2. Patah Hati Bahkan Sebelum Hati Itu Utuh

4.7K 451 36
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

'Patah hati sakit, kehilangan juga menyakitkan, apalagi ketika belum sempat memiliki.

Aku jatuh cinta, kemudian patah hati di saat yang sama. Aku merasa kehilangan di saat kau bahkan belum sempat kumiliki. '

~Hakim
Halalkan Almira
~Thierogiara

***

Hakim terpaksa mengantar kedua ponakannya dulu ke rumah Hafa dan Ago, membujuk Hago untuk pulang sungguh menguras tenaganya sepagi, bahkan seharusnya mood Hakim tetap baik-baik saja mengingat dia akan berangkat bekerja.

Di kursi penumpang belakang entah apa saja yang sudah Hago lakukan, Hakim membiarkannya saja asal semua pintu dan kaca sudah terkunci agar keponakannya itu tak jatuh dari mobil. Hakim hanya terus mengurut pelipisnya sepanjang perjalanan, ini baru ponakan bagaimana dengan anaknya nanti? Semoga saja anaknya nanti kalem seperti Almira, eh kok Almira? Hakim menggelengkan kepalanya mengenyahkan segala pikiran halu yang menghantui.

Sampai di rumah orang tua Hago, Hakim langsung membukakan pintu membiarkan bocah yang terlampau aktif itu berlari masuk ke dalam rumah, sementara Hakim sendiri mengeluarkan Tifa dari carseat-nya lantas menggendongnya. Bocah perempuan yang sangat mirip dengan adiknya itu cukup mampu membuat Hakim jatuh cinta terus-terusan hanya dengan seulas senyuman.

Hakim mencium sekilas pipi Tifa kemudian menggendong bocah delapan bulan itu menuju rumah, rumah Hafa dan Ago memang sudah seperti rumah kedua Hakim. Dia sering menghabiskan waktu di sana karena banyak makanan, lagipula rumahnya sekarang rasanya sangat sepi, Hakim butuh keramaian untuk tetap menjaga kewarasannya.

"Kalian cari pengasuh ngapa dah, kalau Tifa gue sangguuup banget ngejagainnya, kalau Hago sumpah pen gue jitak anak lo!!" kata Hakim sambil menyerahkan Tifa pada ayahnya.

"Hahaha! Bokap nyokap lo, bokap nyokap gue nggak ada yang setuju," kata Ago dengan gaya khas bangun tidurnya, keturunan sultan memang bebas, bebas bangun jam berapa saja berbeda dengan Hakim yang jam segini sudah rapi untuk berangkat bekerja.

"Hago." Hakim menggelengkan kepalanya dramatis. "Persis lo banget, gila!"

"Enak aja lo, Hago itu Cuma aktif aja nggak gila," ujar Ago tak terima.

"Bukan dia, tapi lo yang gila!"

Ago hanya menanggapinya dengan kedikan bahu lantas duduk di kursi meja makan, bapak anak dua tersebut sudah biasa di maki bahkan dihajar oleh Hakim, namun tali persahabatan sudah mendarah daging dalam diri mereka, hingga bagaimanapun Hakim memperlakukannya, Ago akan tetap memaafkan Hakim.

"Abang." Hafa mendekat kemudian memeluk tubuh Hakim, hal ini sudah sangat lumrah karena memang Hakim adalah satu-satunya saudara Hafa jadi Hafa sangat manja dengannya meski sudah menikah.

"Marah-marah dia sama Hago tuh," adu Ago pada istrinya.

"Kenapa?" tanya Hafa.

"Bukan marah Dek, Cuma lelah aja ngejernya," kata Hakim, saat Hago tidur dia sangat suka memandang wajah bocah laki-laki empat tahun tersebut, Hakim menyukai kedamaian itu, namun saat matanya sudah terbuka maka Hakim pun harus waspada, karena sudah bisa naik sepeda, Hago sering kali main sepeda di jalanan bukan di halaman rumah, pokoknya menjaga Ago sangat menguras emosi dan tenaga Hakim.

"Iya aktif banget emang, di sekolah juga miss missnya pada ngeluh," ujar Hafa, dia sadar kalau anaknya itu memang sangat aktif, entahlah menurun siapa, dia sendiri kalem, Ago juga sebenarnya.

Halalkan Almira [Terbit✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang