23. Ter-ungkap

60.2K 10.2K 1.4K
                                    

Juna belum pulang dari sekolah, Zemira masih terkurung dengan lebam di lututnya serta rambut acak-acakan di kamar. Perutnya terus berbunyi, tenaganya benar-benar tidak tersisa karena dari semalam Ibu tirinya tak menginjinkannya makan.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka membuat Zemira menegakkan tubuh. Tubuhnya gemetar hebat membayangkan itu adalah Ibu tirinya. Namun, seorang gadis berseragam SMP-lah yang memasuki kamar.

"Kakak nangis?" tanya Kia sembari menghapus air mata Zemira yang menggelengkan kepala kuat-kuat.

Zakia menghela kasar kemudian beralih menatap luka di betis hingga lutut sang Kakak. "Ini?"

"Jatuh," jawab Zemira cepat. Zakia menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Gadis itu mengerjap polos kemudian mengangguk pelan.

"Kia setiap hari lihat luka di tubuh Kakak dan Kakak selalu beralasan kalau itu karena jatuh. Apa setiap hari Kakak terjatuh?"

Pertanyaan adiknya membuat Zemira meneguk ludah kasar. Bola matanya berpendar gelisah sementara Kia tiba-tiba bergerak memeluk tubuhnya.

"Kia sayang Kakak. Tolong jangan jatuh lagi, jangan luka lagi," lirih gadis itu membuat Zemira tersenyum pedih dengan tangan bergerak mengusap lembut kepala adiknya. Alasan kenapa ia bertahan.

Sementara Zakia melepas pelukan lalu membuka tasnya dan mengeluarkan satu nasi bungkus dari sana. Gadis itu tersenyum lebar. "Ayo makan. Kia denger dari Mama kalau Kakak gak mau makan tapi sekarang Kia maksa."

Zemira bukannya tidak mau makan tetapi dilarang. Dasar Ibu kejam, pikirnya.

*

Sherly berjalan tertatih di lorong sekolahnya. Ia beberapa kali menoleh ke sana kemari. Kenapa sekolahnya menjadi sepi seperti ini? Sherly memang sudah biasa sendiri dan selalu menunggu sepi untuk pulang ke rumahnya. Namun, jika sebelum-sebelumnya ia melihat ada satu dua siswa yang berlalu lalang tidak seperti sekarang. Benar-benar sepi bahkan satpam serta para guru pun tak terlihat.

Gadis itu memilih menyeret cepat kakinya yang terluka seraya mengangkat panggilan dari Mamanya.

"Kakak kamu sama Elin udah nyampe di rumah. Keluyuran kemana kamu?"

Tidak biasanya Hyura seperti ini karena kemarin-kemarin jika ia pulang terlambat pun, wanita itu sama sekali tak peduli.

"Tumben," dengusnya. Sherly terdiam, ia melihat bayangan berwarna hitam berlari ke barat membuat fokusnya teralihkan lalu tepukan di bahunya membuatnya menoleh ke belakang.

Cani cengengesan sembari berkata, "ada yang nungguin lo di rooftop."

Sherly mengernyitkan dahi, mengabaikan Mamanya mengoceh di seberang sana. Ia menatap tak percaya ke arah Cani yang tersenyum lebar.

"Pergi gih cepet kalau enggak entar lo nyesel lagi," kata Cani lalu berlalu dari hadapan Sherly. Dengan berjalan membelakangi Sherly, Cani menatap tiga lembar uang ratusan ribu yang diberikan Sekar padanya. Imbalan karena kebohongan kecilnya. Namun, ia amat senang karena bisa berbelanja sepuasnya.

Sementara Sherly sendiri memilih mengatasi rasa penasarannya dengan berjalan menuju rooftop. Ia masih menempelkan ponsel di telinganya.

"Kamu dari tadi gak dengerin Mama?" tanya Hyura terdengar kesal dari seberang sana.

Sherly menghela napas. Ia menaiki anak tangga dengan susah payah. "Apa, Ma?"

"Mama dari tadi tegang, Sherly. Gak tahu karena apa," keluh Hyura membuat Sherly memutar bola matanya malas.

"Kenapa Mama gak tanyain aja tuh Si Elin. Dia kan bisa segalanya, kali aja dia bisa ngeramal," sindir Sherly teringat sang Ibu yang terus membangga-banggakan Elina.

TITIK TERENDAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang