22. Masih Peduli

2.4K 281 14
                                    


'Karena memang kita tak bisa mengatur perasaan harus bagaimana.'

Halalkan Almira

~Thierogiara

***

Hakim sibuk mengelap beberapa meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung, meski pelayan di kafe tersebut juga banyak, namun sebagai penanggung jawab Hakim merasa perlu jika sesekali dia harus turun tangan dan memastikan sendiri kebaikan pelayanan untuk para pelanggan.

Hafa dan Ago masuk ke dalam kafe, hari ini Hago sudah keluar dari rumah sakit, entah apa maksud dua orang tua muda itu, anak baru keluar dari rumah sakit malah dibawa ke tempat ramai.

“Ngapain ke sini? Emangnya Hago udah sembuh?” tanya Hakim menghampiri adik dan adik iparnya itu.

“Udah, nih mau gue bawa ke kamar lo,” ujar Ago dengan santainya melenggang melewati Hakim.

“Kenapa nggak langsung pulang aja? Emangnya Hago udah baik-baik aja?” tanya Hakim yang ikut duduk di kursi kosong meja yang dipilih Hafa untuk diduduki.

“Amang kok Bang, percaya sama Hafa, Hafa kan ibunya, Hafa tau yang terbaik untuk anak-anak Hafa, katanya Kak Ago mau ngelihat kafe, abang kan akhir-akhir ini juga kerjanya kurang maksimal,” ungkap Hafa.

Hakim mengangguk, memang akhir-akhir ini Hakim kurang maksimal mengerjakan semua pekerjaannya, alasannya tentu saja karena patah hati tak berkesudahan, sekali lagi efek Almira begitu besar dalam hidup Hakim.

“Ibunya tapi pas lagi nggak kondusif juga diem aja nggak tau harus berbuat apa, kamu tuh nggak usah sok iye deh.” Hakim mengacak puncak kepala Hafa.

“Ya namanya juga panik,” kata Hafa.

Dia sedikit bersyukur karena keadaan Hakim sudah jauh lebih baik sekarang, Hakim sudah mulai hidup seperti sebelumnya.

“Almira juga keluar dari rumah sakit hari ini,” adu Hafa, saat menuju mobil tadi, mereka berpapasan dengan keluarga Almira di parkiran.

“Gimana keadaannya?” tanya Hakim, munafik kalau dia bilang dia tak ingin tahu keadaan gadis itu, nyatanya hatinya benar-benar ingin mengetahui kondisi Almira.

“Baik kok, ke mobil juga udah jalan sendiri, udah bisa senyum kok dia, udah bisa bercandaan juga sama Tifa,” jelas Hafa.

Hakim mengangguk, cukuplah dia tahu kalau Almira baik-baik saja, dia tak perlu tahu lebih karena memang dia bukan siapa-siapanya Almira.

“Nggak mau jenguk ke rumahnya?” tanya Hafa memancing.

“Nggaklah, ngapain? Abang sama Almira itu nggak ada hubungan apa-apa, kasihan nanti orang-orang buruk sangka apalagi kan Almira cadaran, sensitive banget urusan sama cowok.” Hakim menjelaskan, kalau ditanya apakah dia ingin? Maka jawabannya iya, dia sangat ingin memastikan lebih jauh kabar Almira, namun untuk apa? Tak ada gunanya juga, sekali lagi mereka bukan siapa-siapa.

“Ya siapa tau kan mau mastiin kalau Almira udah bener-bener sembuh gitu,” kata Hafa.

“Nggaklah, Abang banyak kerjaan di sini,” kata Hakim, laki-laki itu memilih mengambil alih Tifa dari gendongan adiknya, bayi perempuan itu selalu mampu memperbaiki suasana hati Hakim yang kadang tak baik-baik saja.

Ago turun setelah memastikan Hago tidur nyaman di kamar Hakim yang ada di lantai dua.

“Emangnya lo nggak ada kerjaan?” tanya Hakim.

“Banyak sih, tapi sebagai bagian dari kafe ini kayaknya kewajiban gue juga memastikan semuanya baik-baik aja,” ujar Ago duduk di kursi hadapan Hafa.

Halalkan Almira [Terbit✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang