29. Restu

2.5K 321 17
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

'Karena mencintaimu, aku akan ikut berdamai dengan masa lalumu.'

Halalkan Almira

~Thierogiara

***

Hari ini, Hakim dan Almira akan mencoba baju pengantin yang sudah mereka pesan sekitar seminggu yang lalu, pihak dari butik Wina sudah menghubungi mereka, katany baju untuk akad sudah selesai, hanya tinggal baju untuk resepsi.

Semuanya langsung diurus oleh Hakim dan Almira, Maira memutuskan menyerahkan rencana pernikahan ini pada Almira, sementara Kana memang enggan untuk ikut campur.

Sambil berjalan menuju mobilnya, Hakim menghubungi Almira.

"Hallo assalamualaikum Mir," sapa Hakim.

"Waalaikumsalam Bang," balas Almira.

"Aku mau jalan ke butik, kamu gimana? Mau dijemput atau naik taksi?" tanya Hakim.

"Bang Diro lagi nggak di rumah," ujar Almira, mau meminta di jemput tapi dia ragu untuk berada dalam satu mobil hanya berdua dengan Hakim.

"Jadi gimana? Mau dijemput?" tanya Hakim.

"Tapi bawa Amara boleh? Soalnya..."

"Iya boleh, senyamannya kamu aja," ujar Hakim.

"Makasih Bang," ucap Almira, Hakim mengiyakan setelah itu mengucap salam kemudian panggilan berakhir.

Hakim langsung memacu mobilnya menuju rumah Almira, jalanan agak macat namun tak sampai membuat Hakim merasa kesal, lagipula dia sangat tidak buru-buru, pekerjaannya sangat fleksibel untuk ditinggal-tinggal.

Sementara Almira di rumah sibuk membujuk Amara.

"Dek, masa kamu tega kakak berduaan di mobil," ujar Almira membujuk, Amara yang merupakan kaum rebahan itu seperti sangat tidak rela meninggalkan kasurnya.

"Udah mau nikah juga! Apa salahnya sih?!"

"Salah dong, kan belum nikah, masih mau, belum sah, belum halal, tetap harus ada orang lain di mobil," jelas Almira.

"Nggak lama kan?" Akhirnya Amara bangkit dari posisi rebahannya.

"Iya! Cuma ke butik aja, satu jam juga nggak nyampe," kata Almira berusaha meyakinkan.

"Awas aja lama!" Amara tersungut.

"Iya!" Almira tersenyum melihat wajah kesal sang adik.

Amara langsung bangkit, mengikat rambutnya lalu mengganti pakaian dengan yang lebih bagus, Amara kalau hanya pergi dengan Almira mungkin tak masalah, tapi kalau dengan Almira dan calon suaminya, maka bisa-bisa dia hanya jadi obat nyamuk.

Hakim sampai di kediaman keluarga Almira, Maira menyambut hangat.

"Almiranya mana Tan?" tanya Hakim.

"Panggil Mama aja, Almira di dalam masih siap-siap tadi," jawab Maira.

Hakim mengangguk, padahal dirinya dan Almira belum menikah, tapi Maira sudah memperlakukannya selayaknya menantu.

"Mir!!" Maira memanggil.

Almira dan Amara turun bersama dari lantai dua.

"Loh Amara ikut?" tanya Maira.

"Iya, biar Mira ada temennya." Amara yang masih cemberut enggan menjawab hingga yang menjawab adalah Almira.

Maira mengangguk.

"Hakim pamit bawa Almira sama Maira sebentar ya Ma," pamit Hakim menyalami tangan Maira, wanita paruh baya tersebut mengangguk.

Almira cukup terkejut dengan sapaan Hakim ke mamanya, namun gadis itu berusaha untuk terlihat biasa saja.

"Iya, hati-hati." Maira berpesan, Almira dan Amara juga menyalami tangan mama mereka.

Hakim duduk di depan di belakang kemudi, sementara Almira dan Amara duduk di belakang.

"Duduk di depan emang kenapa sih?" kesal Amara karena Almira terus menggandeng tangannya.

Almira mencubit sedikit lengan adiknya itu, Amara benar-benar kurang ajar!

"Kamu diem aja bisa nggak Dek?!"

"Tau gitu males ikut." Amara yang memang sangat jutek itu melipat kedua tangannya di depan dada lalu membuang pandang keluar jendela. Sementara Hakim yang duduk di depan hanya terkekeh melihat interaksi kakak beradik itu.

***

Hakim dan Almira berdiri bersisian menghadap ke Amara, gadis itu yang akan menjadi penilai baju akad nikah Hakim dan Almira.

Amara mengangguk-angguk.

"Bagus sih," kata Amara.

"Nggak ada yang kurang?" tanya Almira.

"Kayaknya cadarnya aja deh, mending nggak usah dikasih manik-manik menurut aku, soalnya jadi kayak rame banget atasnya, kalau cadarnya polos, orang-orang akan lebih fokus ke hijabnya," jelas Amara, baju untuk akad nikah kakaknya itu ala-ala melayu dan menurut Amara itu adalah pilihan yang tepat karena Hakim juga tampak bagus mengenakan baju adat melayu.

Perancang yang mendampingi Hakim dan Almira mengangguk.

"Sama detail tangannya ini Mbak, saya kurang suka, kayaknya juga rame banget." Almira menunjukkan bagian tangannya pada perancang.

"Oke, kalau Hakim?" tanya Mbak Jihan selaku perancang.

"Gimana Dek?" tanyanya pada Amara.

Amara memperhatikan Hakim dari ujung rambut sampai kaki, perlahan gadis itu mengangguk.

"Bagus kok, nggak ada yang kurang, semuanya pas, lagian emang badan abang kan bagus, jadi pake apa aja udah bagus," jelas Amara.

Hakim mengangguk.

Mereka sepakat yang akan diperbaiki hanya baju Almira.

***

Sepulang dari butik, mereka berpencar, Almira dan Amara pulang bersama Diro yang kebetulan baru pulang meeting dengan client.

Almira meminta Diro untuk ke makam Bhumi sebentar meminta restu, Diro menurut saja, Almira berdoa di makam mantan calon suaminya itu, sampai mobil Hakim datang dan parkir di sebelah mobil Diro.

Hakim menatap nanar punggung Almira dari jauh, ternyata gadis itu masih saja belum bisa ikhlas dengan kepergian Bhumi.

Diro mendekat ke Hakim, sementara Amara yang berada di dalam mobil mendekat ke kaca jendela untuk memastikan apa yang akan terjadi.

Diro menepuk bahu Hakim.

"Maafin Almira ya, tapi sebenarnya dia udah ikhlas kok, dia Cuma mau minta restu."

Hakim mengangguk. "Gue paham kok, lagian gue cinta sama adek lo, gue nggak akan mundur," ujar Hakim lalu berjalan meninggalkan Diro masuk ke lokasi pemakaman.

Almira sangat terkejut saat Hakim berjongkok di sebelah makam Bhumi dalam posisi berseberangan dengannya.

"Bang..."

"Nggak apa-apa lagian Bhumi juga teman aku," potong Hakim sebelum Almira melanjutkan kalimatnya.

Almira kembali menunduk.

"Bhum, Almiranya jadi istri gue ya, gue janji bakal jagain dia lebih baik dari lo, bakal mencintai dia lebih dalam dari lo, restui kita ya," ujar Hakim membuat Almira bungkam seribu bahasa.

***

Halalkan Almira [Terbit✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang