Bukan hanya dengan kemampuan/bakatmu, kamu juga bisa menjadi apapun yang kamu mau dengan bermodalkan tekat yang kuat.
****
"Karya sampah!"
"Cerita gak berbobot, gak layak baca bikin sakit mata!"
Seketika ratusan pujian di kolom komentar cerita wattpad-nya terabaikan saat matanya justru fokus pada dua komentar baru yang langsung membuat Sherly membanting ponsel karena kesal.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu membuka kelopak mata yang sejenak ia pejamkan. Netranya menyorot tajam, "sampah bisa didaur ulang."
Dia mengepalkan tangan. Darah Sherly seperti mendidih sementara matanya memanas, sekali kedipan air itu jatuh dari pelupuknya. "Hanya perlu pembuktian."
"Tunggu dan kemudian saksikan wahai ketikan jahannam," kata Sherly menggebu-gebu.
Gadis itu kemudian berbaring, menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Mendadak, dua komentar barusan terngiang dan menjadi beban pikiran.
Apa ia memang tak pantas menjadi seorang penulis? Menulis untuknya bukan sekedar untuk menyalurkan hobby semata, tetapi lewat cerita yang ia buat, ia juga mengekspresikan luka yang ia rasa. Salah?
Mungkin salahnya hanya karena mentalnya yang terlalu lemah. Kenapa ia terus kepikiran? Ambil sisi positif dan tinggalkan sisi negatifnya, tetap bertahan untuk mereka yang mendukung.
"Non Sherly!"
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka menampilkan seorang wanita setengah baya yang memakai celemek. Wanita itu mengulum bibir.
Gadis yang dipanggil Sherly menatap datar. "Apa?"
"Tuan sama Nyonya manggil Non buat makan malam di bawah," tutur wanita itu tak melunturkan senyum.
Sherly terlihat langsung tercekat, gadis itu meremat selimutnya kuat. "B-bi Tini duluan aja."
Wanita setengah baya itu mengangguk sopan lantas membawa langkah kaki pergi dan menutup pintu kamar menyisakan Sherly yang bergerak gelisah di atas ranjang.
Selepas kepergian Bi Tini, Sherly mengatur napasnya yang memburu. "Lo udah biasa, Sher. Udah biasa."
Terus berupaya menenangkan diri. Namun, setetes air mata justru jatuh membasahi pipinya, ia tersenyum pahit. "Tapi rasa sakitnya tetap sama."
*
Baru sampai di ruangan dengan sebuah meja berukuran besar berada di tengahnya, tangannya digeret paksa oleh seorang wanita anggun.
Ketukan higheels yang beradu dengan lantai menggema, Sherly hanya terdiam saat tubuhnya didudukkan paksa dekat seorang gadis sebaya dengannya yang tersenyum manis menatapnya.
"Kamu lihat?" tanya wanita itu antusias. Bergerak memperlihatkan sebuah kertas di tangannya pada Sherly yang hanya berekspresi datar. "Elina dapet nilai tertinggi lagi, dong."
Wanita itu tersenyum begitu bangga dengan tangan mengusap kepala gadis berambut sebahu di samping Sherly dengan lembut.
"Basi," decak Sherly memutar bola matanya malas. "Jelas-jelas aku sekelas sama anak pungut itu, ngapain ngasih tahu berita gak penting ini lagi?"
Mulutnya yang tajam sangat berbanding terbalik dengan apa yang hatinya rasakan. Tak tenang, merasa begitu rendah, dan tak berguna.
Elina Ayushita. Sepupunya yang ditinggal mati kedua orang tua karena sebuah kecelakaan pesawat kala gadis itu berumur empat belas tahun, kedua orang tua Sherly merawat Elina, menganggap Elina seperti anak sendiri bahkan tak membedakannya dengan Sherly anak mereka sendiri.
Atau ... bahkan menurut Sherly, orang tuanya jauh lebih sayang kepada Elina daripada dirinya.
"Kapan kamu bisa kayak Elina?" tanya pria paruh baya dengan suara beratnya.
Tuhkan. Setiap malam, nyaris setiap malam Sherly mendengar pertanyaan yang sama lalu Kakak pertamanya yang luar biasa ia kagumi ketampananya akan menyahut sembari berdecih remeh. "Yang di pikiran dia tuh cuman uang, mana bisa bikin prestasi kayak Elina?"
Terakhir, Kakak terakhirnya yang tak kalah tampan dari Kakak sulungnya akan menyahut dengan senyum miring. "Goblok, sih."
"Sherly dapet nilai tertinggi kedua di kelas aku kok Om, Tante." Elina menyahut sembari menatap tak enak pada Sherly yang menatap tajam dengan memberikan ancaman sembari mengepalkan tangan.
Dan, Hyura ibunya mengusap pipi Elina dengan senyum lembut. "Bunda kamu pasti bangga banget punya anak kayak kamu, Sayang."
Melirik Sherly yang menundukkan kepalanya dalam. "Seandainya Sherly itu kamu."
Maka cukup sudah, Sherly tanpa sepatah kata apapun bangkit dari duduknya bahkan tanpa menyentuh makanannya sedikitpun. Gadis itu meremat kuat dada kirinya sembari berlari pergi dari sana meninggalkan keterkejutan yang kentara dari raut wajah seluruh keluarganya.
"Dasar gak sopan," kesal Samuel, Kakak pertamanya.
Hyura menatap kepergian satu-satunya putrinya itu dengan kening berkerut lalu kemudian tersenyum pada Elina. "Tante dari kecil terlalu manjain dia makanya Tante pengen dia belajar dari kamu."
Elina mengangguk mengerti meski ia yakini, rasa benci Sherly padanya akan semakin tumbuh di hati.
Di sisi lain, Sherly menutup pintu kamarnya rapat. Ia terduduk di pintu yang tertutup sembari memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana.
"Apa aku salah?" tanyanya entah pada siapa. Namun, ia merasa lelah dan tak berarti karena kedua orang tuanya bukan sekali dua kali membandingkan dirinya. Seolah ia begitu kecil di depan Elina yang hanya lebih tua dua puluh hari darinya itu.
Gadis itu kemudian mengangkat wajahnya, tak ada lagi kedamaian dalam hatinya semenjak Elina di sini. Semua perhatian terfokus pada gadis itu.
Suara tawa berasal dari luar terdengar, sementara ia meringkuk menyendihkan sendirian di kamar. Lagi-lagi dia meremat kuat dada kirinya. "Justru aku yang kayak orang asing di sini."
Sherly menghapus air matanya. Tak ada yang salah di sini, orang tuanya melakukan semua itu untuk membuatnya termotivasi. Kenapa ia harus begitu tak nyaman?
Yang jelas, yang orang tuanya butuh di sini adalah sebuah pembuktian. Ia harus membuktikan kalau Sherly bisa menjadi atau bahkan lebih baik dari Elina.
Meski sendirian, dia akan tetap berjuang karena itu, Sherly bangkit dari duduknya lalu mengambil pisau di laci kemudian membuangnya. Kenapa ia harus menyimpan pisau itu?
Kalau puluhan pill dalam botol kecil di laci itu sudah lebih dari cukup untuk menyiksanya?
"Semangat Sherly," seru gadis itu mencoba mengukir senyum. "Aku hanya perlu berusaha keras buat mereka bangga. Akan aku buktikan, Sherly bisa lebih membanggakan dari anak pungut itu."
Semoga saja ia bisa bertahan sampai tujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK TERENDAH
Teen FictionAku menangis, Kalian tertawa. Aku kesakitan, Kalian masih tetap tertawa. Apa jika aku mati, kalian masih tetap akan mentertawakanku? [Tersedia versi Pdf] _____________ Semua orang pasti pernah mengalami TITIK TERENDAH dalam hidupnya. Jika 'belum' ma...