14. Bersedih

2.7K 308 8
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

'Berduka boleh, tapi jangan terjebak di dalamnya.'

Halalkan Almira

~Thierogiara

***

Meski sedang sangat kalut, Hakim tetap berangkat ke kafe, dia mungkin merasa sangat kehilangan dan bodoh, namun kafe harus tetap berjalan dan hari ini akan menjadi hari pertama kafe di buka. Sekarang Hakim harus mengemban tanggung jawab yang seharusnya Bhumi emban, Hakim harus bisa mem-back up seluruh pekerjaan di kafe.

Hakim memarkir motornya lantas masuk ke dalam kafe, dia langsung menuju ke balik meja pemesanan dan menyibukkan diri di sana, entah membuat kopi atau sekedar mengelap-elap.

Suasana kafe pun masih kental kedukaannya, Hakim bisa merasakan para karyawannya memilih untuk lebih banyak diam.

"Yang semangat gajinya naik," ujar Hakim memancing, semuanya menoleh ke Hakim baru setelah itu kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Hakim yang sedang mengelapi gelas-gelas menoleh untuk memastikan para karyawannya dan ternyata semuanya sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Hakim menelan ludahnya dia tersenyum sedikit, Bhumi adalah tempat para karyawan mengadu saat Hakim marah-marah. Kalau Hakim menempatkan mereka sebagai teman, maka Bhumi menempatkan mereka sebagai saudara. Wajar sekarang mereka semua kehilangan.

"Baru kalian karyawan yang nggak mau naik gaji," ujar Hakim yang kemudian selanjutnya terkekeh, bahkan mereka yang di sana bisa merasakan kekehan Hakim penuh dengan kebohongan.

Masih tak ada yang mau menjawab perkataan Hakim.

Hakim menepuk pundak Dito, kemudian pundak Isyana.

"Kita harus hidup biar Bhumi juga senang, biar Bhumi juga ngerasa bahwa dia nggak meninggalkan hal yang membebaninya," ujar Hakim.

Hakim kemudian meninggalkan para karyawannya yang masih sibuk bekerja.

Laki-laki itu memilih keluar dari kafe, pertama-tama dia akan ke butik Wina untuk memastikan kalau wanita itu sudah baik-baik saja, kemudian Hakim akan ke makam Bhumi karena kemarin hujan dan Hakim harus memayungi Almira yang malah pingsan. Hakim jadi tak sempat mendoakan Bhumi tepat di makamnya.

***

Hakim membuka helmnya begitu sampai di depan butik Wina, dia masuk begitu saja dan langsung ke ruangan Wina.

"Gimana?" tanya Hakim.

"Papa mau ngejual ruko ini, tapi harganya tinggi," ujar Wina, gadis itu menyugar rambutnya sendiri, dia sangat kalut sekarang.

"Berapa?" tanya Hakim. "Dua lima M?"

"Ya kurang lebih segitu," ujar Wina.

"Gue beli, nanti lo sewanya ke gue aja," kata Hakim tegas.

"Lo punya segitu banyak?" tanya Wina.

"Lo lupa gue anak laki-laki satu-satunya?" tanya Hakim balik.

"Tapi Kim."

"Percaya sama gue, gue juga diuntungkan di sini," ujar Hakim, dia percaya dengan butik Wina, gadis itu tak akan kesulitan membayar sewa.

"Maaf karena ngerepotin lo," ucap Wina.

"Nggak apa-apa, jangan banyak pikiran fokus membesarkan ini semua, buktikan sama orang tua lo, lo hebat dengan cara lo sendiri," ujar Hakim.

Bagaimana tidak cinta? Wina semakin terpesona dengan Hakim.

"Ya udah gue balik dulu ya," pamit Hakim.

"Bhumi meninggal Kim?" tanya Wina menahan Hakim yang sudah hampir melangkah.

Hakim mengangguk.

"Gue turut berduka cita," ucap Wina.

Hakim mengangguk kemudian memakai helmnya, Hakim menepuk bahu Wina baru kemudian keluar dari butik Wina dan kembali menjalankan motornya.

Sekitar 10 menit kemudian, Hakim sampai di tempat pemakaman umum setempat, Hakim merapikan sebentar rambutnya yang berantakan baru kemudian berjalan menyusuri makam. Hakim menuju makam yang kemarin Almira bersimpuh di sebelahnya, dia menarik napas dalam-dalam baru kemudian mendudukkan dirinya di sebelah makam Bhumi.

Tanah makam tersebut masih basah, beberapa kelopak bunga pun masih ada di sana, Hakim menarik napas sekali lagi berusaha meredam sesak yang tiba-tiba menyerangnya, Hakim menyentuh nisan Bhumi mengelusnya pelan.

"Assalamualaikum Bhum, maaf karena baru sempet ke sini, maaf karena nggak ada pas lo berpulang, maaf karena gue nggak bisa jadi sahabat yang baik buat lo," ujar Hakim.

Hakim sedikit mentertawakan dirinya. "Gue bego Bhum, gue bego karena memilih kabur dari masalah, gue bego karena lebih mementingkan perasaan gue ketimbang lo, gue bego karena tetap pergi padahal lo udah minta buat tinggal."

"Maafin gue." Hakim menunduk dengan bahu bergetar, rasa penyesalannya sangat besar, Hakim merasa menjadi manusia yang sangat bodoh.

"Maafin gue karena gue nggak ada buat lo," ucap Hakim.

Hakim menundukkan kepalanya semakin dalam, bahunya semakin bergetar hebat.

"Gue jatuh cinta sama calon istri lo, maafin gue," ucap Hakim lagi.

***

Selepas dari makam Bhumi, Hakim memilih membeli es krim kemudian pulang ke rumah, dia merasa tak baik-baik saja jika harus kembali ke kafe, Hakim tak mau semakin merusak suasana di sana, maka dari itu Hakim memutuskan untuk pulang ke rumah.

Hakim masuk ke dalam rumah dengan kantung plastik berisi es krim, mungkin es krim tersebut bisa membuat suasana hati Hakim menjadi lebih baik.

Kana yang baru saja keluar dari kamarnya menghampiri Hakim yang terduduk di kursi meja makan.

"Dari mana?" tanya Kana, dia jadi lebih sering mengobrol dengan Hakim semenjak Hafa menikah, Kana lebih sering curhat dengan Hakim karena memang menurutnya curhat dengan anak laki-lakinya itu dapat mendekatkan ikatan darah di antara mereka.

"Dari makam Bhumi," jawab Hakim membuka bungkus es krimnya kemudian memakan es krim vanilla tersebut.

Kana ikut mencomot es krim dari plastik Hakim.

"Oh iya, Almira kayaknya terpukul banget, Mama kayaknya mau nengokin dia, mau mastiin keadaannya, mau ikut nggak?" tanya Kana.

Hakim menggeleng. "Nggak deh," kata Hakim, bukan hanya Almira yang terpukul Hakim juga, dia sedang tidak bisa menguatkan orang lain, selain itu Hakim yakin kalau dia tak akan sanggup melihat Almira terluka. Hakim tak mau berada di sana tapi tak tahu harus melakukan apa.

"Anterin Mama lah, biasanya kan kamu suka nganterin Mama, di rumah ngapain sih?" Kana membujuk Hakim.

"Hakim lagi nggak mood Ma, takutnya orang-orang di sana malah terpengaruh," jawab Hakim.

"Yah, padahal kamu bisa ajak ngobrol Almira biar dia nggak sedih lagi," kata Kana.

"Almira bukan cewek kayak gitu, kayaknya dia nggak mungkin mau ngobrol lama-lama sama cowok, ya udah ya, kalau emang mau ke rumah Almira Mama hati-hati, aku ke kamar dulu," pamit Hakim yang tak lupa mencium pipi mamanya.

Pengecut, Hakim memang sudah menjadi pengecut sejak awal, kalau dia bukan pengecut mungkin dia akan ada di saat pemakaman Bhumi karena dia memutuskan untuk tetap menghadiri pernikahan sahabatnya.

Nyatanya Hakim memang pengecut, daripada menghadapatinya dia selalu lebih memilih menghindar kemudian menyesal.

Biarlah sekarang Almira menikmati kesedihannya, nanti kalau ada kesempatan Hakim akan coba untuk membahagiakannya.

***

Halalkan Almira [Terbit✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang