.

    Tanpa merespon dengan ucapan, Bobby segera mengambil jaket dan helmnya, menyusul Melati dan Mentari yang sudah berjalan lagi ke arah jalan raya. "Saya antar." Itu bukan kalimat ajakan, tapi kalimat perintah. "Tapi, mas, saya harus ke lokasi, bukan cuma ke sekolahnya Mentari."

      "Saya antar, Melati." Kalimat yang sama terlontar, membuat Melati lagi-lagi harus merepotkan tetangganya itu. Respon Mentari lain lagi. Gadis kecil berumur empat tahun itu malah kegirangan dan melompat-lompat riang setelah tahu bahwa mereka akan naik motor bersama om Gulalinya lagi. Terakhir ia naik motor, itu seminggu yang lalu, waktu Bobby pertama kali menawarkan. Tentu saja ia senang sekali kali ini.

      Matic hitam itu kembali membelah lautan kendaraan yang tumpah ruah pagi itu, menyalip sana sini, mengejar waktu yang terus berjalan tanpa henti. Sesekali, tangan kiri Bobby meraih tangan Melati untuk disampirkan ke pinggangnya. "Nanti jatuh kalau tidak pegangan." Ujarnya.

      Jarak yang lumayan jauh itu ditempuh dalam waktu dua puluh menit saja menggunakan sepeda motor. Melati bersyukur ia masih bisa mengejar bus yang berangkat dari halte dekat sekolah Mentari menuju lokasi pemotretannya kali ini. "Makasih, ya. Saya berhutang lagi ke mas Bobby." Kata Melati setelah mengantar Mentari masuk ke dalam kelasnya, lalu menghampiri Bobby yang –seperti biasa– masih menunggu di depan gerbang.

      Bobby cepat menggeleng, "Saya nggak merasa dihutangi sama Melati, kok. Ayo, katanya mau ke lokasi."

      "Ah, nggak usah, mas. Saya bisa naik bus dari sini. Waktunya juga masih cukup, kok." Tolak Melati halus, sudah tak enak hati mengiyakannya lagi. Tapi bukan Bobby namanya jika menyerah begitu saja.

      "Mau ke daerah mana, memangnya?"

      "Ke kantor majalah yang di daerah utara, mas."

      Jentik jari Bobby berbunyi, diiringi senyum kecil yang terlihat usil. "Kebetulan, saya juga mau ke arah sana. Yuk. Itung-itung hemat duit, kan." Bobby menyodorkan helmnya lagi, membuat Melati tak bisa menolak lagi. Ah, lelaki ini.

      "Lain kali saya traktir ya, mas. Saya nggak enak kalo begini terus." Kata Melati, sesaat setelah motor tersebut kembali melaju menuju lokasi yang dituju.

     "Deal!" Kata Bobby sedikit teriak, takut Melati tak mendengar suaranya akibat terbawa angin. Setelah itu, tak ada percakapan lagi. Hanya tersisa Bobby yang sedang mengendara motornya dengan senyum lebarnya yang tak bisa tertahankan.

       "Mel," Panggil Bobby, ketika Melati sudah turun dari motornya dan hendak masuk menuju gedung kantor majalah itu. "Iya, mas?"

      Bobby lalu menyodorkan ponselnya ke arah Melati, "Saya minta nomor kamu, ya."

Secret Of Flower [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang