Bahwa memahami setiap untaian kata itu bukan dengan telinga. Tapi... Pahamilah dengan "Nalar", sehingga kita tidak terjebak dalam permainan kata dan aksara@detente
______________________________
Tidak sangka pula bisa bertemu dengan Faz. Rupanya taman bacaan yang sebelumnya sempat kukunjungi itu milik salah seorang dari sepupu Fado, jadi menurutku wajar saja Faz bisa hadir malam ini. Setelah bercerita banyak hal, aku juga iseng bertanya soal usia Faz pada kak Tamara. Jangan ditanya mengapa, karena aku hanya ingin tahu.
"Hm, entahlah, saat perkenalan Faz bilang bahwa usianya lebih kecil dari semua anggota. Setelah itu, kami tidak berkomentar lagi, memangnya ada apa?" alisku naik sebelah. Kak Tamara malah balik bertanya.
Aku menggeleng "Bukan apa-apa"
Dari kejauhan Filay dan kak Rina berjalan menuju tangga, lalu diikuti oleh Faz dari belakang. Sepertinya mereka hendak memasuki ruangan yang ada di atas sana.
"Kudengar kalian sering kabur dari pondok." aku menoleh. Ini terlalu tiba-tiba. "Apa tidak takut ketahuan?" aku tersenyum kecil. "Yah, syukurlah, tandanya Allah masih merahasiakan hal itu rapat-rapat. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki apa-apa yang salah." ujar kak Tamara. Jemarinya asik mematahkan ranting-ranting yang lapuk.
"Haha... Apanya yang harus diperbaiki?"
Setengah menit senyap. Denyit suara ayunan dan ranting patah. Kak Tamara hanya diam, menungguku kembali berbicara.
Kuhelah napas kasar "Kak, aku tidak bisa tenang." ujarku, "Bagaimana pula aku bisa memperbaiki semua hal, sedangkan ada banyak sekali kesalahan yang tak bisa kuungkapkan. Jika satu kesalahan saja terbongkar, lambat laun kesalahan yang lain juga akan ikut menyusul. Dan... Aku tidak mampu membayangkan suatu saat aku harus kehilangan semuanya," aku menggeleng "Kurasa aku tak sekuat itu."
"Jika itu alasanmu, maka kesalahan baru akan terus datang dan menambah berat bebanmu, Risky. Ayolah, tidak ada manusia yang benar-benar hidup dalam kesendirian. Walau bagaimanapun imbasnya, kamu tidak akan pernah ditinggalkan. Kesalahan itu ada bukan hanya karena dirimu. Maka jangan menyalahkan diri sendiri."
Aku hanya diam. Menatap jauh.
"Lalu bagaimana jika semua orang menghinaku?" tanyaku.
"Tidak perlu berpikir terlalu keras jika yang kamu lakukan itu untuk kebaikan. Semuanya tidak akan berakhir menyedihkan jika kamu berani mengakui semua kesalahan itu. Penilaian manusia tidak lebih hanya sebagai bahan introspeksi, atau kamu bisa bersikap masa bodo dengan hal itu, menganggapnya sesuatu yang tak penting." jelas kak Tamara.
Aku menghela napas, kemudian terkekeh "Mengapa semua orang senang sekali men-judge orang lain? Mengapa di mata mereka seseorang yang nakal akan selalu jadi pendosa besar dan orang baik selalu dianggap suci, bahkan jika orang itu melakukan kesalahan. Entah mengapa kebencianku tak kunjung hilang setelah apa yang terjadi pada Rona. Benar-benar tidak bisa dimaafkan. Tahu apa memangnya mereka tentang masa depan, boleh jadi orang yang mereka anggap hina itu adalah orang yang paling mulia di mata-Nya," aku mencengkeram tali ayunan hingga menimbulkan bunyi. "Auh, ingin rasanya aku mengendalikan pikiran semua orang." tukasku sebal. Hal itu membuat kak Tamara tersenyum.
"Segala sesuatu itu tidak selamanya bisa sesuai dengan ingin kita, Risky. Termasuk pikiran orang lain. Tidak mudah menggubah pola pikir seseorang, terutama mereka yang berpikiran sempit. Kita logikakan saja, bila semua orang yang hidup di dunia ini mempunyai jalan pikiran yang sama, niscaya kehidupan ini akan selalu baik-baik saja, namun suram. Sebab kita tak akan menemukan sesuatu tang baru. Ah, bagaimana cara menjelaskannya, membayangkannya saja sudah membuatku kelakar. Intinya, jalani hidup ini sesuai aturan mainnya. Jangan keluar dari koridor yang sudah ditentukan. Lalu, cobalah untuk berpikir lebih terbuka sebagai orang yang cerdas. Semakin kuat kehidupan menempah, tentu kualitas diri akan semakin bertambah baik. Maka dari itu anggap saja batu-batu yang membuatmu tersandung selama di AF sebagai pematik agar kamu semakin dewasa dan bijak. Tidak ada salahnya kita memandang sesuatu itu dari sisi baiknya, bukan. "
"Jika hidup dibawa simple maka akan semakin elegan." itulah quote malam ini. Jika saja aku menggubris sepenuhnya perkataan kak Tamara malam ini, mungkin saja hal buruk itu tidak akan menimpaku.
***
Hari ini tepat satu bulan setelah sekian lama tugas praktek bahasa Indonesiaku terselesaikan. Inilah saatnya membacakan cerita miniku di hadapan teman-teman sekelas. Menunggu beberapa menit lagi setelah habis giliran Fado yang kini tengah khusyuk membacakan puisi ciptaanku di depan sana. Mantap betul gayanya. Melangkah satu dua, ke kanan dan ke kiri. Melambai-lambaikam tangan.
Kulirik kertas di atas mejaku. Kertas tersebut tampak sudah mulai menguning sebab terlalu lama menumpuk di antara note-note.
Cerita mini
Tema : idola"Adiktif"
Sudah sepekan lamanya aku tidak menyentuh benda-benda antik milik Kakak. Tidak diberesi beberapa hari, kamar ini sudah mirip kapal pecah. Pakaian kotor dimana-mana, buku ditumpuk asal, seprai sudah terpisah dari tempat tidur, ditambah lagi udara terasa pengap dan bau debu. Sungguh kakakku memang orang paling jorok sedunia.
Aku memunguti beberapa uang koin yang bertaburan di lantai. Sepertinya sang empu tidak sengaja menjatuhkan kotak uang receh dan tidak berniat untuk membereskannya kembali. Di bagian lain, banyak alat-alat yang tidakku ketahui namanya, berserakan berlumur cat berwarna merah hati. Kelihatannya Kakak belum kelar dengan lukisan wanita seksi di dinding kamarnya.
Terlepas dari semua kebiasaan jorok dan berantakannya, jujur aku sering merasa iri hati akan keberhasilan Kakak, dalam dunia pendidikan serta karirnya. Bukan membenci, namun lebih menjadikan hal itu sebagai pelecut ketika aku mulai dirasuki syaitan pemalas. Seolah-olah tak ada hal buruk di dalam dirinya, karna di mataku Kakak adalah orang yang paling cerdas dan aku tidak akan pernah ingin kalah darinya.
Aku senang betul ketika Kakak mau meluangkan waktu untuk bercerita. Katanya mahkota terbesar manusia adalah pikiran, karna dari sana terlahir akal sehat. Orang yang kehilangan akal sehat disebut orang gila. Dan ketika seseorang sudah gila, maka hilanglah matrabat dan kehebatan di dalam dirinya.
Tidak ada spekulasi, yang ada memang fakta. Ketika aku menyinyir pasal cinta monyet, jawaban Kakak tidak pernah main-main. Katanya cinta dan benci itu racun, tapi ketika kita bisa mengatur dosisnya ia akan menjadi benih unggulan.
Namun, kurasa kali ini Kakak keliru. Tapi tidak sepenuhnya salah. Hanya saja ia salah mengambil langkah. Cinta dan benci yang harusnya digunakan sebagai motivasi agar menjadi benih, malah dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Lihatlah, racun itu benar-benar menjadi momok. Ketika kekasihnya memilih pergi, ia tidak mampu meredam emosi. Racun itu telah membunuh logikany. Membuang jauh-jauh akal sehat dan memilih menjadi orang dungu. Bahkan diakhir napasny, ia sanggup menumpahkan darah demi melukis wajah cinta dan benci itu di dinding kamarnya.
Miris memang.
Aku tersenyum menatap kamar gelap tempat biasa Kakak melukai diri. Terkekeh melihat lukisan darah. Bagiku tidak ada hal buruk yang benar-benar buruk. Cerita kematian Kakak membuatku sadar, bahwa sewaktu-waktu logika akan kalah oleh hati. Cinta dan benci yang berlebihan akan berbalik membunuh tanpa mengampuni. Biarpun Kakakku bebal, di hatiku dia tetap jadi orang yang paling cerdas
End
Aku bergumam. Berusaha fokus mencari titik kesalahan pada karya yang kubuat sebulan yang lalu itu. Sengaja memang tak kubuat panjang-panjang, sebab aku merasa lembam bila berdiri terlalu lama di depan kelas nantinya. Yah, walaupun sebenarnya aku memang sudah terbiasa berbicara di hadapan orang banyak.
(auh, sombong dikit tak papa lah, ya)***
^
^
^
^
^
^
^Sorry, kali ini bener-bener singkat