(22)👾

9 3 1
                                    

"Jangan takut bermain bersama hujan, sebab bermain hujan dapat mengukur seberapa kuat daya tahan tubuh ketika berada dalam hujan.

Bermain dengan masalah kehidupan adalah barometer untuk melihat seberapa besar kekuatan iman yang di miliki hingga kita mampu melewati"

@detente

_______________________________________


Langit pada pukul setengah lima mulai menjingga. Tampaknya mentari sudah mempersiapkan keberangkatannya untuk segera tenggelam. Waduh. Aku jadi teringat seseorang yang dulu pernah mempertanyakan hal ini kepadaku. Mengapa matahari bisa tenggelam? Begitu pertanyaannya. Lalu, dengan pongahnya aku menjawab, karena adanya perputaran bumi pada porosnya, sehingga terjadi fenomena siang dan malam. Dan ternyata aku salah. Siapa sangka bila jawaban dari pertanyaan itu adalah karena
Matahari tidak bisa berenang.

Ketika hari sedikit demi sedikit mulai meredup, aktivitas di asrama malah semakin menyibuk. Kebanyakan orang memang gemar berlomba dengan deadline. Ketika waktu mandi dan piket asrama akan berakhir sekitar empat puluh menit lagi, barulah semuanya sibuk mencuci pakaian, berebut kamar mandi, membuat antrian yang apa bila dilogikakan saja itu tidak semuanya akan dapat giliran mandi sebelum waktu habis. Atau yang masih sibuk menyetrika, padahal star dari jam satu siang hingga sore, belum juga bergerak pantatnya dari lantai aula. Bagaimana nasib bagi yang belum menyetrika seragam untuk besok. Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan.

Sedangkan aku yang kelewat gabut tidak tahu hendak melakukan apa, akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke asrama Mina. Asrama kak Alun. Mau sombong, kali ini aku tidak lagi telat mandi. Namun, ketika melewati gedung kelas, ternyata kak Alun masih ada kelas di jam ke sembilan dan sepuluh. Tidak bisa di pungkiri, kelas dua belas memang selalu sibuk, apa lagi di semester dua ini. Sebentar lagi mereka akan dihadang pertempuran.

Aku duduk di mebun depan kelas. Memperhatikan para santri yang sibuk hilir-mudik mengisi teko-teko air. Ia tampak kesulitan hingga membuat air sampai tumpah-tumpah saat ia melangkah. Bahkan, dalam keadaan sulit itu pun ia masih sempat menyapa santri lain yang juga tampak kelelahan habis membersihkan sampah daun ketapang di halaman asrama yang luas. Kata guru bahasa inggrisku, jangan pernah mau jadi seperti pohon, dia selalu menggugurkan dedaunannya, tetapi enggan untuk mengutipnya kembali. Itu nasihat agar kita membuang sampah apabila menemukannya di jalan atau di mana saja. Yah, walaupun aku tahu kalau sang pohon tidak akan bisa mengutip dedaunanya sendiri.

Di lapangan rumput sana, terdengar kehebohan para santri yang tengah bermain pecah piring. Berseru girang ketika berhasil mengejar dan menggebok tim lawan dengan bola. Saling mempertahankan tumpukan batu agar tidak berhasil disusun oleh tim lawan. Rusuh sekali. Semacam ada peperangan, namun seru. Sedikit demi sedikit perasaanku mulai membaik. Tidak sia-sia ternyata aku keluar asrama sore ini.

Kulirik lagi kelas kak Alun. Tampaknya guru yang mengajar sudah mulai menutup materi. Buktinya seisi kelas terlihat mulai rusuh dengan suara hentakan buku dan daut tempat alat tulis serta resleting tas. Yah, selalu begitu. Terkadang aku bertanya-tanya dalam kepala, apakah guru tidak merasa risih dengan perlakuan semacam itu dari muridnya? Kesannya seperti mereka berseru "yes, akhirnya kelar juga" seakan-akan para murid tidak senang dan ingin segera mengakhiri kelas. Auh... Sepertinya itu hanya ada di dalam kepalaku. Lagi pula untuk apa memikirkan hal sepele macam itu.

"BAAAAMMM!" seru kak Alun. Berusaha mengagetkanku. Dia pikir aku akan terkejut.

"Kaget, dong, " katanya, lalu duduk di sebelahku.
"Hah, lucu. Jelas-jelas aku memperhatikanmu dari tadi. Bagaimana pula bisa terkejut." Aku mengulurkan kotak berisi minuman susu _yang tadinya sempat kubawa dari asrama_ kepada kak Alun.

Detak-DetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang